Sunday, February 14, 2016

MATERI AQIQAH

Penulis :
Nimas Ayu

BAB I
PENDAHULUAN
Aqiqah merupakan salah satu ajaran islam  yang di contohkan rasulullah SAW. Aqiqah mengandung hikmah dan manfaat positif yang bisa kita petik di dalamnya. Di laksanakan pada hari ke tujuh  dalam kelahiran seorang bayi. Dan Aqiqah hukumnya sunnah muakad (mendekati wajib), bahkan sebagian ulama menyatakan wajib. Setiap orang tua mendambahkan anak yang shaleh, berbakti dan mengalirkan kebahagiaan kepada kedua orangnya. Aqiqah adalah salah  satu acara penting untuk menanamkan nilai-nilai ruhaniah kepada anak yang masih suci. Dengan aqiqah di harapkan sang bayi memperoleh kekuatan, kesehatan lahir dan batin. Di tumbuhkan dan di kembangkan lahir dan batinnya dengan nilai-nilai ilahiyah.
Aqiqah juga salah satu upaya kita untuk menebus anak kita yang tergadai. Aqiqah juga merupakan realisasi rasa syukur kita atas anugerah, sekaligus amanah yang di berikan allah SWT terhadap kita. Aqiqah juga sebagai upaya kita menghidupkan sunnah rasul SAW, yang merupakan perbuatan yang terpuji, mengingat  saat ini sunnah tersebut mulai jarang di laksanakan oleh kaum muslimin.





BAB II
PEMBAHASAN
A.            Pengertian
Aqiqah secara etimologi (bahasa) adalah rambut yang ada pada kepala anak yang baru dilahirkan. Sedangkan kalau secara terminologi, aqiqah adalah binatang yang disembelih waktu mencukur anak, Atau Aqiqah juga bisa didefinisikan sebagai binatang yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahiran anak, baik laki-laki maupun perempuan. Aqiqah dalam istilah agama adalah sembelihan untuk anak yang baru lahir sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT dengan niat dan syarat-syarat tertentu. Oleh sebagian ulama ia disebut dengan nasikah atau dzabihah (sembelihan).[1]
B.         Hukum Aqiqah
Hukum aqiqah adalah sunah bagi orang yang wajib menanggung nafkah bagi si anak.
Sebagaimana sabda rasulullah:
من احب منكم ان ينسك عن ولده فليفعل عن الغلام شتان مكافتان وعن الجارية شاة (رواه احمد
“barang siapa diantara kamu yang ingin beribadah untuk anaknya, maka hendaklah ia disembelihkan dua ekor kambing yang sama umurnya untuk seorang bayi laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan (H.R. Ahmad).
الغلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه في اليوم السابع ويحلق راءسه ويسمى   (رواه احمد والترمذى
“ Anak yang baru lahir itu menjadi tanggungan (tergadai) sampai disembelihkan aqiqahnya, yang disembelih pada hari ketujuh  dari hari lahirnya, dan dicukur rambutnya serta diberi nama” (H.R. Ahmad dan Tirmidzi).[2]
Yang dimaksud dengan menjadi tanggungan ialah sebagaimana tanggungan yang harus ditebus dengan membayar utang. begitu pula si anak, ditebus dengan disembelihnya aqiqah.
Mengenai hadis diatas juga yang menyatakan “menjadi tanggungan” sebagian ulama berpendapat bahwa aqiqah itu harus dilaksanakan, sebagaimana tanggungan terhadap orang yang berutang dan piutang. [3]
Menurut imam Ahmad bin Hanbal, anak yang meninggal dan belum diaqiqahkan, maka ia tidak dapat memberi pertolongan kepada kedua orang tuanya kelak diakhirat. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa aqiqah itu tidak wajib hukumnya dan tidak pula sunnnat. Kesimpulan pendapatnya menurut salah satu pendapat bahwa hukum aqiqah baginya adalah tathawwu’ (sukarela).[4]
Sedangkan kalau menurut Imam Dawud dan golongan zhahiri, hukum aqiqah adalah wajib.[5] Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
وعن عائشة رضى الله عنها ان رسول الله صلى الله عليه وسلم امرهم ان يعق عن الغلام شتان مكافئتان وعن الجارية شاة(رواه الترمذى
“Dari Aisyah ra. Bahwasanya Rasulullah saw. Memerintahkan orang-orang agar diaqiqahi anak laki-laki dua ekor kambing yang sama umurnya dan untuk anak perempuan seekor kambing”.
Dalam hal ini, Imam Dawud mewajibkan aqiqah dengan berlandaskan pada kaidah fiqh yang mengatakan:
الاصل فى الامر الوجوب
“asal mula perintah itu adalah wajib”
Silang pendapat ini disebabkan oleh adanya pertentangan antara mafhum-mafhum (pengertian-pengertian) hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah ini.
Hukum aqiqah itu sendiri menurut kalangan Syafii dan Hambali adalah sunnah muakkadah. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghobun: 16).[6]
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa Dalam kalangan jumhur ulama’, aqiqah dalam islam itu disunnatkan. Ketentuan waktunya yakni pada hari ketujuh kelahiran bayi, atau kalau tidak mampu pada hari itu diperbolehkan pada hari keempat belas atau hari-hari lainnya. Aqiqah ini bukan hanya disunatkan untuk anak kecil yang baru lahir saja, bahkan aqiqah ini juga sunnat bagi orang yang sudah dewasa kalau dia sudah mampu mengqiqahkan dirinya sendiri.
C.              Syarat-syarat Aqiqah
1.          Hewan aqiqah
               Adapun menurut jumhur fuqaha, syarat hewan yang dijadikan aqiqah adalah sama dengan syarat hewan yang dijadikan sebagai qurban, yaitu binatang yang baik, gemuk dan tidak cacat. Imam malik memilih kambing domba, sesuai dengan pendapatnya berkenaan dengan hewan qurban. Hewan dari jenis kibsy (domba putih) nan sehat umur minimal setengah tahun dan kambing jawa minimal satu tahun. Untuk anak laki-laki dua ekor, dan untuk anak perempuan satu ekor. Fuqaha yang lain memegangi aturan pokoknya, yaitu bahwa unta lebih utama daripada sapi, sapi lebih utama daripada kambing. Perbedaan pendapat ini disebabkan adaanya pertentangan antara hadis-hadis mengenai aqiqah dengan qiyas. Hadis-hadis tersebut yang antara lain diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, yaitu:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم عق عن الحسن والحسين كبشا كبشا
“Sesungguhnya Rasulullah saw mengaqiqahkan untuk hasan dan husein satu kambing satu kambing”.
Hadis lainnya adalah:
عن الجارية شاة و عن الغلام شتان
“Bagi anak perempuan satu ekor kambing dan bagi anak laki-laki dua ekor kambing”.
Kedua hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud.
Sedang menurut qiyas, oleh karena aqiqah merupakan ibadah penyembelihan, maka seharusnyalah hewan yang lebih utama, lantaran disamakan dengan hadyu (sembelihan dalam haji).[7]
2.     Waktu pelaksanaan Aqiqah
Pelaksanaan aqiqah disunnahkan pada hari yang ketujuh dari kelahiran, ini berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama.” (HR: Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)[8]
Dan bila tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka bisa dilaksanakan pada hari ke empat belas, dan bila tidak bisa, maka pada hari ke dua puluh satu, ini berdasarkan hadis Abdullah Ibnu Buraidah dari ayahnya dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, beliau berkata yang artinya: “Hewan akikah itu disembelih pada hari ketujuh, keempatbelas, dan keduapuluhsatu.” (Hadis hasan riwayat Al Baihaqiy).
Namun setelah tiga minggu masih tidak mampu maka kapan saja pelaksanaannya di kala sudah mampu, karena pelaksanaan pada hari-hari ke tujuh, ke empat belas dan ke dua puluh satu adalah sifatnya sunah dan paling utama bukan wajib. Dan boleh juga melaksanakannya sebelum hari ke tujuh.
Bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh disunnahkan juga untuk disembelihkan aqiqahnnya, bahkan meskipun bayi yang keguguran dengan syarat sudah berusia empat bulan di dalam kandungan ibunya.
Melaksanakan aqiqah adalah sebagai salah satu bukti rasa syukur kita atas karunia dan nikmat Allah, yaitu nikmat yang berupa seorang anak. Karena tidak semua orang bisa dianugrahi anak, adakalanya mereka sangat menginginkan akan tetapi mereka tidak diberikan. Jadi, dengan melaksanakannya aqiqah ini, menandakan seorang hamba bersyukur atas karunia Allah yang tidak semua orang mendapatkannya dan anak adalah penyempurna dalam rumah tangga.Anak merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya. Disamping itu juga anak merupakan amanah dari Allah swt yang harus dipelihara dan dididik dengan sebaik-baiknya. Itulah sebabnya Nabi menganjurkan kepada orang-orang yang memperoleh karunia berupa anak itu hendaklah yang pertama kalai dilakukan adalah membacakan azan, surat al-ikhlash dan “inni u’izubiha bika …… dan seterusnya (ayat 36 surat Ali Imran) pada telinga kanan, dan iqamah pada telinga kiri (terjemah Fathul Mu’in 2/133).[9]
3.     Orang yang di Aqiqah
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang yang diaqiqahkan adalah anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan yang masih bayi. Segolongan fuqaha membolehkan aqiqah untuk orang dewasa.[10]

4.     Umur Hewan Aqiqah
Mengenai umur dan sifat hewan akikah, maka sama ketentuannya dengan umur dan sifat hewan kurban. Yakni harus dihindarkan dari cacat-cacat, sebagai mana dihindarkannya cacat-cacat pada hewan kurban. Dalam masalah ini, tidak ada perbedaan pendapat baik dikalangan mazhab Imam Maliki maupun yang lainnya.[11]
5.     Hukum Daging, Kulit dan bagian Lain dari Hewan Aqiqah
Mengenai daging, kulit, dan bagian-bagian lain hewan aqiqah, hukumnya sama dengan daging kurban dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan memakannya, menyedekahkannya, dan larangan menjualnya. Dan disunatkan dimasak terlebih dahulu dan kemudian disedekahkan pada fakir miskin. Bagi orang yang melakukan aqiqah boleh memakannya sedikit dari daging aqiqah tersebut, dengan catatan jika aqiqah itu adalah aqiqah sunnah bukan aqiqah wajib (nazar).
Semua ulama mengatakan bahwa dizaman jahiliyah, kepala anak-anak bayi dilumuri dengan darah aqiqah, kemudian islam membatalkan aturan ini. Hal ini didasarkan atas hadis  Buraidah al-Aslami ra.:
قال : كنا فى الجاهلية اذا ولد لاحدنا غلام ذبح له شاة ولطخ راءسه بدمها فلما جاء الاسلام كنا نذبح ونحلق راءسه ونلطخه بزعفران
“Ia (Buraidah) berkata: adalah kami dimasa jahiliyah, apabila salah seorang kami dianugrahi anak laki-laki, maka ia menyembelih seekor kambing untuknya dan melumuri kepalanya dengan darahnya. Maka takala islam datang, kami menyembelih dan mencukur rambut kepalanya, dan melumurinya dengan za’ faran (kunyit).”[12]
D.    Hikmah Aqiqah
Aqiqah  merupakan  salah  satu  bentuk  ibadah  kepada  Allah  yang  memiliki hikmah yang besar, di antaranya adalah:
1.        Yang paling pokok adalah untuk memperoleh rido dari Allah Swt.
2.        Anak yang lahir tidak lagi tergadai sehingga memiliki hubungan yang sangat erat dengan  orang  tuanya,  dan  di  akhirat  kelak  akan  memberi  syafaat  kepada  orang tuanya.
3.         Salah  satu  bentuk  shadaqah  kepada  fakir  miskin,  keluarga,  dan  orang-orang yang terdekat dengan sang bayi dan orang tuanya.
4.        Aqiqah  merupakan  sunnah  Nabi  Saw.  yang  sebaiknya  diikuti  oleh  setiap  umat Islam yang mampu.[13]




KESIMPULAN
Akikah merupakan hewan yang disembelih pada hari ketujuh kelahiran anak (bayi), dalam ketentuan syara’ akikah untuk anak laki-laki dua ekor kambing sedangkan untuk anak perempuan seekor kambing.
Dalam kalangan jumhur ulama’, akikah dalam islam itu disunnatkan. Ketentuan waktunya yakni pada hari ketujuh kelahiran bayi, atau kalau tidak mampu pada hari itu diperbolehkan pada hari keempat belas atau hari-hari lainnya. Akikah ini bukan hanya disunatkan untuk anak kecil yang baru lahir saja, bahkan akikah ini juga sunnat bagi orang yang sudah dewasa kalau dia sudah mampu mengakikahkan dirinya sendiri.
Hewan yang digunakan untuk akikah sama dengan hewan yang digunakan untuk kurban, baik dari segi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuannya, yaitu hewan tersebut tidak boleh cacat.
Dalam masalah daging hewan akikah ini, ketentuannya sama dengan daging kurban dalam hal memakannya, menyedekahkannya, dan tidak diperbolehkan untuk menjualnya. Daging akikah ini, dianjurkan supaya dimassak terlebih dahulu baru dibagikan kepada fakir miskin, berbeda dengan daging kurban yang diberikan masih mentah.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, Al-Hafizh bin Hajar. 1996. Terjemahan Bulughul Maram.    Wicaksana: Semarang
As’ad, Aliy. 1979. Terjemahan Fathul Mu’in jil.2. Menara Kudus: yogyakarta
Rasyid, Sulaiman. 1986. Fiqih Islam,. CV. Sinar Baru:  Bandung.
Rusyd, ibnu. 1990. Terjemah Bidayatul Mujtahid jil.2. CV. Asy-Syifa’: Semarang
Al-Habsyi, Muhammad Bagir. 1999.Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an,As-Sunnah            dan pendapat para ulama. Mizan: Bandung
Mufid,Ainul.  2006.Kitab Fiqih, Jawabul Masa’il Bermazhab Empat         jil.1.Yayasan Darut Taqwa: Pasuruan












[1] Sulaiman Rasyidh, Fiqih Islam, (Bandung: CV Sinar Baru, 1986), hlm. 479.
[2] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: CV Sinar Baru, 1986), hlm. 480.
[3] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam.., hlm. 480-481
[4] Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an,As-Sunnah dan pendapat para ulama,(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 453.
[5] Al-Hafizh bin Hajar Al-Asqalani,.. Terjemahan Bulughul Maram. Wicaksana: Semarang, 1996,hlm.822.
[6] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam.., hlm.481.
[7] Ibnu Rusyd,.. Terjemah Bidayatul Mujtahid jil.2. CV. Asy-Syifa’: Semarang, 1990. hlm. 122

[8] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam.., hlm.480.
[9] Aliy.As’ad, Terjemahan Fathul Mu’in jil.2. Menara Kudus: yogyakarta,1979. hlm. 133.
[10] Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an,As-Sunnah dan pendapat para ulama,(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 453
[11] Ainul Mufid, Kitab Fiqih, Jawabul Masa’il Bermazhab Empat jil.1.(Pasuruan: Yayasan Darut Taqwa, 2006). hlm. 245.
[12] Ainul Mufid, Kitab Fiqih, Jawabul Masa’il Bermazhab Empat jil.1.(Pasuruan: Yayasan Darut Taqwa,2006). hlm. 246.
[13] Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an,As-Sunnah dan pendapat para ulama,(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 454.