Penulis :
Nimas Ayu
BAB I
PENDAHULUAN
Aqiqah merupakan salah satu ajaran islam yang di contohkan
rasulullah SAW. Aqiqah mengandung hikmah dan manfaat positif yang bisa kita
petik di dalamnya. Di laksanakan pada hari ke tujuh dalam kelahiran
seorang bayi. Dan Aqiqah hukumnya sunnah muakad (mendekati wajib), bahkan
sebagian ulama menyatakan wajib. Setiap orang tua mendambahkan anak yang
shaleh, berbakti dan mengalirkan kebahagiaan kepada kedua orangnya. Aqiqah
adalah salah satu acara penting untuk menanamkan nilai-nilai ruhaniah
kepada anak yang masih suci. Dengan aqiqah di harapkan sang bayi memperoleh
kekuatan, kesehatan lahir dan batin. Di tumbuhkan dan di kembangkan lahir dan
batinnya dengan nilai-nilai ilahiyah.
Aqiqah juga salah satu upaya kita untuk menebus anak kita yang
tergadai. Aqiqah juga merupakan realisasi rasa syukur kita atas anugerah,
sekaligus amanah yang di berikan allah SWT terhadap kita. Aqiqah juga sebagai
upaya kita menghidupkan sunnah rasul SAW, yang merupakan perbuatan yang
terpuji, mengingat saat ini sunnah tersebut mulai jarang di laksanakan
oleh kaum muslimin.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Aqiqah secara etimologi (bahasa) adalah
rambut yang ada pada kepala anak yang baru dilahirkan. Sedangkan kalau secara
terminologi, aqiqah adalah binatang yang disembelih waktu mencukur anak, Atau
Aqiqah juga bisa didefinisikan sebagai binatang yang disembelih pada hari
ketujuh dari kelahiran anak, baik laki-laki maupun perempuan. Aqiqah dalam
istilah agama adalah sembelihan untuk anak yang baru lahir sebagai bentuk rasa
syukur kepada Allah SWT dengan niat dan syarat-syarat tertentu. Oleh sebagian
ulama ia disebut dengan nasikah atau dzabihah (sembelihan).[1]
B.
Hukum
Aqiqah
Hukum aqiqah adalah sunah bagi orang yang wajib menanggung nafkah bagi
si anak.
Sebagaimana sabda
rasulullah:
من احب منكم ان ينسك
عن ولده فليفعل عن الغلام شتان مكافتان وعن الجارية شاة (رواه احمد
“barang siapa
diantara kamu yang ingin beribadah untuk anaknya, maka hendaklah ia
disembelihkan dua ekor kambing yang sama umurnya untuk seorang bayi laki-laki
dan seekor kambing untuk bayi perempuan (H.R. Ahmad).
الغلام مرتهن بعقيقته
تذبح عنه في اليوم السابع ويحلق راءسه ويسمى (رواه احمد والترمذى
“ Anak yang baru
lahir itu menjadi tanggungan (tergadai) sampai disembelihkan aqiqahnya, yang disembelih
pada hari ketujuh dari hari lahirnya, dan dicukur rambutnya serta diberi
nama” (H.R. Ahmad dan Tirmidzi).[2]
Yang dimaksud dengan
menjadi tanggungan ialah sebagaimana tanggungan yang harus ditebus dengan
membayar utang. begitu pula si anak, ditebus dengan disembelihnya aqiqah.
Mengenai hadis
diatas juga yang menyatakan “menjadi tanggungan” sebagian ulama berpendapat
bahwa aqiqah itu harus dilaksanakan, sebagaimana tanggungan terhadap orang yang
berutang dan piutang. [3]
Menurut imam Ahmad
bin Hanbal, anak yang meninggal dan belum diaqiqahkan, maka ia tidak dapat
memberi pertolongan kepada kedua orang tuanya kelak diakhirat. Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa aqiqah itu tidak wajib hukumnya dan tidak pula sunnnat.
Kesimpulan pendapatnya menurut salah satu pendapat bahwa hukum aqiqah baginya
adalah tathawwu’ (sukarela).[4]
Sedangkan kalau
menurut Imam Dawud dan golongan zhahiri, hukum aqiqah adalah wajib.[5]
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
وعن عائشة رضى الله
عنها ان رسول الله صلى الله عليه وسلم امرهم ان يعق عن الغلام شتان مكافئتان وعن
الجارية شاة(رواه الترمذى
“Dari Aisyah ra.
Bahwasanya Rasulullah saw. Memerintahkan orang-orang agar diaqiqahi anak
laki-laki dua ekor kambing yang sama umurnya dan untuk anak perempuan seekor
kambing”.
Dalam hal ini, Imam
Dawud mewajibkan aqiqah dengan berlandaskan pada kaidah fiqh yang mengatakan:
الاصل فى الامر
الوجوب
“asal mula perintah
itu adalah wajib”
Silang pendapat ini
disebabkan oleh adanya pertentangan antara mafhum-mafhum
(pengertian-pengertian) hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah ini.
Hukum aqiqah
itu sendiri menurut kalangan Syafii dan Hambali adalah sunnah muakkadah. Karena
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semampu
kalian” (QS. At Taghobun: 16).[6]
Dari pernyataan
diatas dapat disimpulkan bahwa Dalam kalangan jumhur ulama’, aqiqah dalam islam
itu disunnatkan. Ketentuan waktunya yakni pada hari ketujuh kelahiran bayi,
atau kalau tidak mampu pada hari itu diperbolehkan pada hari keempat belas atau
hari-hari lainnya. Aqiqah ini bukan hanya disunatkan untuk anak kecil yang baru
lahir saja, bahkan aqiqah ini juga sunnat bagi orang yang sudah dewasa kalau
dia sudah mampu mengqiqahkan dirinya sendiri.
C.
Syarat-syarat Aqiqah
1.
Hewan aqiqah
Adapun
menurut jumhur fuqaha, syarat hewan yang dijadikan aqiqah adalah sama dengan
syarat hewan yang dijadikan sebagai qurban, yaitu binatang yang baik, gemuk dan
tidak cacat. Imam malik memilih kambing domba, sesuai dengan pendapatnya
berkenaan dengan hewan qurban. Hewan dari jenis kibsy (domba putih)
nan sehat umur minimal setengah tahun dan kambing jawa minimal satu tahun.
Untuk anak laki-laki dua ekor, dan untuk anak perempuan satu ekor. Fuqaha yang lain
memegangi aturan pokoknya, yaitu bahwa unta lebih utama daripada sapi, sapi
lebih utama daripada kambing. Perbedaan pendapat ini disebabkan adaanya
pertentangan antara hadis-hadis mengenai aqiqah dengan qiyas. Hadis-hadis
tersebut yang antara lain diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, yaitu:
ان رسول الله صلى
الله عليه وسلم عق عن الحسن والحسين كبشا كبشا
“Sesungguhnya Rasulullah saw
mengaqiqahkan untuk hasan dan husein satu kambing satu kambing”.
Hadis lainnya
adalah:
عن الجارية شاة و عن
الغلام شتان
“Bagi anak perempuan satu ekor kambing
dan bagi anak laki-laki dua ekor kambing”.
Kedua hadis ini
diriwayatkan oleh Abu Daud.
Sedang menurut
qiyas, oleh karena aqiqah merupakan ibadah penyembelihan, maka seharusnyalah
hewan yang lebih utama, lantaran disamakan dengan hadyu (sembelihan dalam
haji).[7]
2.
Waktu pelaksanaan Aqiqah
Pelaksanaan aqiqah
disunnahkan pada hari yang ketujuh dari kelahiran, ini berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu
alaihi wa Sallam, yang artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya,
disembelih darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama.” (HR:
Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)[8]
Dan bila tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh,
maka bisa dilaksanakan pada hari ke empat belas, dan bila tidak bisa, maka pada
hari ke dua puluh satu, ini berdasarkan hadis Abdullah Ibnu
Buraidah dari ayahnya dari Nabi
Shallallaahu alaihi wa Sallam, beliau berkata
yang artinya: “Hewan akikah itu disembelih pada hari ketujuh, keempatbelas, dan
keduapuluhsatu.” (Hadis hasan riwayat Al Baihaqiy).
Namun setelah tiga minggu masih tidak mampu maka kapan
saja pelaksanaannya di kala sudah mampu, karena pelaksanaan pada hari-hari ke
tujuh, ke empat belas dan ke dua puluh satu adalah sifatnya sunah dan paling
utama bukan wajib. Dan boleh juga melaksanakannya sebelum hari ke tujuh.
Bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh
disunnahkan juga untuk disembelihkan aqiqahnnya, bahkan meskipun bayi yang
keguguran dengan syarat sudah berusia empat bulan di dalam kandungan ibunya.
Melaksanakan aqiqah adalah sebagai salah satu bukti rasa
syukur kita atas karunia dan nikmat Allah, yaitu nikmat yang berupa seorang
anak. Karena tidak semua orang bisa dianugrahi anak, adakalanya
mereka sangat menginginkan akan tetapi mereka tidak diberikan. Jadi, dengan melaksanakannya
aqiqah ini, menandakan seorang hamba bersyukur atas karunia Allah yang tidak
semua orang mendapatkannya dan anak adalah penyempurna dalam rumah tangga.Anak
merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya. Disamping itu juga anak
merupakan amanah dari Allah swt yang harus dipelihara dan dididik dengan
sebaik-baiknya. Itulah sebabnya Nabi menganjurkan kepada orang-orang yang
memperoleh karunia berupa anak itu hendaklah yang pertama kalai dilakukan
adalah membacakan azan, surat al-ikhlash dan “inni u’izubiha bika …… dan
seterusnya (ayat 36 surat Ali Imran) pada telinga kanan, dan iqamah pada
telinga kiri (terjemah Fathul Mu’in 2/133).[9]
3.
Orang yang di Aqiqah
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang yang diaqiqahkan
adalah anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan yang masih bayi. Segolongan
fuqaha membolehkan aqiqah untuk orang dewasa.[10]
4.
Umur Hewan Aqiqah
Mengenai umur dan sifat hewan akikah, maka sama
ketentuannya dengan umur dan sifat hewan kurban. Yakni harus dihindarkan dari
cacat-cacat, sebagai mana dihindarkannya cacat-cacat pada hewan kurban. Dalam
masalah ini, tidak ada perbedaan pendapat baik dikalangan mazhab Imam Maliki
maupun yang lainnya.[11]
5.
Hukum Daging, Kulit dan bagian Lain dari
Hewan Aqiqah
Mengenai daging, kulit, dan bagian-bagian lain hewan aqiqah,
hukumnya sama dengan daging kurban dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan
memakannya, menyedekahkannya, dan larangan menjualnya. Dan disunatkan dimasak
terlebih dahulu dan kemudian disedekahkan pada fakir miskin. Bagi orang yang
melakukan aqiqah boleh memakannya sedikit dari daging aqiqah tersebut, dengan
catatan jika aqiqah itu adalah aqiqah sunnah bukan aqiqah wajib (nazar).
Semua ulama mengatakan bahwa dizaman jahiliyah, kepala
anak-anak bayi dilumuri dengan darah aqiqah, kemudian islam membatalkan aturan
ini. Hal ini didasarkan atas hadis Buraidah al-Aslami ra.:
قال : كنا فى
الجاهلية اذا ولد لاحدنا غلام ذبح له شاة ولطخ راءسه بدمها فلما جاء الاسلام كنا
نذبح ونحلق راءسه ونلطخه بزعفران
“Ia (Buraidah)
berkata: adalah kami dimasa jahiliyah, apabila salah seorang kami dianugrahi
anak laki-laki, maka ia menyembelih seekor kambing untuknya dan melumuri
kepalanya dengan darahnya. Maka takala islam datang, kami menyembelih dan
mencukur rambut kepalanya, dan melumurinya dengan za’ faran (kunyit).”[12]
D.
Hikmah Aqiqah
Aqiqah merupakan
salah satu bentuk
ibadah kepada Allah
yang memiliki hikmah yang besar,
di antaranya adalah:
1.
Yang paling pokok adalah untuk memperoleh
rido dari Allah Swt.
2.
Anak yang lahir tidak lagi tergadai
sehingga memiliki hubungan yang sangat erat dengan orang
tuanya, dan di
akhirat kelak akan
memberi syafaat kepada
orang tuanya.
3.
Salah
satu bentuk shadaqah
kepada fakir miskin,
keluarga, dan orang-orang yang terdekat dengan sang bayi
dan orang tuanya.
4.
Aqiqah
merupakan sunnah Nabi
Saw. yang sebaiknya
diikuti oleh setiap
umat Islam yang mampu.[13]
KESIMPULAN
Akikah merupakan
hewan yang disembelih pada hari ketujuh kelahiran anak (bayi), dalam ketentuan
syara’ akikah untuk anak laki-laki dua ekor kambing sedangkan untuk anak
perempuan seekor kambing.
Dalam kalangan
jumhur ulama’, akikah dalam islam itu disunnatkan. Ketentuan waktunya yakni
pada hari ketujuh kelahiran bayi, atau kalau tidak mampu pada hari itu
diperbolehkan pada hari keempat belas atau hari-hari lainnya. Akikah ini bukan
hanya disunatkan untuk anak kecil yang baru lahir saja, bahkan akikah ini juga
sunnat bagi orang yang sudah dewasa kalau dia sudah mampu mengakikahkan dirinya
sendiri.
Hewan yang digunakan
untuk akikah sama dengan hewan yang digunakan untuk kurban, baik dari segi
syarat-syarat dan ketentuan-ketentuannya, yaitu hewan tersebut tidak boleh
cacat.
Dalam masalah daging
hewan akikah ini, ketentuannya sama dengan daging kurban dalam hal memakannya,
menyedekahkannya, dan tidak diperbolehkan untuk menjualnya. Daging akikah ini,
dianjurkan supaya dimassak terlebih dahulu baru dibagikan kepada fakir miskin,
berbeda dengan daging kurban yang diberikan masih mentah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani,
Al-Hafizh bin Hajar. 1996. Terjemahan Bulughul Maram. Wicaksana: Semarang
As’ad,
Aliy. 1979. Terjemahan Fathul Mu’in jil.2. Menara Kudus: yogyakarta
Rasyid,
Sulaiman. 1986. Fiqih Islam,. CV. Sinar Baru: Bandung.
Rusyd,
ibnu. 1990. Terjemah Bidayatul Mujtahid jil.2. CV. Asy-Syifa’: Semarang
Al-Habsyi,
Muhammad Bagir. 1999.Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an,As-Sunnah dan pendapat para ulama. Mizan:
Bandung
Mufid,Ainul.
2006.Kitab Fiqih, Jawabul Masa’il
Bermazhab Empat jil.1.Yayasan Darut
Taqwa: Pasuruan
[1] Sulaiman Rasyidh, Fiqih Islam,
(Bandung: CV Sinar Baru, 1986), hlm. 479.
[2] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam,
(Bandung: CV Sinar Baru, 1986), hlm. 480.
[3] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam..,
hlm. 480-481
[4] Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih
Praktis menurut Al-Qur’an,As-Sunnah dan pendapat para ulama,(Bandung:
Mizan, 1999), hlm. 453.
[5] Al-Hafizh bin Hajar Al-Asqalani,.. Terjemahan Bulughul
Maram. Wicaksana: Semarang, 1996,hlm.822.
[6] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam..,
hlm.481.
[8] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam..,
hlm.480.
[10] Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih
Praktis menurut Al-Qur’an,As-Sunnah dan pendapat para ulama,(Bandung:
Mizan, 1999), hlm. 453
[11] Ainul Mufid, Kitab Fiqih,
Jawabul Masa’il Bermazhab Empat jil.1.(Pasuruan: Yayasan Darut Taqwa, 2006).
hlm. 245.
[12] Ainul Mufid, Kitab Fiqih,
Jawabul Masa’il Bermazhab Empat jil.1.(Pasuruan: Yayasan Darut Taqwa,2006).
hlm. 246.
[13] Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih
Praktis menurut Al-Qur’an,As-Sunnah dan pendapat para ulama,(Bandung:
Mizan, 1999), hlm. 454.