BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Ilmu
pengetahuan itu membangun teori lewat pendidikan dan penelitian, dan Filsafat merupakan
induk dari pengetahuan. Perkembangan filsafat Islam, nampak nyata setelah umat
Islam – bangsa Arab muslim pada masa itu – berkomunikasi dengan dunia
sekitarnya, berhubungan dengan peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa yang
didudukinya serta menerima pengaruh dari padanya. Perkembangan filsafat
tersebut dipercepat oleh kaum muslimin dengan adanya usaha penerjemahan
berbagai macam buku ilmu pengetahuan,
terutama filsafat Yunani kedalam bahasa Arab. Namun, bukan berarti bahwa
pemikiran-pemikiran filosofis belum dikenal sebelum itu. Sebelum masuknya
isltilah filsafat dan filosof dalam dunia Islam, umat Islam telah mengenal
istilah “al hikmah” dam usaha mencari al hikmah, mempunyai pengertian dasar
yang sama dengan filsafat. Al Hakim, yang berarti orang yang memiliki al hikmah
disebut juga sebagai filosof.[1]
Islam datang
dengan membawa Al-Qur’an sebagai sumber dan dasarnya. Al-Qur’an juga disebut Al
Hakim,[2]
dan ini berarti bahwa AlQur’an adalah merupakan sumber dan perwujudan al hikmah
atau filsafat dalam Islam. Al Qur’an juga menegaskan bahwa usaha untuk mencari
al hikmah (berfilsafat) itu hanya mungkin dikerjakan oleh orang yang berakal.
“Allah memberikan al hikmah kepada mereka yang menghendaki dan berusaha
mencarinya, dan barang siapa yang memperoleh al hikmah, berarti telah
memperoleh kebajikan dan kebijaksanaan yang banyak, tetapi hanya orang-orang
yang berakal saja yang mampu berusaha mencari hikmah tersebut (berfilsafat)”[3]
Perihal
pendidikan, menurut Islam Pendidikan adalah pemberi corak hitam putihnya
pejalanan hidup seseorang. Ajaran islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan
salah satu kegiatan yang wajib hukumnya bagi pria dan wanita, dan berlangsung
seumur hidup – semenjak dari buaian hingga ajal datang (Al-Hadis) – life long
education.
Pendidikan
mempunyai kedudukan sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan hidup dan
kehidupan umat manusia. Sebagaimana Dewey berpendapat bahwa : Pendidikan
sebagai salah satu kebutuhan hidup ( a necessity of life), salah satu fungsi
sosial ( a social function), sebagai bimbingan (as direction), sebagai sarana
pertumbuhan (as means of growth), yang mempersiapkan dan membukakan serta
membentuk disiplin hidup, lewat transmisi baik dalam bentuk informal, formal
maupun nonformal. Bahkan lebih jauh Lodge mengatakan bahwa : Pendidikan
dan proses hidup dan kehidupan manusia itu berjalan serempak, tidak terpisah
satu sama lain – life is education, and education is life).
Dalam konteks
filsafat islam, tidak jarang kita menuding kelompok tertentu sebagai
“konservatif” dan kelompok lain sebagai “progresif”, seperti juga tidak jarang
kita membagi umat muslim menjadi “tradisionalis” dan “modernis”. Banyak pemikir
muslim yang cenderung mengorbankan filsafat demi keimanan mereka justru
menelurkan argument-argumen filsafat yang lebih menarik daripada para pembela
filsafat itu sendiri.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apakah
pengertian filsafat dan pendidikan?
2.
Bagaimana
sistem filsafat dalam islam?
3.
Bagaimana
perkembangan filsafat pendidikan Islam?
C.
TUJUAN
1.
Untuk
memahami lebih luas pengertian filsafat dan pendidikan
2.
Untuk
mengetahui sistem filsafat dalam Islam
3.
Untuk
mengetahui perkembangan filsafat pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Filsafat Islam dan Pendidikan
Philo yang
artinya cinta, dan Sofia yang artinya kebijaksanaan, atau pengetahuan yang
mendalam`. Jadi filsafat berarti ingin tahu dengan mendalam atau cinta terhadap
kebijaksanaan.Filsafat menurut terminology adalah berfikir secara `sistematis,
radikal dan universal,untuk mengetahui hakekat segala sesuatu yang ada, seperti
hakekat alam, hakekat manusia,hakekat masyarakat, hakekat pendidikan dan
lain-lain. Dengan demikian muncullah apa yang disebut filsafat alam, filsafat
manusia, filsafat ilmu dan sebagainya.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution , Filsafat berasal
dari bahasa Yunani yang tersusun dari dua kata philien dalam arti cinta
dan sophos dalam arti hikamat (wisdom) orang Arab memindahkan kata Yunani philoophia
kedalam bahasa mereka dengan menyesuaikannya dengan tabiat susunan kata-kata
Arab, yaitu Falsafa dengan pola fa’ala, fa’lalah dan fi’lal.
Dengan demikian kata benda dari kata kerja fasafa seharusnya menjadi falsafah
atau filsaf. Selanjutnya kata filsafat yang banyak terpakai dalam bahasa
Indonesia, menurut Prif. Dr. Harun
Nasution bukan bersal dari bahasa Arab falsafah dan bukan pula dari bahasa
Barat Philosophy.
Dari pengertian
secara etimologi,ia memberikan definisi filsafat sebagai berikut:
● Pengetahuan
tentang hikmah,
● Pengetahuan
tentang prinsip atau dasar-dasar,
● Mencari
kebenaran,
● Membahas
dasar-dasar dari apa yang dibahas.
Ia berpendapat
bahwa intisari filsafat ialah “berfikir menurut tata tertib (logika) dengan
bebas tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan
sedalam-dalamnya sehingga sampai kedasar-dasar persoalannya”). Adanya
pengertian atau definisi yang bermacam-macam itu terungkap juga oleh Drs. Sidi
Gazalba, bahwa para filosof mempunyai definisi tentang filsafat sendiri-sendiri
. Beberapa contoh definisi filsafat menurut beberapa para ahli, antara lain :
● Plato, Mengatakan bahwa filsafat tidaklah lain dari pada
pengetahuan dari segala yang ada.
● Aristoteles, berpendapat bahwa kewajiban filsafat ialah menyelidiki sebab dan asas segala benda.
Dengan kata lain filsafat bersifat ilmu yang umum sekali.
● Alk Kindi, sebagi pemikir pertama dalam filsafat Islam yang
memberikan pengertian filsafat dikalangan umat Islam membagi filsafat itu dalam
tiga lapangan :
a.
Ilmu
fisika (al ilmu al thobiiyyat), merupakan tingkatan terendah.
b.
Ilmu
matematika (al ilmu al riyadi), tingkatan tengah.
c.
Ilmu
ketuhanan (al ilmu rububiyyat), tingkatan tertinggi.
● Ibnu Sina, juga membagi filsafat dalam dua bagian, yaitu teori
dan praktek, yang keduanya berhubungan dengan agama, dimana dasarnya terdapat
dalam syari’at Tuhan, yang penjelasan dan kelengkapannya diperoleh dengan
tenaga akal manusia.
Filsafat Islam
berfikir secara sistematis,radikal dan universal tentang hakekat sesuatu
berdasarkan ajaran Islam. Singkatnya filsafat Islam itu filsaafat yang
berorientasi kepada Al Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi
berdasarkan wahyu Allah. Suatu agama akan memegang proporsisi tertentu sebagai
kebenaran berdasarkan factor-faktor yang sangat spesifik bagi agam tersebut
yang tidak bisa digeneralisasi. Dasar-dasar pembuktian kebenaran agama dan
filsafat sangat berbeda. Oleh karenanya, gagasan filsafat Islam tampak seperti
oxymoron.[4]
Filsafat islam
adalah filsafat yang member gema agama (islam) kedalam filsafat, khususnya
filsafat yunani. Bagi sayyed hossein nasr filsafat islam justru filsafat yang
bersumber dari sumber dasar islam, al-quran dan hadits. Dalam praktiknya,
filsafat islam menjabarkan prinsip-prinsip dan menimba inspirasi dari kedua
sumber tersebut sehingga menghasilkan corak filsafat yang secara prinsip
berbeda, walaupun dalam tataran permukaan banyak persamaan dengan filsafat
yunani sebagai akibat dari proses inklusivitas dan adaptasi kreatif. Karena
bertumpu pada kedua sumber yang berupa wahyu itulah, H.Corbin menyebut filsafat
islam sebagai La Philosophie prophetique (filsafat kenabian). Dengan demikian
filsafat islam tidak bisa disederhanakan dengan sekedar filsafat yang lahir dan
dikelola dalam dunia islam.
Mencari
kearifan adalah makna dasar istilah filsafat (philo: cinta, dan Sophia:
kearifan), yang sejatinya ada sejak zaman purba, setidaknya al-farabi dalam
tahshil al-sa’adab mencatat orang-orang
kaldan (kawasan misopotamia) adalah pemilik purba tradisi filsafat yang
diwarisi oleh orang-orang mesir lalu turun ke yunani.
Yang penting
dicatat, dalam pandangan para filosof muslim, filsafat tetap sebagaimana makna
dasarnya, cinta kearifan. Ia bertujuan mencari hakekat segala yang ada (wujud),
tanpa harus membatasi pada usaha rasional, tapi lebih menekankan pada
penggunaan segala sumber pengetahuan secara integrative, mulai dari potensi
rasional, intuisi dan wahyu. Tapi secara konseptual, filsafat sebagai
penjelasan tentang wujud, mengharuskan pembagian yang lebih banyak lagi karena
munculnya pandangan-pandangan yang membentuk aliran tertentu.
Pengertian
pendidikan yang diuraikan Soegarda Poerbakawatja dalam “Ensiklopedi Pendidikan”
yaitu sebagai “semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan
pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta ketrampilannya (orang
menamakan hal ini juga “mengalihkan “ kebudayaan) kepada generasi muda, sebagai
usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun
rohaniah”. Dapat pula dikatakan pendidikan itu adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya
meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu memikul tanggung
jawab moril dari segala perbuatannya.[5]
Kata pendidikan,
dalam bahasa inggris “education” dalam bahasa arab disebut “tarbiyah” yang
berasal dari kata dasar “rabba - yurobbi” yang berarti tumbuh dan berkembang.
Naquib al-Attas berpendapat bahwa kata yang tepat untuk mewakili kata
pendidikan adalah kata ta’dib. Sementara isltilah tarbiyah dinilainya
terlalu luas, yakni mencakup pendidikan untuk hewan, tumbuh-tumbuhan dan
sebagainya.
Sedangkan ta’dib sasaran pendidikannya adalah
manusia. Berbeda dengan Abdul Fattah Jalal berpendapat bahwa istilah yang lebih
komprehensif untuk istilah pendidikan adalah isltilah ta’lim. Jalal
beralasan bahwa kata ta’lim behubungan dengan pemberian bekal pengetahuan.
Pengetahuan ini dalam islam mempunyai kedudukan yang tinggi, sebagaimana di
jelaskan melalui kisah Nabi Adam yang diberi pengajaran (ta’lim) oleh Tuhan.
Dengan sebab ini, para malaikat bersujud (menghormati) Nabi Adam (lihat Q.S.
al-baqarah).
Sedangkan pandangan
para ahli, salah satunya Ahmad D. Marimba, mengatakan bahwa ada lima unsur
utama dalam pendidikan, yaitu: (1) usaha
(kegiatan)yang bersifat bimbingan, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan
secara sadar, (2) ada pendidik, pimpinan atau penolong, (3) ada yang dididik,
(4)adanya dasar dan tujuan dalam
bimbingan, (5) dalam usaha itu ada alat-alat yang digunakan.
Pemikiran dan kajian tentang pendidikan
dilakukan oleh para ahli dalam berbagai sudut tinjauan dan disiplin ilmu, seperti agama, filsafat,
sosiologi, ekonomi, politik, sejarah dan antropologi. Sudut tinjauan ini menyebabkan
lahirnya cabang ilmu pengetahuan kependidikan yang berpangkal dari sudut
tinjauannya, yaitu pendidikan agama, filsafat pendidikan, sosiologi pendidikan,
sejarah pendidikan, ekonomi pendidikandan sebagainya.
2.
Sistem
Filsafat dalam Islam
Diantara ciri
khusus sistem filsafat dalam Islam, adalah penggunaan Al Quran sebagai sumber
filsafat dan pembimbing bagi kegiatan berfilsafat. Semua system yang menjadi
pokok pengkajian dengan melalui pemikiran yang mendalam, teliti dan bebas
selalu berkisah pada masalah, Yaitu Ontologi, Epistemologi dan Axiologi. Ontologi
adalah teori tentang “ada”, yaitu tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi
objek filsafat. Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas
tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin
diketahui/dipikirkan. Sedangkan Axiologi adalah teori tentang nilai,
yang membahas tentang nilai, manfaat atau fungsi sesuatu yang diketahui
tersebut dalam hubungannya dengan keseluruhan apa yang di ketahui tersebut.[6]
Filsafat Islam sebagai
suatu sistem kefilsafatan juga mengandung ketiga unsur tersebut. Perbedaan
antara sistem filsafat pada umumnya dengan sistem filsafat Islam, adalah pada
pandangannya yang “sarwa Islam”.
Dalam pandangan
Islam,sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an, bahwa pada hakikatnya manusia
adalah “khalifah Allah di alam semesta ini”.[7]Allah
menegaskan bahwa ketika manusia menjadi khalifah dibumi telah dilengkapi dengan
dua kelengkapan, yaitu: (1) ditanamkan oleh Allah dalam diri manusia al asma’.
Al Asma’ yaitu nama-nama yang kemudian kita kenal seperti sekarang ini
sseperti: manusia, binatang, bumi, laut, gunung, kuda dan sebagainya. (2)
diberi petunjuk (hidayah, bimbingan) oleh dalam menempuh kehidupan
(melaksanakan tugas kekhalifahan) di alam.[8])
Diantara tugas kekhalifahan, adalah mengembangkan potensi pembawaan trsebut
dialam, dalam kehidupan nyata.
Dalam
mengembangkan Al Asma tersebut, manusia diberi petunjuk oleh Allah berupa
aturan-aturan atau hukum-hukum yang diciptakan oleh Tuhan, baik yang tersurat
dalam wahyu (Al Qur’an) maupun yang tersirat dialam (sunnatullah).
Diantara
sebutan (Al Asma’) tuhan yang utama adalah Al Khaliq, artinya yang menciptakan.
Ini berarti manusia diberi oleh Tuhan dengan sifat mencipta tersebut, yang
harus dikembangkan sehingga manusia mempunyai sifat kreatif.
Secara konkret
dan praktis, kegiatan berfilsafat dalam dunia Islam bermula dan nempak dalam
sistem pengambilan kebjaksanaan dengan jalan ijtihad. Ijtihad adalah usaha utuk
mendapatkan kebenaran dan kebijaksanaan dengan menggunakan segenap daya akal
pikiran dan potensi-potensi manusiawi lainnya. Sistem ijtihad inilah yang
merupakan dasar-dasar epistemology dalam
filsafat Islam, yang kemudian dalam perkembangannya menimbukkan berbagai macam
aliran pemikiran falsafati dalam dunia Islam.
Tumbuh
kembangnya alam pikiran filsafati dalam dunia islam tersebut, disebabkan karena
bberapa faktor, antara lain sebagaiman diungkapkan oleh M.M Syarif dalam
“Muslim Thought, Its Origin and Achiement”, sebagai berikut:[9]
1.
Sumber
Islam yang asli dan murni, yaitu ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi yang
mendorong dan memerintahkan utuk membaca, berpikir, bertafakkur dan sebagainya.
2.
Bersumber
dari budaya dan pemikiran bangsa-bangsa yang kemudian masuk Islam. Maksudnya unsure-unsur
budaya mereka, adat kebiasaan dan sistem pemikirannya tetap mereka pertahankan
selama tidak bertentangan dengan sumber dasar Islam.
3.
Bahan
terjemahan dari bahasa asing. Para filosofis Islam pada umumnya merupakan
penterjemah, pengulas dan komentator serta pengembang yang bijaksana dari
filsafat Yunani tersebut.
Dalam garis
besarnya bentuk dan sistem filsafat yang berkembang dalam dunia Islam tersebut,
sebagaimana dirirngkas oleh Ahmad Fuad al-Ahwany dalam “Al-Falsafah
al-Islamiyah” adalah (1) Pemikiran-pemikiran falsafati dalam Ilmu Kalam, (2)
Pemikiran-pemikiran falsafati dalam Tasawuf, (3) Pemikiran-pemikiran falsafati
dalam Fiqh dan (4) Pemikiran-pemikiran falsafati dalam Ilmu Pengetahuan.[10]
Pembahasan ilmu
Kalam berkembang tentang Allah dengan sifat-sifat-Nya. Dalam sistem filsafat
pada umumnya, pembahasan tentang Tuhan dengan sifat-sifatnya disebut Theologia.
Theologia dalam filsafat islam mempunyai cirri yang khas, karena dalam filsafat
islam ada dua sumber kebenaran, yaitu wahyu dan akal pikiran (ra’yu). Dalam sistem
ilmu kalam (theologia Islam) digunakan dalil-dalil nakli yang berupa
penegasan-penegasan dari wahyu, dan dalil-dalil akli yaitu penggunaan akal
pikiran. Tetapi dalam prakteknya, dalil-dalil akli lebih dominan dalam
penggunaannya, karena berkembangnya ilmu kalam tersebut adalah dengan tujuan
untuk mempertahankan filsafat Islam dari serangan dan rongrongan ajaran
filsafat (theologia) lain. Disamping itu, untuk memahami maksud yang sebenarnya
dari wahyu tidak mengkin tanpa menggunakan akal. Dengan demikian segi-segi
filsafat dalm ilmu kalam lebih menonjol (dominan).
Tasawuf atau
sufisme adalah sebutan bagi mysticism yang berkembang dalam dunia Islam.
Intisari sufisme atau mysticism adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan
dialog antara roh manusia dengan Tuhan, dengan cara mengasingkan diri dan
berkontemplasi.
Pada umumnya
ajaran tasawuf berdasar pada pandangan filsafat bahwa alam adalah merupakan
pencaran Tuhan dan pucak pancaran tersebut adalah manusia (filsafat emanasi).
Dalam istilah tasawuf pemancaran Tuhan dalam alam disebut proses tajalli.
Manusia sebagai puncak tajalli, berada di alam dunia ini,dan akan kembali
menuju ke kesatuan wujud dengan Tuhan, ini dalam tasawuf disebut proses
taraqqi. Ajaran Tasawuf mengajarkan bahwa untuk mencapai kesempurnaan taraqqi,
manusia harus melalui tingkatan-tingkatan sebagai tangga menuju kepuncak
taraqqi yaiut musyahadah/ittihad. Tingkatan-tingkatan dalam menuju ke
kesempurnaan taraqqi, menurut tasawuf Isalam adalah syari’at, tharikat, hakikat
dan ma’rifat
Para pengulas filsafat Islam, menyatakan bahwa
fiqh dengan sitem ijtihadnya yang disebut ushul fiqh tersebut merupakn bentuk
awal dari filsafat Islam yang murni.[11] M.
Hasbi As Shiddiqy, dalam “Falsafah hukum Islam”, mengemukakan salah satu
definisi fiqh dalam Islam sebagai: “Hukum-hukum syara’ yang diperlukan kepada
perenungan yang mendala, pemahaman yang ijtihad”. Pengertian fiqh mencakup apa
yang dimaksudkan dengan “analisa bahasa” yang digunakan sebagai salah satu
pendekatan atau metode filsafat masa kini.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dalam dunia Islam padoba masa jayanya tidak lepas dari
pengaruh filsafat Yunani dan pemikiran-pemikiran tentang alam yang telah ada
sebelumnya. Sebagaimana diketahui bahwa filsafat sebagai induk ilmu
pengetahuan, telah berkembang dan bercabang-cabang menurut objeknya
masing-masing. Cabang Filsafat yang mengkhususkan objeknya pada alam dan
masalah-masalah alamiah, menimbulkan filsafat alamiah.
Selanjutnya
Henry Margenan dan David Bergamini, dalam “the Scientist”, sebagaimana diolah
oleh jujun S. Suriasumantri, telah mendaftar sederetan ilmu pengetahuan
yang dikembangkan sebagai hasil
perkembangan pemikiran dan ilmiah ddi kalangan kaum Muslim yang kemudian secara
berangsur berpindah kedunia Barat Sebagai berikut:
(1)
Dalam
bidang Matematika: Teori Bilangan, Aljabar, Geometri Analit, Trigonometri.
(2)
Dalam
bidang Fisika: Mekanika, Optika.
(3)
Dalam
bidang Kimia: Al Kimia
(4)
Dalam
bidang Astronomi: Mekaniaka benda langit
(5)
Dalam
bidang Geologi: Geodesi, Mineralogi, Meteorologi.
(6)
Dalam
bidang Biologi: Phisiologi, Anatomi, Botani dan Zoologi, Embriologi, Pathologi.
(7)
Dalam
bidang Sosial: Politik.[12]
Pola berpikir
empiris yang didunia Barat dikenal lewat tulisan Francis Bacon (1561-1626 M)
dalam bukunya “Novum Organum” yang terbit dalam tahun 1620 M., semula berasal
dari Sarjana-sarjana Islam.[13]Dari
pola berpikir empiris inilah kemudian brkembang metode-metode ilmiah yang
bersifat empiris, eksperimental, yang mengakibatkan terjadi perkembangan ilmu
pengetahuan yang demikian pesatnya sebagaimana tejadi sekarang.
3.
Filsafat
Pendidikan Islam
Sebagaimana
diketahui bahwa manusia adalah sebagai khalifah Allah dialam. Sebagai khalifah
manusia mendapat kuasa dan wewenang untuk melaksanakan pendidikan terhadap
dirinya sendiri, dan manusiapun mempunyai potensi untuk melaksanakannya. Dengan
demikian pendiddikan merupakan urusan hidup dan kehidupan manusia, dan
merupakan tanggung jawab menusia sendiri.
Untuk dapat
mendidik diri sendiri, pertama-tama manusia harus memahami dirinya sendiri. Manusia
hidup dalam masyarakatnya, dimana ia harus menyesuaikan diri didalamnya.
Manusia hidup bersama dengan hasil cipta rasa dan karsanya (kebudayaannya).
Manusia hidup dengan kepercayaannya, dengan pengalaman pengetahuan yang
diperoleh dalam proses hidupnya. Sementara itu dari masa ke masa, dari generasi
ke generasi, Nampak bahwa alam lingkungannya berubah, berkembang, pengetahuan
dan kebudayaannya pun berkembang, sehingga nilai-nilai pun berubah pula. Dan
tanpa dilihat dengan nyata ternyata kualitas hidup dan kehidupannyapun
berangsur-angsur berubah menuju pada kesempurnaan. Jadi, Manusia berhadapan
dengan alam dan lingkungannya, dan manusia harus pula memahaminya.
Pendidikan
merupakan problema hidup dan kehidupan manusia. Menurut konsep pendidikan dalam
islam, bahwa pada hakikatnya manusia sebagai khalifah Allah dialam, manusia
mempunyai potensi untuk memahami, menyadari dan kemudian merencanakan pemecahan
problema hidup dan kehidupannya. Manusia memiliki tanggung jawab sendiri untuk
mengatasi suatu problema yang ada pada kehidupannya sendiri. Dalam hal ini,
islam menghendaki agar manusia melaksanakan dan menghadapi pendidikannya
sendiri dengan lebih bertanggung jawab agar dapar berada tetap dalam kehidupan
islami, kehidupan yang selamat, sejahtera, sentosa yang di ridhai Allah.
1.
Dasar-dasar
Pendidikan
Yang dimaksud dengan dasar pendidikan adalah pandangan hidup yang
melandasi seluruh aktifitas pendidikan. Karena dasar menyangkut masalah ideal
dan fundamental, serta tidak mudah berubah. Kalau nilai-nilai sebagai pandangan
hidup yang dijadikan dasar pendidikan bersifat relative dan temporal, maka
pendidikan akan mudah terombang-ambing oleh kepentingan dan tuntutan sesaat
yang bersifat teknis dan pragmatif.
Maka, sebuah dasar pendidikan harus sesuatu yang bersifat filosofis. Filsafat pendidikan
adalah fundamental untuk melahirkan praksis, pendapat ini dikemukakan oleh
Winarno Surachman.
Dari sekian banyak nilai yang terkandung di dalam Al-Quran dan
al-Hadits dapat diklasifikasikan kedalam nilai dasar atau instrinsik dan nilai
instrumental. Nilai instrinsik adalah nilai yang ada dengan sendirinya bukan
sebagai prasarana atau alat bagi nilai yang lain. Nilai yang dimaksud disini
adalah nilai Tauhid atau lengkapnya iman Tauhid. Nilai ini tidak akan berubah
menjadi instrumental karena kedudukannya paling tinggi.
Seluruh nilai yang masih tergolong dengan konteks Tauhid menjadi
nilai Instrumental. Misalnya, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemajuan di satu
saat merupakan nilai instrinsik, sedangkan kekayaan, ilmu pengetahuan dan
jabatan merupakan nilai instrumental untuk menuju kebahagiaan.
Dengan dasar Tauhid, seluruh kegiatan pendidikan islam dijiwai oleh
norma-norma ilahiyah dan sekaligus dimotivasi sebagai ibadah. Dengan ibadah
pekerjaan pendidikan lebih bermakna, tidak hanya makna material tetapi juga
makna spiritual.
Dalam pandangan Al-Quran dan Sunnah, masalah Tauhid adalah masalah
yang pokok. Misalnya Ibnu Ruslan mengatakan bahwa yang pertama diwajibkan
seseorang muslim adalah mengetahui tuhannya dengan penuh keyakinan. Tauhid yang
transformative adalah tauhid yang berfungsi sebagai polisi rahasia dalam diri
kita yang menyebabkan manusia selalu merasa diawasi dan dikendalikan oleh
nilai-nilai yang berasal dari Tuhan, serta harus mempertanggung jawabkannya
diakhirat nanti.
Pada dasarnya seluruh nilai dalam islam berpusat pada
Tauhid(Teosentrisme). Namun perlu disadari bahwa pemusatan pada tuhan pada
hakikatnya bukan untuk kepentingan Tuhan, tetapi sebaliknya justru untuk
kepentingan manusia.
2.
Asas-asas
Pendidikan
Pendidikan mempunyai asas-asas tempat ia tegak dalam materi,
interaksi, inovasi, dan cita-citanya. Maksud dari asas-asas pendidikan adalah
sejumlah ilmu yang secara fungsional sangat dibutuhkan untuk membangun konsep
pendidikan termasuk pula dalam melaksanakannya.
Menurut Hasan Langgunung ada enam bidang ilmu yang dibutuhkan oleh
pendidikan, antara lain :
1.
Ilmu
Sejarah (Historis)
Fungsi
dari Ilmu Sejarah ini untuk mempersiapkan sipendidik dengan hasil-hasil
pengalaman masa lalu dengan undang-undang dan peraturan-peraturannya,
batas-batas dan kekurangannya.
2.
Ilmu
Sosial
Fungsi
Ilmu Sosial ini sebagai pemberi kerangka budaya dari mana pendidikan itu
bertolak dan bergerak, memindah budayaan memilih dan mengembangkannya.
3.
Ilmu
Ekonomi
Berfungsi
sebagai pemberi perspektif tentang potensi-potensi manusia dan keuangan, materi
dan persiapan yang mengatur sumber-sumbernya dan bertanggung jawab terhadap
anggaran belanjanya.
4.
Ilmu
Politik
Berfungsi
sebagai pemberi bingkai ideology dari mana ia bertolak untuk mencapai tujuan
yang dicita-citakan dan rencana yang telah dibuat.
5.
Ilmu
Psikologi
Berfungsi
sebagai pemberi informasi tentang watak para pelajar, para guru, cara-cara
bterbaik dalam praktek, memilih metode dan pendekatan, pencapaiian dan
penilaian, pengukuran dan bimbingan.
6.
Ilmu
Filsafat
Berfungsi
sebagai sarana untuk memilih yang lebih baik, member arah suatu system,
mengontrol, serta membri arah terhadap semua asas-asas yang lain.
Selain menggunakan kata asas-asas,dikalangan para ahli pendidikan
islam juga ada yang mempergunakan kata prinsip-prinsip yang menjadi dasar
pendidikan islam.
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani menyebutkan adanya lima prinsip
yang harus digunakan sebagai asas dalam membangun konsep pendidikan islam. Lima
prinsip tersebut adalah :
1.
Prinsip
padangan islam terhadap jagad raya
Mengandung
uraian tentang kepercayaan yang mengatakan bahwa pendidikan adalah proses dan
usaha mencari pengalaman dan perubahan yang diingini oleh tingkah laku, bahwa
jagad raya sebagai sesuatu selain Allah, bahwa wujud yang mungkin ialah dengan
materi dan ruh, bahwa jagad raya ini berubah dan berada dalam gerakan terus
menerus, alam diciptakan oleh Allah SWT yang bersifat dengan segala sifat
kesempurnaan.
2.
Prinsip
pandangan islam terhadap manusia
Mengandung
arti kepercayaan bahwa manusia adalah sebagai makhluk yang termulia dialam
jagad raya. Ia adalah sebagai makhluk yang berfikkir, mempunyai tiga dimesi,
yaitu badan, akal, dan ruh.
3.
Prinsip
pandangan islam terhadap masyarakat
Berpandangan
bahwa masyarakat adalah salah satu factor utama yang memberi pengaruh dalam
pendidikan dan kerangka dimana berlangsung proses pendidikan, dan disitu juga
berlakunya penentuan tujuan-tujuan, kurikulum metode dan alat-alat pendidikan.
4.
Prinsip
pandangan islam terhadap ilmu pengetahuan
Prinsip
ini berisikan perbincangan tentang sumber-sumber pengetahuan disamping
pembahasan tentang penjenisan pengetahuan dalam falsafah islam dan falsafah
pada umumnya. Asas ini juga mengharuskan kita untuk menelaah perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia islam serta pendapat para tokohnya.
5.
Prinsip
pandangan islam terhadap akhlak
Dalam
hubungannya dengan pendidikan antara lain berisi uraian tentang pengertian dan
macam akhlak yang mulia, factor-faktor yang menyebabkan timbulnya akhlak yang
mulia dan akhlak yang tercela, proses pembentukan akhlak yang mulia,
menghilangkan akhlak yang tercela, hubungan akhlak dengan moral, etika, dan
sopan santun.
Hal-hal yang
berkaitan dengan dekatnya hubungan antara manusia dengan Tuhan, tentang kembali
kepada Tuhan menimbulkan Ilmu Tasawuf, Ilmu Fiqih merupakan kodifikasi dari apa
dan bagaimana nilai-nilai dan norma-norma kehidupan dan tingkah laku. Dan hal yang
berkaitan tentang alam semesta dan hubungan manusia dengan alam semesta dan lingkungannya, menghasilkan berbagai
macam ilmu pengetahuan.
Ilmu-ilmu
tersebut berhasil dikembangkan dalam dunia islam, dengan menggunakan metode
Ijtihad. Ijtihad ialah menggunakan segenap daya akal dan petensi manusiawi
lainnya untuk mencari kebenaran dan mengambil kebijaksanaan, dengan bimbingan
Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW.
Metode Ijtihad
sebagai metode khas filsafat islam, memang telah mengalami perkembangan dan
para ulama serta filosof islam menggunakannya secara bervariasi. Pada dasarnya
Ijtihad bersumber pada Al-Quran sebagai wahyu Allah dan As-Sunnah sebagai
penjelasan dan penjabarannya. Tetapi para ualam dan filosof islam berbeda-beda
dalam cara penggunaannya sebagai sumber pemikiran dan Ijtihadnya. Perbedaan
tersebut pada hakikatnya bersumber dari perbedaan dasar filosofis yang
mendasarinya. Ulama dan filosof dari para kalangan Mu’tazilah misalnya,
berpandangan bahwa hakikat Al-Quran adalah Makhluk, baru, sebagaimana alam
lainnya. Alam berkembang, berubah dan kebenaran-kebenaran yang diperoleh
manusia dari alam pun merupakan kebenaran relative sementara. Demikian sama
dengan kebenaran dan pengetahuan yang di dapatkan dari Al-Quran pun merupakan
kebenaran yang relative. Al-Sunnah sebagai penjabaran dari kebenaran Al-Quran
(penafsiran) menunjukkan pada kebenaran dan kesesuaian dengan zamannya. Oleh
karenanya penafsiran terhadap Al-Quran pun dapat berkembang. Sedangkan kalangan
Ahlu Sunnahpada umumnya berpandangan bahwa hakikat Al-Quran adalah kalamullah
yang qadim dan abadi. Dengan demikian kebenaran-kebenaran yang terdapat
didalamnya adalah kebenaran yang abadi, kebenaran yang tak tersentuh akal
pikiran manusia yang relative. Sebagai konsekuensi penafsiran Al-Quran dengan
menggunakan akal pikiran adalah masalah tabu dan dilarang. Ijtihad hanya
diperbolehkan selama tidak menyentuh hal-hal yang sudah tercantum dalam
Al-Quran dan sudah dijelaskan dalam Al-Sunnah. Dikalangan ulama dan filosof
dalam bidang fiqh pun berbeda-beda system ijtihadnya, yang menghasilkan
kesimpulan hukum yang berbeda-beda pula. Demikian pula dikalangan ahli tasawuf,
penggunaan system ijtihad yang berbeda, menghasilkan tarekat yang berbeda-beda
pula.
Dari uraian
diatas, Nampak jelas bahwa dalam filsafat islam telah berkembang metode-metode
filosofis dan aliran-aliran filsafat yang beranekaragam, yang kesemuanya
memberikan arah dan mempengaruhi jalannya pertumbuhan dan perkembangan umat
islam, baik secara individual maupun secara ijtima’i. dalam kata lain metode
dan system serta aliran filsafat islam ini sangat mempengaruhi jalannya
pendidikan dikalangan umat islam.
Imam barnadib
mengemukakan bahwa filsafat pendidikan islam bersifat tradisional dan kritis.
Filsafat yang bersifat tradisional adalah filsafat sebagaimana adanya,
sistematika, jenis dan alirannya sebagaimana dijumapi dalam sejarah. Berbeda
dengan filsafat yang bersifat kritis, dapat disusun dan dilepaskan dari ikatan
waktu (historis) dan usaha mencari jawab yang diperlukan dapat memobilisasikan
berbagai aliran yang ada dan dicari dari masing-masing aliran, diambilnya dari
jenis masalah yang bersangkutan dengan aliran tersebut.[14]
BAB III
ANALISIS
Dalam makalah
yang berjudul filsafat Islam dan pendidikan, penulis memperoleh data dari
berbagai sumber. Antara lain dari buku karya Zuhairini, disebutkan bahwa dalam
dunia filsafat, filsafat pendidikan merupakan suatu bentuk filsafat khusus,
yaitu bagian dari filsafat Islaam, yang mengkhususkan obyek dan sasaran
pembahasannya dalam bidang pendidikan. Filsafat pendidikan Islam merupakan
penggunaan dan penerapanfilsafat Islam dalam dunia kependidikan.
Dengan demikian
filsafat pendidikan Islam sebagai suatu system, selalu berkaitan dan sejalan
dengan system induknya yaitu Filsafat Islam.
1.
BAB IV
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Filsafat pendidikan islam dapat diartikan sebagai studi tentang pandangan filosofis dari system dan aliran filsafat dalam islam
terhadap masalah-maslah kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap
pertumbuhan dan perkembangan manusia muslim dan umat islam. Disamping itu juga
merupakn studi tentang penggunaan dan penerapan metode dan system filsafat
islam dalam memecahkann problematika pendidikan umat islam, dan selanjutnya
memberikan arah dan tujuan yang jelas terhadap pelaksanaan pendidikan umat
islam.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Zuhairini. 1994. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
Leaman, Oliver. 1999. Pengantar Filsafat Islam: Sebuah
Pendekatan Tematis. Bandung: Mizan.
http//www.uin_alauddin.ac.id/download-13sukardi.20Deppung.pdf
Keterangan :
Diakses pada Tanggal 07 Desember 2014 Pukul 21.30 WIB
[1] Ibrahim Anis, cs. : Al Mu’jam al wasith, Mathba’ah Angkasa,
Jakarta, cet. Kedua, hlm. 190.
[2] Lihat AlQur’an, Surat :36 (Ya Sin), ayat 1-2.
[3] Lihat Alqu’an, Surat : 2 (Al
Baqrah), ayat 269
[4] Oxymoron secara harfiah berarti ungkapan yang mneggabungkan
pengertian yang berlawanan, misalnya orang bijaksana yang bodoh atau orang
gegabah yang teliti-peny.
[5] Sugarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, Gunung Agung,
Jakarta, 1976, hlm. 214.
[6] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, PT Gramedia Jakarta,
1982, hlm. 5
[7] Lihat Surat 2(Al Baqarah): 30; Surat 6 (Al An’am): 165
[8] Lihat Surat al ‘Ala ayat 1-3.
[9] M.M Syarif, Muslim Thout, its Origin and Achiement, terj. Fuad Moh.
Fachruddin, CV. Diponegoro, Bandung, 1979,hlm. 28
[10] Ahmad Fuad Al Ahwany, Al Falsafah al Islamiyah, Wizarah al Taaqafah
wa al Irsyad, Al Kohrah, 1962, hlm. 9
[11] Omar Amin Husein, Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 215.
[12] Jujun S. Suriasumantri,op. cit., hlm. 14-15.
[13] Jujun S. Suriasumantri, op. cit., hlm. 10
[14] Imam Barnadib, filsafat pendidikan (pengantar mengenai
system dan metode) Yayasan penerbit FIK IKP Yogyakarta, 1982, Hal. 89.