PENULIS:
MUSTOFA
A. Pendahuluan
Kehidupan dunia bersifat fana dan semu. Kehidupan
sebenarnya adalah kehidupan setelah mati. Namun banyak manusia yang lupa atau
melupakan diri. Mereka mengabaikan tujuan penciptaan manusia untuk beribadah
kepada Alloh SWT.
Di era perkembangan zaman yang semakin maju, terjadi
kemerosotan dalam pemeliharaan keimanan. Seperti perekonomian yang berkembang
justru memalingkan perhatian manusia untuk lebih mencari harta, bahkan sampai
lupa waktu hingga mendewakannya. Di lain sisi terdapat sebagian kaum muslim
yang terjebak pada ibadah ritual semata dan cenderung meninggalkan perkara
duniawi. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk beribadah dengan cara mengasingkan
diri (uzlah) dari masyarakat dan berbagai cara lainnya.
Dunia merupakan ladang akhirat. Siapa yang menanam
kebaikan akan memanen kebaikan pula. Namun, Allah juga mengingatkan untuk tidak
melalaikan kehidupan duniawi, seperti makan, minum, bekerja, dan memberi nafkah
keluarga. Maka dari itu, kami akan membahas hadits-hadits yang berkaitan dengan
keseimbangan dunia dan akhirat.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa bunyi ayat
Al-Qur’an tentang keseimbangan dunia dan ukhrawi?
2.
Apa bunyi Hadits
tentang keseimbangan dunia dan ukhrawi?
3.
Apa pengertian tentang
pergaulan sesama manusia?
4.
Apa dasar-dasar
pergaulan?
5.
Bagaimana usaha-usaha
untuk menjaga harmoni pergaulan?
6.
Apa saja adab bergaul
antar sesama muslim dan non muslim?
C. PEMBAHASAN
1. Keseimbangan Dunia dan Ukhrawi
Allah menciptakan manusia
sebagai makhluk social. Oleh karena itu manusi tidak dapat untuk hidup sendiri
tanpa bantuan orang lain. Manusia antara satu dengan satu sama lain harus
selalu berinteraksi. Maka dari itu, sebagai kaum muslimin, tidak boleh hanya
mementingkan kepentingan akhirat, dengan meninggalkan kepentingan duniawi.
Keduanya harus berjalan seimbang satu sama lain. Di bawah ini, akan dijelaskan
secara mendetail. Hubungan dan keseimbangan kehidupan di dunia dan
akhirat.
Allah SWT
berfirman :
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
(Al Qashash: 77)
Allah SWT. Pada ayat ini memerintahkan
kepada orang-orang beriman agar dapat menciptakan keseimbangan antara usaha
untuk memperoleh keperluan duniawi dan keperluan ukhrawi. Tidak mengejar salah
satunya dengan cara meninggalkan yang lainnya. Nabi SAW sangat mencela
orang-orang yang hanya mengejar akhirat dengan meninggalkan duniawi. Apalagi
kalau menjadi beban orang lain dalam masalah nafkah. Nabi SAW pernah mencela
seorang pemuda yang membebani ayahnya dalam nafkah.
Kehidupan duniawi dan ukhrawi merupakan fitroh
yang harus dijalani oleh manusia, sehingga menjalani kehidupan ini dengan
memenuhi kebutuhan keduanya tidak dapat dipisah-pisah. Membuat keseimbangan
antara dunia dan akhirat merupakan bagian dalam ajaran Islam yang harus
dilaksanakan oleh umatnya.
Allah berfirman dalam ayat lain:
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidaklah ciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah
hanya kepada-Ku“. (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Ayat ini menunjukkan bahwa ibadah adalah tujuan UTAMA kita diciptakan.
Jika demikian, pantaskah kita menyeimbangkan antara tujuan utama dengan yang
lainnya?
Bahkan dalam doa “sapujagat” yang sangat masyhur di kalangan awam,
ada isyarat untuk mendahukan kehidupan akherat:
رَبَّنَا آتِنَا
فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, juga kebaikan di
akhirat. Dan peliharalah kami dari siksa neraka“. (QS. Albaqoroh: 201)
Allah
SWT berfirman
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ٩
فَإِذَا قُضِيَتِ
الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا
اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ١٠
(Ayat
9) “Hai orang-orang
yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang
demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
(Ayat 10) “Apabila telah menunaikan salat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.S. Al-Jumu’ah, 62: 9-10)
Menurut
para Fukaha Surah al-Jumu'ah 62 ayat 9-10
merupakan dalil tentang salat Jum’at. Salat Jumat
hukumnya wajib bagi setiap muslim. Dengan demikian, ketika seorang muslim
sedang berjual beli dan azan
telah berkumandang, ia diperintahkan untuk meninggalkan jual beii dan segera
menunaikan salat Jumat. Kandungan Surah al-Jumu'ah 62 ayat 9-10, jika dikaitkan dengan tema etos kerja,
penjelasannya sebagai berikut:
a.
Perlunya keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, Surah al-Jumu’ah
62 ayat 9-10 mengajarkan tentang konsep hidup yaitu keseimbangan antara urusan
dunia dan akhirat. Pada saat bekerja untuk kehidupan di dunia kita tidak boleh
melupakan ibadah. Sebaliknya, kita tidak boleh terus-menerus beribadah dengan
melupakan urusan dunia. Bekerja untuk urusan dunia harus seimbang dengan
bekerja untuk urusan akhirat. Demikian yang tercermin dalam surah al-Jumu’ah 62
ayat 9-10. Ketika bekerja untuk urusan dunia kita tidak boleh mengingat
kematian karena akan dapat menurunkan semangat bekerja. Sebaliknya, ketikak
beribadah kita harus berfikir bahwa kematian akan segera dating sehingga
semangat untuk mendekatkan diri kepada-nya
pun muncul. Jika dalam bekerja kita mengingat kematian, malas dan enggan
bekerja yang akan muncul. Sebaliknya, ketika beribadah kita mengingat mati
seolah-olah akan hidup selamanya keengganan untuk beribadahlah yang akan
timbul.
b.
Dalam
bekerja harus selalu ingat Allah SWT di mana pun kita berada haruslah mengingat
Allah SWT, karena akan menyebabkan kita berperilaku terpuji dan tidak
terperosok dalam kemaksiatan. Mengingat dan measakan kehadiran Allah SWT akan
menyebabkan seseorang termotivasi untuk mencari rida-Nya. Semangat dan kerja
keras akan muncul agar dapat menjalankan perintah-Nya. Caranya dengan
membelanjakanmateri yang diperoleh untuk bersedekah, infak, membantu fakir miskin, dan bentuk lainnya. Senantiasa mengingat Allah swt.
akan menyebabkan seseorang senantiasa berperilaku terpuji.
c.
Mengingat
produktivitas kerja, Allah SWT tidak melarang hamba-Nya untuk bekerja. Bahkan, Allah swt. dan rasul-Nya
mernerintahkan agar seorang hamba rajin bekerja. Ketika azan untuk shalat jum’at berkumandang kita diperintahkan
untuk menghentikan urusan dunia sejenak dengan menunaikan salat Jumat.
Setelah selesai menunaikan salat Jumat hendaknya kita bekerja kembali
untuk mencari karunia Allah swt. Menunaikan kewajiban sebagai seorang hamba
dengan beribadah tidak berarti menghambat produktivitas kerja. lbadah yang
dilakukan hendaknya menumbuhkan jiwa dan semangat kerja yang membara. Untuk
mendukung produktivitas kerja, ada hal-hal tertentu yang penting diperhatikan
sebagai berikut:
1)
Bersikap
rajin, ulet, dan tidak mudah putus asa.
2)
Meningkatkan
inovasi dan kreativitas.
3)
Mau belajar dari pengalaman sehingga dapat berbuat lebih baik pada masa
dating.
4)
Memaksimalkan
kemampuan diri yang ada dan selalu optimis.
2.
bunyi hadits tentang
keseimbangan dunia dan ukhrawi
قَا لَ رَسُولُ الله ص م :
لَيْسَ بِخَيْرِ كُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِاَ خِرَتِهِ وَلَا اَخِرَتَهُ
لِدُنْيَاهُ حَتَى يُصِيْبَ مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَاِن الدُنْيَا بَلَا غٌ اِلَى
الْاَ خِرَةِ وَلَا تَكُوْنُوْا كَلًا عَلَى النَاسِ (رواه ابن عساكر عن انس)
“Bukanlah orang
yang baik di antara kamu orang yang meninggalkan kepentingan dunia untuk
mengejar akhirat atau meninggalkan akhirat untuk mengejar dunia sehingga dapat
memadukan keduanya. Sesungguhnya kehidupan dunia mengantarkan kamu menuju
kehidupan akhirat. Janganlah kamu menjadi beban orang lain.” (H.R. Ibnu Asakir dari Anas dalam Kitab Tafsir
al-Kasysyaf jilid 4 hal.1670)
Pada bunyi hadits diatas jelas bahwa kita harus menyeimbangkan antara urusan dunia
dan akhirat karena kita tak akan sampai pada akhirat jika tidak melewati dunia.
Dunia adalah tempat kita menanam kebaikan sedangkan di akhirat kita
akan memetik hasilnya jadi keberhasilan di akhirat juga tergantung keberhasilan
kita selama di dunia. Keberhasilan ini bukanlah yang bersifat duniawi melainkan
keberhasilan kita dalam mengatur keseimbangan urusan dunia dan akhirat.
Nabi melarang sahabatnya untuk terus sibuk beribadah dan
melalaikan dunia karena manusia di dunia adalah makhluk hidup yang memiliki
karakteristik sendiri. Manusia butuh makan untuk bertahan hidup. Apabila
seseorang telah berkeluarga maka dia mempunyai tanggung jawab akan kelangsungan
hidup anggota keluarganya dan ketika seseorang terlalu sibuk dengan kegiatan
beribadah maka tubuhnya akan kurang semangat dalam mengerjakan hal lainnya.
Sehingga ketika dia tidak bekerja dan membuat keluarganya menjadi terlantar
sama saja dia berdosa karena tidak amanat. Nabi sendiri pun telah mencontohkan
bagaimana beliau beribadah namun tidak melupakan bekerja. Pada waktu kecil
beliau adalah seorang penggembala kambing dan ketika sudah dewasa beliau adalah
seorang pedagang.[2]
D. Pergaulan Sesama Manusia
1. Pengertian pegaulan
sesama manusia
Pergaulan adalah proses interaksi yang
dilakukan oleh individu dengan individu, dapat juga oleh individu dengan
kelompok. Juga, pergaulan merupakan salah satu cara seseorang untuk
berinteraksi dengan alam sekitarnya. Pergaulan merupakan fitrah manusia sebagai
makhluk social yang tak mungkin bisa hidup sendirian. Manusia juga memiliki
sifat tolong-menolong dan saling membutuhkan satu sama lain. Interaksi dengan
sesame manusia juga menciptakan kemaslahatan besar bagi manusia itu sendiri dan
juga lingkungannya. Berorganisasi, bersekolah, dan bekerja merupakan
contoh-contoh aktivitas bermanfaat besar yang melibatkan pergaulan antar
manusia. Namun, pergaulan tanpa dibentengi iman yang kokoh akan mudah membuat
seorang muslim terjerumus. Kita lihat di zaman sekarang, banyak kejadian yang dapat
membuat kita mengelus dada. Pergaulan bebas, video mesum, perkosaan, dan
berbagai bentuk perilaku penyimpangan lainnya. Semua itu bersumber dari
pergaulan yang salah dan tidak dilandaskan pada kepatuhan terhadap ajaran
Al-Qur’an.
Firman
Allah SWT :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (al Hujurȃt ayat
13).
. Ayat ini mengisyaratkan bahwa terjalinnya hubungan satu
sama lain di antara sesama manusia merupakan suatu ketetapan dari Allah, dan
hubungan ini berawal dari berbeda-bedanya ciptaan manusia[3].
Sengaja diciptakan Allah berbeda-beda, laki-laki, perempuan, bersuku suku, dan
berbangsa-bangsa supaya mereka saling mengenal. Hal ini untuk saling mengisi
sehingga terciptakan manusia terbaik
Oleh karenanya, adalah suatu hal yang
sangat penting mengetahui dan memahami pergaulan-pergaulan dalam islam. Bagi
sebagian orang yang tidak terbiasa dengan tata cara pergaulan dalam islam,
mereka akan merasa canggung atau barangkali malah merasa tertekan karena
pergaulan dalam islam itu terlihat begitu kaku dan tidak seperti pergaulan yang
umum ditemui di masyarakat.
Islam adalah agama yang syamil (menyeluruh)
dan mutakamil (sempurna).[4]
Agama mulia ini diturunkan dari Allah Sang Maha Pencipta, Yang Maha Mengetahui
tentang seluk beluk ciptaan-Nya. Dia turunkan ketetapan syariat agar manusia
hidup tenteram dan teratur. Diantara aturan yang ditetapkan Allah SWT bagi
manusia adalah aturan mengenai tata cara pergaulan antara pria dan wanita.
Seperti ungkapan terdahulu bahwa adanya tat cara pergaulan dalam islam itu
sebenarnya bukan untuk membatasi namun untuk menjaga harkat dan martabat
manusia itu sendiri agar tidak sama dengan tata cara dan tatanan para hewan
dalam bergaul. Bila satu tutunan itu diambil dengan kerendahan hati dan
keinginan untuk berbakti kepada ilahi, maka tak ada hal sulit untuk mengikuti
tuntunan yang baik itu.Terkesan sulit karena melihatnya dari sisi nafsu dan
kepentingan duniawi. Bila memang belum mampu menjalankan tuntunan yang
sebenarnya, jangan ditantang tuntunan itu. Cukup campkan dalam hati bahwa diri
akan selalu berusaha sekuat tenaga mengikuti aturan yang sesungguhnya. Kalau
menentang atau bahkan menantang, itulah tanda kesombongan diri terhadap Sang
Maha Kuasa.
Membagusakan pergaulan itu ialah
melaksanakan pergaulaln menurut dasar-dasra dan norma-norma yang ditetapkan syara’,
serta memenuhi segala hak-hak mereka yang digauli menurut kadarnya.
Agama Islam mendorong umatnya
saling mengasihi dan menjauhkan permusuhan dan rasa iri hati. Pergaulan yang
harmonis hanya dapat dicapai bila telah tertanam rasa saling membutuhkan atas
dasar cinta dan kasih saying.
2.
Dasar-dasar Pergaulan
Kerap kali pergaulan sumbang,
karena orang-orang memandang dirinya lebih baik dari orang-orang yang lain.
Oleh karenanya itu hilangkan sifat menghormati dan memuliakan orang.
Maka dasar pergaulan itu perlu
diperhatikan oleh sikap masyarakat ialah “memandang saudara-saudaranya dengan
pandangan yang sewajarnya”.
Lapisan pertama, mereka yang lebih
tua umurnya dari kita atau lebih banya ilmunya atau banyak ibadatnya. Maka
hendaklah dalam memandang mereka itu, kita berperasaan bahwa mereka mempunyai
keutsamaan. Oleh karena itu hendaklak kita memberikan penghirmatan yang
sepantasnya.
Lapisan kedua, mereka yang setara dengan kita. Mereka harus kita
mialakn. Walaupun setaraf karena mungkin mereka lebih kurang dosanya dari kita.
Orang yang sedikit dosanya, patut dihormati.
Lapisan ketiga, mereka yang lebih
muda umurnya dari kita. Golongan ini pun harus kita hormati menurut sepatutnya.
Karena mereka yang lebih muda dari kita, lebih mungkin kurang keburuknya bila
dibandingkan dengan kita yang telah lanjur umur.
Dan apabila kita jumpai orang yang
bergelimbangan dalam dosa janganlah kita membesarkan diri terhadap mereka,
karena walaupun kita sekarang dalam keadaan baik sempurna, belum tentu bahwa
kita akan memperoleh husnul khatimah (baik kesudahan). Mungkin disaat terakhiri
kita menjadi orang yang buruk sedang orang-orang yang kita pandang dirinya penuh
dosa, menjadi orang yang baik.
Tegasnya, kalau dengan cara
demikian ini kita memandangan manusia,
timbullah penghormatan kita kepadanya. Dengan timbul rasa hormat antar sesama,
berjalanlah pergaulan masyarakat dalam suasanan tenang dan jauhlah pergaulan
itu dari Suasana tegang.
Kemudian, hendaklah kita hadapi
manusia dengan muka yang jernih, wealaupun yang kita hadapi itu musuh
sekalipun. Dan hendaklah dalam segala keadaan kita berlaku imbang dan tenang.
3.
Usaha-usaha untuk menjaga
Harmoni pergaulan
Untuk mejaga pergaulan yang
harmonis, agama mengadakan berbagai-bagai adab, macam-macam ahk dan kewajiban
yang harus dipenuhi dan diamalkan dengan lengkap oleh setiap masyarakat.
Manusia dapat hidup sendiri dan
dapat hidup beserta orang lain. Hidup sendiri tidak menggauli orang lain,
adalah satu penghidupaann yang sulit. Karena itu, setiap orang mempelajari
adab-adab pergaulan dan bagi tiap-tiap orang yang kita gauli ada adab yang
tertentu, menurut kadar ikatan antara kita dengan dia , ikatan itu karena kekrabatan,
persaudaraan keislaman, atau karena tetangga, seperjalanan, dapat pula karena
seperguruan.
Tiap-tiap ikatan yang tersebut,
mempunyai derajat sendiri. Kekerabatan mempunyai hak. Akan tetapi hak para
mahram lenih kuat dari yang lain. Para mahram mempunayi hak. Namun hak ibu
bapak jauh lebih kuat.
a.
Adab pergaulan suami istri
1) Menciptakan suasana harmonis antara suami istri,
berdasarkan cinta, tidak tercemar oleh gangguan yang melunturkan kemesraan.
Firman
Allah SWT:
وَعَاشِرُوْهُنَّ
بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan gaulilah mereka (para istri)
dengan Makruf”. (Q.S an Nisa’/4:19).
Sabda Nabi SAW:
أَكْمَلُ
الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ
لِنِسَائِهِمْ.
“Orang
mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling bagus akhlaknya dan
sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya.” (H.R. Bukhari)
2) Hidup sederhana, tidak besar pasak dari tiang.
3) Tidak membiarkan pekerjaan-pekerjaan yang
mengakibatkan buruk, dan tidak pula dapat terlalu berburuk sangka.
Firman Allah SWT:
إِنَّ
بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُو
“Bahwasannya sebagaiman sangkaan itu adalah dosa”. (Q.S.Al Hujarat/49:12)
4) Membimbing dan membekali istri dengan pengetahuan
yang bermanfaat baik di dunia dan di akhirat.
5) Mendidik dan mengarahkan anak dengan pendidikan dan
kegiatan yang berguna bagi kehidupan di masa yang mendatang.
6) Menhindari hal-hal yang dapat menjadi pemicu
pertengkaran dan dalam hal yang sudah
mencapai puncak sebelum mengambil keputusan bercerai menunjuk penengah untuk
mendamaikan atau mencari jalan keluar.
7) Bagi mereka yang beristri lebih dari satu orang,
sikap adil dalam segala hal harus dapat dirasakan oleh para istri.
Untuk
mewujudkan rumah tangga yang harmonis, kedua belah pihak (suami dan istri)
mempunya hak dan kewajiban.
Pihak suami:
1) Mencukupi belanja dan memenuhi kehidupan istri.
2) Berlaku adil antar istri.
3) Tidak menjauhkan diri dari istri, tidak menyakitinya
dengan tak ada sebab yang dibenarkan dan tidak berada di luar rumah tanpa
urusan yang perlu.
4) Tidak zalim terhadap istri.
5) Dengan memberikan petunjuk kejalan kebaikan,
menganjurkan istri mengerjakannya dan menjauhkan diri dari tempat kejahatan.
6) Memberikan kesempatan para istri mengunjungi orang
tuanya di waktu-waktu yang patut dan layak.
Pihak istri:
1) Mentaati suami di setiap pekerjaan makruf,
diantarannya memenuhi ajakan ketempat tidur.
2) Tetap rapi, baik mengenai diri, anak,, pembantu
mauppun mengenai rumah dan alat prabotannya.
3) Menjaga diri, anak, harta suami dan
rahasia-rahaisanya.
4) Berlaku ihsan dalam mengelola rumah tangga, mendidik
anak dan menjaga akhlak anak .
5) Tidak memberakan suami dalam urusan pakaian dan
perhiasan.
6) Tidak menerima tamu yang tidak diketahui suami.
7) Tidak keluar setelah seizin suami.
8) Member bantuan harta dan dukungan moral bila suami
tertimpa bencana.
b. Adab-adab bergaul dengan kerabat dan sahabat
1) Member bantuan uang.
2) Member bantuan tenaga.
3) Tidak memperkatakan keburukan-keburukan sahabat
4) Bergaul secara baik.
5) Memaaftkan keterlanjuran (kekhilafan).
6) Berlaku ikhlas dan setia.
Ikhlas
dimaksud dengan ikhlas ialah tidak memutuskan tali kasih karena berjauhan dan
yang dimaksud dengan setia, ialah tetap mencintai sahabat (teman) waktu hidup dan
sesudah matinya.
Berkatalah Al Hasan Al Bashir yang artinya:
“Sedikit kesetiaan sesudah mati, lebih baik dari
pada kesetiaan yang banyak di kala hidup”.
7) Meringankan dan tidak memberatkan.
Kemudian
dalam urusan sehari-hari kita dituntut berlaku jujur, kepercayaan, keadilan
dalam memberi dan menerima, menepati janji, berlaku insaf, dan bergaul
(berkawan) dengan cara yang kita inginkan.
4.
Adab-adab Bergaul
Sesama Islam
Adab-adab bergaul
sesama Islam, dapat dilakukan dengan mematuhi petunjuk hadits.
Sabda Nabi SAW yang artinya:
صحيح
البخاري ١١٦٤: حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ
الْأَوْزَاعِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ
الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ حَقُّ الْمُسْلِمِ
عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ
الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ
تَابَعَهُ
عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ وَرَوَاهُ سَلَامَةُ بْنُ رَوْحٍ
عَنْ عُقَيْلٍ
“Shahih
Bukhari 1164: dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Aku mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda Seseorang muslim mempunyai hak dari seorang muslim (saudara yang
seagama), sebanyak lima: 1) menjawab salam, 2) mengunjungi orang yang sakit, 3)
Mengantarkan jenazah, 4) Memenuhi undangan, 5) Mentasymit (mendoakan) orang
yang bersin”. (H.R.Buhari-Muslim).
a. Adab-adab pergaulan sesama Islam adalah
1) Menyukai untuk saudara seagama apa yang dicintai
(disukai) diri sedriri dan dibrnci untuk
mereka apa yang di benci untuk diri sendiri.
2) Tidak menyakiti seseorang muslim, baik dengan
perbuatan ataupun perkataan.
سنن
أبي داوود ٤٢٣٨: حَدَّثَنَا وَاصِلُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا أَسْبَاطُ
بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِي
صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى
الْمُسْلِمِ حَرَامٌ مَالُهُ وَعِرْضُهُ وَدَمُهُ حَسْبُ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ
أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
“Sunan Abu Daud 4238: dari Abu
Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Antara muslim satu dengan muslim yang lainnya adalah haram untuk merusak
hartanya, harga dirinya serta darahnya. Cukuplah seorang muslim itu dikatakan
buruk jika ia menghina saudaranya sesama muslim."
3) Berlaku tawadlu’ (rendah hati) kepada segala
saudaranya, jangan sekali-kali membesarkan diri terhadap para saudara seagama
itu.
4) Tidak mudah mendengar segala berita-berita buruk
yang disampaikan orang kepadanya. Begitu juga tidak menyampaikan berita-berita
buruk yang didengar kepada seseorang yang lain.
5) Tidak memutuskan hubungan persahabatan lebih dari
tiga hari.
6) Tidak masuk rumah seseorang tanpa izin tuan rumah,
jika tidak diizinkan masuk, hendaklah kembali dengan rela hati
Sabda Nabi SAW yang artinya:
“meminta izin masuk itu tiga kali. Jika
tidak diizinkan hendaklah kembali”. (H.R. Bukhari-Muslim).
7) Menggauli seluruh manusia dengan sopan sntun yang
tinggi dan menghadap orang-orang yang digauli dengan cara yang sepadan dengan
kedudukan dan keadaan.
8) Menghadapi manusia dengan muka yang jernih
9) Menepati janji.
10) Tidak bersikap kepada orang yang kita sendiri tidak
senang mendapatkan perlakuan sedemikian.
11) Menghormati orang yang terpandang dalam masyarakat.
12) Memperbaiki persengketaan yang terjadi anatara para
muslimin.
13) Menutupi segala rupa aib saudara, yang tidak
mendatangkan faedah bagi umum jika diberitahukan dan tidak mendatangkan
kemelaratan bagi umum bila ditutupi
14) Menjauhi tempat-tempat yang menimbulakan Tuhmah
(tuduhan jelek) untuk memelihara hati orang dari kecurigaan dan salah sangka.
15) Memberikan pertolongan kepada saudara yang
memerlukan bantuan seseorang pembesar
16) Memberikan salam sebelum berbicara dan menjabat
tangan orang yang disalami.
17) Memelihara kehormatn saudaranya, jiwanya dan
hartanya dari aniaya orang
18) Mentasymitkan orang yang bersin
Apabila
sesorang yang bersin dan lalu menyebut Alhamdulillah,
hendaknya kita mentasyitkan (kita berdoa kepadanya), yaitu kita ucapkan “Yahamukumullah: mudah-mudahan Allah
merahmatimu. Inilah yang dinamai tasymit.
Sedudah itu orang bersin harus menyambut doa kita dengan ucapan “Yahdikumullah wayushlikhubalakum:
mudah-mudahan Allah menunjukkan tuan-tuan dan memperbaiki keadaan tuan-tuan”.
Nabi SAW
bersabda:
حَدَّثَنَا
آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ
الْمَقْبُرِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ،
وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ، فَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ، فَحَقٌّ عَلَى كُلِّ
مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يُشَمِّتَهُ، وَأَمَّا التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنَ
الشَّيْطَانِ، فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِذَا قَالَ: هَا ضَحِكَ مِنْهُ
الشَّيْطَانُ
“Telah
menceritakan kepada kami Aadam bin Abi Iyaas : Telah menceritakan kepada kami
Ibnu Abi Dzi’b : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid Al-Maqburiy, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam : “Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Oleh
karena itu, apabila salah seorang dari kalian bersin lalu ia memuji Allah, maka
kewajiban bagi setiap muslim yang mendengarnya untuk bertasymit (mengucapkan
yarhamukallaah). Adapun menguap, maka tidaklah ia datang kecuali dari setan.
Maka, hendaklah menahannya (menguap) semampunya. Jika ia sampai mengucapkan
‘haaah’, maka setan akan tertawa karenanya” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
6223)
19) Apabila kita mendapatkan percobaan dari seseorang
yang buruk pekertinya, hendaklah kita tidak menggaulinya.
20) Menggauli orang-orang yang miskin dan menjauhi
orang-orang hartawan serta mendekati anak-anakk yatim dan berbuat ikhsan kepada
mereka. Orang orang hartawann yang dijauhi ialah orang-orang hartawan yang
sudah dibutakan mata hatinya oleh kekayaaan.
21) Memberikan nasihat dan berlaku jujur kepada sesame
muslim serta berdaya upaya memasukan kesukaan dan kesenangan kedalam jiwa
mereka itu
22) Menjenguk orang yang sakit, orang kematian dan
mengantarkan jenazahnya.
23) Menziarahi kubur
Dimaksud
dengan menziarahi kubur mengambil pengajaran dari perasaan yang tumbuh di kala
berziarah itu
Sedikit
ditegaskan bahwa diantara adab menjenguk orang kematian, ialah berlaku lemah
lembut, memperlihatkan kegundahan menyedikitkan
pembicaraan dan menjauhkan sikap gembira dan tertawa-tawa. Dan diantar
adab mengatarkan jenazah, ialah: berlaku khusyu, meninggalkan pembicaran,
memikirkan kematian, memperlihatkan keadaan orang yang telah mati serta
memikirkan kematian dan berjalan dekat jenazah serta berjalan cepat.
Kesimpulannya
bahwa dalam menghormati manusia dan tidak memandang rendah, baik ia masih hidup
ataupun telah meninggal.
5.
Petunjuk Nabi dalam
Bergaul dengan Orang-orang yang Non Islam
Ada lima golongan orang yang bukan Islam
a. Ahludz-dzimmah, mereka yang tunduk kepada kekuasaan Islam, tetapi tidak beragama dengan
agama pemerintakan.
Mereka
wajib dilindungi, wajib dilaksanakan keadilan terhadap mereka dan wajib
dipenuhi segala hak mereka, tidak boleh dianiaya.
b. Mu’ahidun, mereka yang ada membuat perjanjian dengan pemerintah muslim. Terhadap
mereka haruslah dipenuhi segala yang dijanjikan, selama mereka belum merusakkan
perjanjian. Kalau merusakkan perjanjian, hilanglah kewajiban kita memenuhi
kewajiban itu. Dalam pada itu wajib dilindungi jiwanya, hartanya dan
kehormatannya, selama ia belum membuat tindakan yang melaratkan kita, ia tetap
dihukum sebagai menghukum muslim
c. Muhadinun, mereka yang membuat hudanah
(janji menghentikan permusuhan buat sementara waktu). Terhadap mereka
hendaklahh kita turuti dan patuhi syarat-syarat hudnah.
d. Mu’ammanun, orang yang tak da sesuatuperjanjian dengan kita, tak ada hudnah, tak ada
peperangan dak ada dzimmah. Maka jika dating kenegeri-negeri kita untuk sesuatu
keperluan, makaa hendaklah kita lindungi jiwanya, kehormatannya, hartanya, dan
agamanya. Hanya diwajibkan supaya ia tidak mengganggu masyarakat kita dan ia
tetap tunduk kepada hukum Negara kita selama ia berada dalam wilayah Negara
kita.
e. Muharibun, orang-orang yang memerangi kita. Hukum terhadap muharibun berlain-lainan
menurut keadaan peperangan dan sebab-sebabnya. Terhadap mereka diberikan hukum
yang berlaku selama peperangan dan kemudian masuklah ia kedalam salah satu dari
bagian yang empat diatas. Dann jika ia menjadi tawanan, diterapkanlah atasnya
hukum tawanan.[5]
E.
KESIMPULAN
Setelah banyaknya pemaparan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa Allah
SWT memerintahkan kepada orang-orang beriman agar dapat menciptakan
keseimbangan antara usaha untuk memperoleh keperluan duniawi dan keperluan
ukhrawi. Shalat jum’at adalah suatu kewajiban
bagi orang-orang yang beriman, karenanya bila waktunya telah tiba maka harus
meinggalkan segala kesibukan dan aktifitas duniawi. Jika telah kalian kerjakan
shalat Jum’at maka bertebaran dimuka bumi untuk mencari karunia Allah yang
halal lagi baik, serta banyak berdzikir kepada Allah dalam mencari rizki. Juga
ingat bahwa jangan sekali-kali lebih memprioritaskan kepentingan duniawi dari
pada kepentingan ukhrawi. Allah SWT memerintahkan kepada orang mukmin agar
mengupayakan keseimbangan dalam memenuhi kepentingan duniawi dan ukhrawi. Selalu berbuat baik dan bergaul terhadap sesame
manusia baik sesame muslim maupun non muslim.
DAFTAR
PUSTAKA
Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Al-Islam 2, PT Pustaka
Riski Putra, semarang, 1998.
Asqolani, Ibnu
hajar. Fathul bari. Jakarta : pustaka azzam. 2008. (penerjemah)
Amiruddin.
Zulheldi, Tafsir II Buku Ajar Mata
Kuliah Tafsir II, Padang: Hayfa Press, 2009.