Tuesday, February 16, 2016

KESEIMBANGAN DUNIA DAN UKHROWI


PENULIS:
MUSTOFA 

A.     Pendahuluan
Kehidupan dunia bersifat fana dan semu. Kehidupan sebenarnya adalah kehidupan setelah mati. Namun banyak manusia yang lupa atau melupakan diri. Mereka mengabaikan tujuan penciptaan manusia untuk beribadah kepada Alloh SWT.
Di era perkembangan zaman yang semakin maju, terjadi kemerosotan dalam pemeliharaan keimanan. Seperti perekonomian yang berkembang justru memalingkan perhatian manusia untuk lebih mencari harta, bahkan sampai lupa waktu hingga mendewakannya. Di lain sisi terdapat sebagian kaum muslim yang terjebak pada ibadah ritual semata dan cenderung meninggalkan perkara duniawi. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk beribadah dengan cara mengasingkan diri (uzlah) dari masyarakat dan berbagai cara lainnya.
Dunia merupakan ladang akhirat. Siapa yang menanam kebaikan akan memanen kebaikan pula. Namun, Allah juga mengingatkan untuk tidak melalaikan kehidupan duniawi, seperti makan, minum, bekerja, dan memberi nafkah keluarga. Maka dari itu, kami akan membahas hadits-hadits yang berkaitan dengan keseimbangan dunia dan akhirat.

B.    RUMUSAN MASALAH
1.     Apa bunyi ayat Al-Qur’an tentang keseimbangan dunia dan ukhrawi?
2.     Apa bunyi Hadits tentang keseimbangan dunia dan ukhrawi?
3.     Apa pengertian tentang pergaulan sesama manusia?
4.     Apa dasar-dasar pergaulan?
5.     Bagaimana usaha-usaha untuk menjaga harmoni pergaulan?
6.     Apa saja adab bergaul antar sesama muslim dan non muslim?




C.    PEMBAHASAN
1.     Keseimbangan Dunia dan Ukhrawi
                   Allah menciptakan manusia sebagai makhluk social. Oleh karena itu manusi tidak dapat untuk hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia antara satu dengan satu sama lain harus selalu berinteraksi. Maka dari itu, sebagai kaum muslimin, tidak boleh hanya mementingkan kepentingan akhirat, dengan meninggalkan kepentingan duniawi. Keduanya harus berjalan seimbang satu sama lain. Di bawah ini, akan dijelaskan secara  mendetail. Hubungan dan keseimbangan kehidupan di dunia dan akhirat.

Allah SWT berfirman :
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Al Qashash: 77)
                   Allah SWT. Pada ayat ini memerintahkan kepada orang-orang beriman agar dapat menciptakan keseimbangan antara usaha untuk memperoleh keperluan duniawi dan keperluan ukhrawi. Tidak mengejar salah satunya dengan cara meninggalkan yang lainnya. Nabi SAW sangat mencela orang-orang yang hanya mengejar akhirat dengan meninggalkan duniawi. Apalagi kalau menjadi beban orang lain dalam masalah nafkah. Nabi SAW pernah mencela seorang pemuda yang membebani ayahnya dalam nafkah.
Kehidupan duniawi dan ukhrawi merupakan fitroh yang harus dijalani oleh manusia, sehingga menjalani kehidupan ini dengan memenuhi kebutuhan keduanya tidak dapat dipisah-pisah. Membuat keseimbangan antara dunia dan akhirat merupakan bagian dalam ajaran Islam yang harus dilaksanakan oleh umatnya.
Allah berfirman dalam ayat lain:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Aku tidaklah ciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah hanya kepada-Ku“. (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Ayat ini menunjukkan bahwa ibadah adalah tujuan UTAMA kita diciptakan. Jika demikian, pantaskah kita menyeimbangkan antara tujuan utama dengan yang lainnya?
Bahkan dalam doa “sapujagat” yang sangat masyhur di kalangan awam, ada isyarat untuk mendahukan kehidupan akherat:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, juga kebaikan di akhirat. Dan peliharalah kami dari siksa neraka“. (QS. Albaqoroh: 201)

Allah SWT berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ٩
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ١٠
(Ayat 9) “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
(Ayat 10) “Apabila telah menunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.S. Al-Jumu’ah, 62: 9-10)
                   Menurut para Fukaha Surah al-Jumu'ah 62 ayat 9-10 merupakan dalil tentang salat Jum’at. Salat Jumat hukumnya wajib bagi setiap muslim. Dengan demikian, ketika seorang muslim sedang berjual beli dan azan telah berkumandang, ia diperintahkan untuk meninggalkan jual beii dan segera menunaikan salat Jumat. Kandungan Surah al-Jumu'ah 62 ayat 9-10, jika dikaitkan dengan tema etos kerja, penjelasannya sebagai berikut:
a.      Perlunya keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, Surah al-Jumu’ah 62 ayat 9-10 mengajarkan tentang konsep hidup yaitu keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Pada saat bekerja untuk kehidupan di dunia kita tidak boleh melupakan ibadah. Sebaliknya, kita tidak boleh terus-menerus beribadah dengan melupakan urusan dunia. Bekerja untuk urusan dunia harus seimbang dengan bekerja untuk urusan akhirat. Demikian yang tercermin dalam surah al-Jumu’ah 62 ayat 9-10. Ketika bekerja untuk urusan dunia kita tidak boleh mengingat kematian karena akan dapat menurunkan semangat bekerja. Sebaliknya, ketikak beribadah kita harus berfikir bahwa kematian akan segera dating sehingga semangat untuk mendekatkan diri kepada-nya pun muncul. Jika dalam bekerja kita mengingat kematian, malas dan enggan bekerja yang akan muncul. Sebaliknya, ketika beribadah kita mengingat mati seolah-olah akan hidup selamanya keengganan untuk beribadahlah yang akan timbul.
b.     Dalam bekerja harus selalu ingat Allah SWT di mana pun kita berada haruslah mengingat Allah SWT, karena akan menyebabkan kita berperilaku terpuji dan tidak terperosok dalam kemaksiatan. Mengingat dan measakan kehadiran Allah SWT akan menyebabkan seseorang termotivasi untuk mencari rida-Nya. Semangat dan kerja keras akan muncul agar dapat menjalankan perintah-Nya. Caranya dengan membelanjakanmateri yang diperoleh untuk bersedekah, infak, membantu fakir miskin, dan bentuk lainnya. Senantiasa mengingat Allah swt. akan menyebabkan seseorang senantiasa berperilaku terpuji.
c.      Mengingat produktivitas kerja, Allah SWT tidak melarang hamba-Nya untuk bekerja. Bahkan, Allah swt. dan rasul-Nya mernerintahkan agar seorang hamba rajin bekerja. Ketika azan untuk shalat jum’at berkumandang kita diperintahkan untuk menghentikan urusan dunia sejenak dengan menunaikan salat Jumat. Setelah selesai menunaikan salat Jumat hendaknya kita bekerja kembali untuk mencari karunia Allah swt. Menunaikan kewajiban sebagai seorang hamba dengan beribadah tidak berarti menghambat produktivitas kerja. lbadah yang dilakukan hendaknya menumbuhkan jiwa dan semangat kerja yang membara. Untuk mendukung produktivitas kerja, ada hal-hal tertentu yang penting diperhatikan sebagai berikut:
1)     Bersikap rajin, ulet, dan tidak mudah putus asa.
2)     Meningkatkan inovasi dan kreativitas.
3)     Mau belajar dari pengalaman sehingga dapat berbuat lebih baik pada masa dating.
4)     Memaksimalkan kemampuan diri yang ada dan selalu optimis.
5)     Berdoa dan bertawakal kepada Allah.[1]
2.     bunyi hadits tentang keseimbangan dunia dan ukhrawi
قَا لَ رَسُولُ الله ص م : لَيْسَ بِخَيْرِ كُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِاَ خِرَتِهِ وَلَا اَخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتَى يُصِيْبَ مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَاِن الدُنْيَا بَلَا غٌ اِلَى الْاَ خِرَةِ وَلَا تَكُوْنُوْا كَلًا عَلَى النَاسِ (رواه ابن عساكر عن انس)
Bukanlah orang yang baik di antara kamu orang yang meninggalkan kepentingan dunia untuk mengejar akhirat atau meninggalkan akhirat untuk mengejar dunia sehingga dapat memadukan keduanya. Sesungguhnya kehidupan dunia mengantarkan kamu menuju kehidupan akhirat. Janganlah kamu menjadi beban orang lain. (H.R. Ibnu Asakir dari Anas dalam Kitab Tafsir al-Kasysyaf jilid 4 hal.1670)
                   Pada bunyi hadits diatas jelas bahwa kita harus menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat karena kita tak akan sampai pada akhirat jika tidak melewati dunia. Dunia adalah  tempat kita menanam kebaikan sedangkan di akhirat kita akan memetik hasilnya jadi keberhasilan di akhirat juga tergantung keberhasilan kita selama di dunia. Keberhasilan ini bukanlah yang bersifat duniawi melainkan keberhasilan kita dalam mengatur keseimbangan urusan dunia dan akhirat.
                   Nabi melarang sahabatnya untuk terus sibuk beribadah dan melalaikan dunia karena manusia di dunia adalah makhluk hidup yang memiliki karakteristik sendiri. Manusia butuh makan untuk bertahan hidup. Apabila seseorang telah berkeluarga maka dia mempunyai tanggung jawab akan kelangsungan hidup anggota keluarganya dan ketika seseorang terlalu sibuk dengan kegiatan beribadah maka tubuhnya akan kurang semangat dalam mengerjakan hal lainnya. Sehingga ketika dia tidak bekerja dan membuat keluarganya menjadi terlantar sama saja dia berdosa karena tidak amanat. Nabi sendiri pun telah mencontohkan bagaimana beliau beribadah namun tidak melupakan bekerja. Pada waktu kecil beliau adalah seorang penggembala kambing dan ketika sudah dewasa beliau adalah seorang pedagang.[2]




D.    Pergaulan Sesama Manusia  
1.     Pengertian pegaulan sesama manusia
              Pergaulan adalah proses interaksi yang dilakukan oleh individu dengan individu, dapat juga oleh individu dengan kelompok. Juga, pergaulan merupakan salah satu cara seseorang untuk berinteraksi dengan alam sekitarnya. Pergaulan merupakan fitrah manusia sebagai makhluk social yang tak mungkin bisa hidup sendirian. Manusia juga memiliki sifat tolong-menolong dan saling membutuhkan satu sama lain. Interaksi dengan sesame manusia juga menciptakan kemaslahatan besar bagi manusia itu sendiri dan juga lingkungannya. Berorganisasi, bersekolah, dan bekerja merupakan contoh-contoh aktivitas bermanfaat besar yang melibatkan pergaulan antar manusia. Namun, pergaulan tanpa dibentengi iman yang kokoh akan mudah membuat seorang muslim terjerumus. Kita lihat di zaman sekarang, banyak kejadian yang dapat membuat kita mengelus dada. Pergaulan bebas, video mesum, perkosaan, dan berbagai bentuk perilaku penyimpangan lainnya. Semua itu bersumber dari pergaulan yang salah dan tidak dilandaskan pada kepatuhan terhadap ajaran Al-Qur’an.
              Firman Allah SWT :
 يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (al Hujurȃt ayat 13).
. Ayat ini mengisyaratkan bahwa terjalinnya hubungan satu sama lain di antara sesama manusia merupakan suatu ketetapan dari Allah, dan hubungan ini berawal dari berbeda-bedanya ciptaan manusia[3]. Sengaja diciptakan Allah berbeda-beda, laki-laki, perempuan, bersuku suku, dan berbangsa-bangsa supaya mereka saling mengenal. Hal ini untuk saling mengisi sehingga terciptakan manusia terbaik
              Oleh karenanya, adalah suatu hal yang sangat penting mengetahui dan memahami pergaulan-pergaulan dalam islam. Bagi sebagian orang yang tidak terbiasa dengan tata cara pergaulan dalam islam, mereka akan merasa canggung atau barangkali malah merasa tertekan karena pergaulan dalam islam itu terlihat begitu kaku dan tidak seperti pergaulan yang umum ditemui di masyarakat.
Islam adalah agama yang syamil (menyeluruh) dan mutakamil (sempurna).[4]
            Agama mulia ini diturunkan dari Allah Sang Maha Pencipta, Yang Maha Mengetahui tentang seluk beluk ciptaan-Nya. Dia turunkan ketetapan syariat agar manusia hidup tenteram dan teratur. Diantara aturan yang ditetapkan Allah SWT bagi manusia adalah aturan mengenai tata cara pergaulan antara pria dan wanita. Seperti ungkapan terdahulu bahwa adanya tat cara pergaulan dalam islam itu sebenarnya bukan untuk membatasi namun untuk menjaga harkat dan martabat manusia itu sendiri agar tidak sama dengan tata cara dan tatanan para hewan dalam bergaul. Bila satu tutunan itu diambil dengan kerendahan hati dan keinginan untuk berbakti kepada ilahi, maka tak ada hal sulit untuk mengikuti tuntunan yang baik itu.Terkesan sulit karena melihatnya dari sisi nafsu dan kepentingan duniawi. Bila memang belum mampu menjalankan tuntunan yang sebenarnya, jangan ditantang tuntunan itu. Cukup campkan dalam hati bahwa diri akan selalu berusaha sekuat tenaga mengikuti aturan yang sesungguhnya. Kalau menentang atau bahkan menantang, itulah tanda kesombongan diri terhadap Sang Maha Kuasa.
              Membagusakan pergaulan itu ialah melaksanakan pergaulaln menurut dasar-dasra dan norma-norma yang ditetapkan syara’, serta memenuhi segala hak-hak mereka yang digauli menurut kadarnya.
              Agama Islam mendorong umatnya saling mengasihi dan menjauhkan permusuhan dan rasa iri hati. Pergaulan yang harmonis hanya dapat dicapai bila telah tertanam rasa saling membutuhkan atas dasar cinta dan kasih saying.
                                                                                                                       
2.     Dasar-dasar Pergaulan
             Kerap kali pergaulan sumbang, karena orang-orang memandang dirinya lebih baik dari orang-orang yang lain. Oleh karenanya itu hilangkan sifat menghormati dan memuliakan orang.
             Maka dasar pergaulan itu perlu diperhatikan oleh sikap masyarakat ialah “memandang saudara-saudaranya dengan pandangan yang sewajarnya”.
             Lapisan pertama, mereka yang lebih tua umurnya dari kita atau lebih banya ilmunya atau banyak ibadatnya. Maka hendaklah dalam memandang mereka itu, kita berperasaan bahwa mereka mempunyai keutsamaan. Oleh karena itu hendaklak kita memberikan penghirmatan yang sepantasnya.
             Lapisan kedua, mereka  yang setara dengan kita. Mereka harus kita mialakn. Walaupun setaraf karena mungkin mereka lebih kurang dosanya dari kita. Orang yang sedikit dosanya, patut dihormati.
             Lapisan ketiga, mereka yang lebih muda umurnya dari kita. Golongan ini pun harus kita hormati menurut sepatutnya. Karena mereka yang lebih muda dari kita, lebih mungkin kurang keburuknya bila dibandingkan dengan kita yang telah lanjur umur.
             Dan apabila kita jumpai orang yang bergelimbangan dalam dosa janganlah kita membesarkan diri terhadap mereka, karena walaupun kita sekarang dalam keadaan baik sempurna, belum tentu bahwa kita akan memperoleh husnul khatimah (baik kesudahan). Mungkin disaat terakhiri kita menjadi orang yang buruk sedang orang-orang yang kita pandang dirinya penuh dosa, menjadi orang yang baik.
             Tegasnya, kalau dengan cara demikian ini kita  memandangan manusia, timbullah penghormatan kita kepadanya. Dengan timbul rasa hormat antar sesama, berjalanlah pergaulan masyarakat dalam suasanan tenang dan jauhlah pergaulan itu dari Suasana tegang.
             Kemudian, hendaklah kita hadapi manusia dengan muka yang jernih, wealaupun yang kita hadapi itu musuh sekalipun. Dan hendaklah dalam segala keadaan kita berlaku imbang dan tenang.

3.     Usaha-usaha untuk menjaga Harmoni pergaulan
             Untuk mejaga pergaulan yang harmonis, agama mengadakan berbagai-bagai adab, macam-macam ahk dan kewajiban yang harus dipenuhi dan diamalkan dengan lengkap oleh setiap masyarakat.
             Manusia dapat hidup sendiri dan dapat hidup beserta orang lain. Hidup sendiri tidak menggauli orang lain, adalah satu penghidupaann yang sulit. Karena itu, setiap orang mempelajari adab-adab pergaulan dan bagi tiap-tiap orang yang kita gauli ada adab yang tertentu, menurut kadar ikatan antara kita dengan dia , ikatan itu karena kekrabatan, persaudaraan keislaman, atau karena tetangga, seperjalanan, dapat pula karena seperguruan.
             Tiap-tiap ikatan yang tersebut, mempunyai derajat sendiri. Kekerabatan mempunyai hak. Akan tetapi hak para mahram lenih kuat dari yang lain. Para mahram mempunayi hak. Namun hak ibu bapak jauh lebih kuat.
a.      Adab pergaulan suami istri
1)     Menciptakan suasana harmonis antara suami istri, berdasarkan cinta, tidak tercemar oleh gangguan yang melunturkan kemesraan.
Firman Allah SWT:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
Dan gaulilah mereka (para istri) dengan Makruf”. (Q.S an Nisa’/4:19).



Sabda Nabi SAW:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ.
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling bagus akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya.” (H.R. Bukhari)
2)     Hidup sederhana, tidak besar pasak dari tiang.
3)     Tidak membiarkan pekerjaan-pekerjaan yang mengakibatkan buruk, dan tidak pula dapat terlalu berburuk sangka.
Firman Allah SWT:
إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُو
“Bahwasannya sebagaiman sangkaan itu adalah dosa”. (Q.S.Al Hujarat/49:12)
4)     Membimbing dan membekali istri dengan pengetahuan yang bermanfaat baik di dunia dan di akhirat.
5)     Mendidik dan mengarahkan anak dengan pendidikan dan kegiatan yang berguna bagi kehidupan di masa yang mendatang.
6)     Menhindari hal-hal yang dapat menjadi pemicu pertengkaran dan  dalam hal yang sudah mencapai puncak sebelum mengambil keputusan bercerai menunjuk penengah untuk mendamaikan atau mencari jalan keluar.
7)     Bagi mereka yang beristri lebih dari satu orang, sikap adil dalam segala hal harus dapat dirasakan oleh para istri.
          Untuk mewujudkan rumah tangga yang harmonis, kedua belah pihak (suami dan istri) mempunya hak dan kewajiban.
Pihak suami:
1)     Mencukupi belanja dan memenuhi kehidupan istri.
2)     Berlaku adil antar istri.
3)     Tidak menjauhkan diri dari istri, tidak menyakitinya dengan tak ada sebab yang dibenarkan dan tidak berada di luar rumah tanpa urusan yang perlu.
4)     Tidak zalim terhadap istri.
5)     Dengan memberikan petunjuk kejalan kebaikan, menganjurkan istri mengerjakannya dan menjauhkan diri dari tempat kejahatan.
6)     Memberikan kesempatan para istri mengunjungi orang tuanya di waktu-waktu yang patut dan layak.
Pihak istri:
1)     Mentaati suami di setiap pekerjaan makruf, diantarannya memenuhi ajakan ketempat tidur.
2)     Tetap rapi, baik mengenai diri, anak,, pembantu mauppun mengenai rumah dan alat prabotannya.
3)     Menjaga diri, anak, harta suami dan rahasia-rahaisanya.
4)     Berlaku ihsan dalam mengelola rumah tangga, mendidik anak dan menjaga akhlak anak .
5)     Tidak memberakan suami dalam urusan pakaian dan perhiasan.
6)     Tidak menerima tamu yang tidak diketahui suami.
7)     Tidak keluar setelah seizin suami.
8)     Member bantuan harta dan dukungan moral bila suami tertimpa bencana.
b.     Adab-adab bergaul dengan kerabat dan sahabat
1)     Member bantuan uang.
2)     Member bantuan tenaga.
3)     Tidak memperkatakan keburukan-keburukan sahabat
4)     Bergaul secara baik.
5)     Memaaftkan keterlanjuran (kekhilafan).
6)     Berlaku ikhlas dan setia.
             Ikhlas dimaksud dengan ikhlas ialah tidak memutuskan tali kasih karena berjauhan dan yang dimaksud dengan setia, ialah tetap mencintai sahabat (teman) waktu hidup dan sesudah matinya.
              Berkatalah Al Hasan Al Bashir yang artinya:
“Sedikit kesetiaan sesudah mati, lebih baik dari pada kesetiaan yang banyak di kala hidup”.
7)     Meringankan dan tidak memberatkan.
             Kemudian dalam urusan sehari-hari kita dituntut berlaku jujur, kepercayaan, keadilan dalam memberi dan menerima, menepati janji, berlaku insaf, dan bergaul (berkawan) dengan cara yang kita inginkan.
4.     Adab-adab Bergaul Sesama Islam
             Adab-adab bergaul sesama Islam, dapat dilakukan dengan mematuhi petunjuk hadits.
             Sabda Nabi SAW  yang artinya:
صحيح البخاري ١١٦٤: حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ
تَابَعَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ وَرَوَاهُ سَلَامَةُ بْنُ رَوْحٍ عَنْ عُقَيْلٍ
“Shahih Bukhari 1164: dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda Seseorang muslim mempunyai hak dari seorang muslim (saudara yang seagama), sebanyak lima: 1) menjawab salam, 2) mengunjungi orang yang sakit, 3) Mengantarkan jenazah, 4) Memenuhi undangan, 5) Mentasymit (mendoakan) orang yang bersin”. (H.R.Buhari-Muslim).
a.      Adab-adab pergaulan sesama Islam adalah
1)     Menyukai untuk saudara seagama apa yang dicintai (disukai) diri sedriri dan dibrnci untuk  mereka apa yang di benci untuk diri sendiri.
2)     Tidak menyakiti seseorang muslim, baik dengan perbuatan ataupun perkataan.
          سنن أبي داوود ٤٢٣٨: حَدَّثَنَا وَاصِلُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا أَسْبَاطُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ مَالُهُ وَعِرْضُهُ وَدَمُهُ حَسْبُ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
“Sunan Abu Daud 4238: dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Antara muslim satu dengan muslim yang lainnya adalah haram untuk merusak hartanya, harga dirinya serta darahnya. Cukuplah seorang muslim itu dikatakan buruk jika ia menghina saudaranya sesama muslim."
3)     Berlaku tawadlu’ (rendah hati) kepada segala saudaranya, jangan sekali-kali membesarkan diri terhadap para saudara seagama itu.
4)     Tidak mudah mendengar segala berita-berita buruk yang disampaikan orang kepadanya. Begitu juga tidak menyampaikan berita-berita buruk yang didengar kepada seseorang yang lain.
5)     Tidak memutuskan hubungan persahabatan lebih dari tiga hari.
6)     Tidak masuk rumah seseorang tanpa izin tuan rumah, jika tidak diizinkan masuk, hendaklah kembali dengan rela hati
Sabda Nabi SAW yang artinya:
      “meminta izin masuk itu tiga kali. Jika tidak diizinkan hendaklah kembali”. (H.R. Bukhari-Muslim).
7)     Menggauli seluruh manusia dengan sopan sntun yang tinggi dan menghadap orang-orang yang digauli dengan cara yang sepadan dengan kedudukan dan keadaan.
8)     Menghadapi manusia dengan muka  yang jernih
9)     Menepati janji.
10) Tidak bersikap kepada orang yang kita sendiri tidak senang mendapatkan perlakuan sedemikian.
11) Menghormati orang yang terpandang dalam masyarakat.
12) Memperbaiki persengketaan yang terjadi anatara para muslimin.
13) Menutupi segala rupa aib saudara, yang tidak mendatangkan faedah bagi umum jika diberitahukan dan tidak mendatangkan kemelaratan bagi umum bila ditutupi
14) Menjauhi tempat-tempat yang menimbulakan Tuhmah (tuduhan jelek) untuk memelihara hati orang dari kecurigaan dan salah sangka.
15) Memberikan pertolongan kepada saudara yang memerlukan bantuan seseorang pembesar
16) Memberikan salam sebelum berbicara dan menjabat tangan orang yang disalami.
17) Memelihara kehormatn saudaranya, jiwanya dan hartanya dari aniaya orang
18) Mentasymitkan orang yang bersin
      Apabila sesorang yang bersin dan lalu menyebut Alhamdulillah, hendaknya kita mentasyitkan (kita berdoa kepadanya), yaitu kita ucapkan “Yahamukumullah: mudah-mudahan Allah merahmatimu. Inilah yang dinamai tasymit. Sedudah itu orang bersin harus menyambut doa kita dengan ucapan “Yahdikumullah wayushlikhubalakum: mudah-mudahan Allah menunjukkan tuan-tuan dan memperbaiki keadaan tuan-tuan”.
      Nabi SAW bersabda:
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ، وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ، فَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ، فَحَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يُشَمِّتَهُ، وَأَمَّا التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِذَا قَالَ: هَا ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ
“Telah menceritakan kepada kami Aadam bin Abi Iyaas : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid Al-Maqburiy, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Oleh karena itu, apabila salah seorang dari kalian bersin lalu ia memuji Allah, maka kewajiban bagi setiap muslim yang mendengarnya untuk bertasymit (mengucapkan yarhamukallaah). Adapun menguap, maka tidaklah ia datang kecuali dari setan. Maka, hendaklah menahannya (menguap) semampunya. Jika ia sampai mengucapkan ‘haaah’, maka setan akan tertawa karenanya” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6223)
19) Apabila kita mendapatkan percobaan dari seseorang yang buruk pekertinya, hendaklah kita tidak menggaulinya.
20) Menggauli orang-orang yang miskin dan menjauhi orang-orang hartawan serta mendekati anak-anakk yatim dan berbuat ikhsan kepada mereka. Orang orang hartawann yang dijauhi ialah orang-orang hartawan yang sudah dibutakan mata hatinya oleh kekayaaan.
21) Memberikan nasihat dan berlaku jujur kepada sesame muslim serta berdaya upaya memasukan kesukaan dan kesenangan kedalam jiwa mereka itu
22) Menjenguk orang yang sakit, orang kematian dan mengantarkan jenazahnya.
23) Menziarahi kubur
                Dimaksud dengan menziarahi kubur mengambil pengajaran dari perasaan yang tumbuh di kala berziarah itu
                Sedikit ditegaskan bahwa diantara adab menjenguk orang kematian, ialah berlaku lemah lembut, memperlihatkan kegundahan menyedikitkan  pembicaraan dan menjauhkan sikap gembira dan tertawa-tawa. Dan diantar adab mengatarkan jenazah, ialah: berlaku khusyu, meninggalkan pembicaran, memikirkan kematian, memperlihatkan keadaan orang yang telah mati serta memikirkan kematian dan berjalan dekat jenazah serta berjalan cepat.
                Kesimpulannya bahwa dalam menghormati manusia dan tidak memandang rendah, baik ia masih hidup ataupun telah meninggal.

5.     Petunjuk Nabi dalam Bergaul dengan Orang-orang yang Non Islam
Ada lima golongan orang yang bukan Islam
a.      Ahludz-dzimmah, mereka yang tunduk kepada kekuasaan Islam, tetapi tidak beragama dengan agama pemerintakan.
                Mereka wajib dilindungi, wajib dilaksanakan keadilan terhadap mereka dan wajib dipenuhi segala hak mereka, tidak boleh dianiaya.
b.     Mu’ahidun, mereka yang ada membuat perjanjian dengan pemerintah muslim. Terhadap mereka haruslah dipenuhi segala yang dijanjikan, selama mereka belum merusakkan perjanjian. Kalau merusakkan perjanjian, hilanglah kewajiban kita memenuhi kewajiban itu. Dalam pada itu wajib dilindungi jiwanya, hartanya dan kehormatannya, selama ia belum membuat tindakan yang melaratkan kita, ia tetap dihukum sebagai menghukum muslim
c.      Muhadinun, mereka yang membuat hudanah (janji menghentikan permusuhan buat sementara waktu). Terhadap mereka hendaklahh kita turuti dan patuhi syarat-syarat hudnah.
d.     Mu’ammanun, orang yang tak da sesuatuperjanjian dengan kita, tak ada hudnah, tak ada peperangan dak ada dzimmah. Maka jika dating kenegeri-negeri kita untuk sesuatu keperluan, makaa hendaklah kita lindungi jiwanya, kehormatannya, hartanya, dan agamanya. Hanya diwajibkan supaya ia tidak mengganggu masyarakat kita dan ia tetap tunduk kepada hukum Negara kita selama ia berada dalam wilayah Negara kita.
e.      Muharibun, orang-orang yang memerangi kita. Hukum terhadap muharibun berlain-lainan menurut keadaan peperangan dan sebab-sebabnya. Terhadap mereka diberikan hukum yang berlaku selama peperangan dan kemudian masuklah ia kedalam salah satu dari bagian yang empat diatas. Dann jika ia menjadi tawanan, diterapkanlah atasnya hukum tawanan.[5]













E.     KESIMPULAN
                   Setelah banyaknya pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang beriman agar dapat menciptakan keseimbangan antara usaha untuk memperoleh keperluan duniawi dan keperluan ukhrawi. Shalat jum’at adalah suatu kewajiban bagi orang-orang yang beriman, karenanya bila waktunya telah tiba maka harus meinggalkan segala kesibukan dan aktifitas duniawi. Jika telah kalian kerjakan shalat Jum’at maka bertebaran dimuka bumi untuk mencari karunia Allah yang halal lagi baik, serta banyak berdzikir kepada Allah dalam mencari rizki. Juga ingat bahwa jangan sekali-kali lebih memprioritaskan kepentingan duniawi dari pada kepentingan ukhrawi. Allah SWT memerintahkan kepada orang mukmin agar mengupayakan keseimbangan dalam memenuhi kepentingan duniawi dan ukhrawi. Selalu berbuat baik dan bergaul terhadap sesame manusia baik sesame muslim maupun non muslim.
















DAFTAR PUSTAKA
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam 2, PT Pustaka Riski Putra, semarang, 1998.
Asqolani, Ibnu hajar. Fathul bari.  Jakarta : pustaka azzam.  2008.  (penerjemah) Amiruddin.
Zulheldi, Tafsir II  Buku Ajar Mata Kuliah Tafsir II, Padang: Hayfa Press, 2009.





[1] kandungan-surah-ai-jumuah-62-ayat-9-10.html (2/1/16.20:00)
[2] Asqolani, Ibnu hajar. Fathul bari.  Jakarta : pustaka azzam.  2008.  (penerjemah) Amiruddin.
[3] Zulheldi, Tafsir II  Buku Ajar Mata Kuliah Tafsir II, (Padang: Hayfa Press, 2009), hlm. 85
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam 2, PT Pustaka Riski Putra, semarang, 1998. Hlm 419-435.