PENULIS:
MUSTOFA
A.
Pendahuluan
Hakikat
pendidikan adalah pembentukan manusia kearah yang dicita-citakan. Sedangkan peran pendidikan sangat penting dalam kehidupan
manusia bahkan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kehidupan
manusia. Dengan kata lain, kebutuhan manusia terhadap pendidikan bersifat
mutlak dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, bangsa dan negara. Dengan
demikian pendidikan Islam adalah proses pembentukan manusia kearah yang dicita-citakan.[1]
Begitu
juga terhadap lembaga pendidikan yang dewasa
ini sangat mutlak keberadaannya bagi kelancaran proses pendidikan, khususnya di
Indonesia.Apalagi lembaga
pendidikan itu dikaitkan dengan konsep Islam, lembaga pendidikan Islam
merupakan suatu wadah dimana pendidikan dalam ruang lingkup keislaman
melaksanakan tugasnya demi tercapainya cita-cita umat Islam.
Namun
terdapat beberapa masalah yang membuat pendidikan Islam pada era globalisai ini
sulit untuk maju jika masalah terhadap penguatan lembaga dan dana dalam
pendidikan islam ini sangat terbatas, sehinggadari itu anggaran untuk
mengadakan fasilitas dan peningkatan mutu menjadi sangat minim.
B.
Tantangan
dalam pendidikan islam
Terpinggirnya pendidikan
Islam dari persaingan sesungguhnya dikarenakan dua faktor, yaitu faktor
internal dan eksternal. Faktor internal yaitu: pertama, meliputi manajemen
pendidikan Islam yang pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran
dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas. Hal ini tercermin dari
kalah bersaing dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah pembinaan Departemen
Pendidikan Nasional (Diknas) yang umumnya dikelola secara modern.
Kedua, faktor
kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang
merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar mengajar, umumnya lemah dalam
penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum,
keterampilan mengajar, manajemen kelas, dan motivasi mengajar. Hal ini terjadi
karena sistem pendidikan Islam kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi
profesional guru.
Ketiga, adalah faktor
kepemimpinan, artinya tidak sedikit pimpinan yang tidak memiliki visi, dan misi
untuk mau ke mana pendidikan akan dibawa dan dikembangkan. Kepala seharusnya
merupakan simbol keunggulan dalam kepemimpinan, moral, intelektual dan
profesional dalam lingkungan lembaga pendidikan formal, ternyata sulit
ditemukan di lapangan pendidikan Islam.
Pimpinan
pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun
komunikasi internal dengan koleganya sendiri, melainkan juga lemah dalam
komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk
kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Biasanya pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan birokratis daripada pendekatan kolegial
profesional. Mengelola pendidikan bukan berdasar pertimbangan profesional,
melainkan pendekatan like and dislike[2] dengan
tidak memiliki visi dan misi yang jelas.
Faktor
eksternal yang dihadapi pendidikan Islam adalah:
pertama,
adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam. Pemerintah
selama ini cenderung menganggap dan memperlakukan pendidikan Islam sebagai anak
tiri, khususnya soal dana dan persoalan lain. Katakan saja, alokasi dana yang
diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di
lingkungan Diknas. Maka, terlepas itu semua, apakah itu urusan Depag atau
Depdiknas, mestinya alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam tidak terjadi
kesenjangan, toh pendidikan Islam juga bermisi untuk mencerdaskan anak bangsa,
sebagaimana juga misi yang diemban oleh pendidikan umum.
Faktor kedua,
dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini
lebih didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional.
Pendidikan Islam tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan, lantaran
urusannya tidak di bawah Depdiknas. Beberapa indikator yang menunjukkan
kesenjangan ini yaitu mulai dari tingkat ketersediaan tenaga guru, status guru,
kondisi ruang belajar, tingkat pembiayaan (unit cost) peserta belajar, hingga
tidak adanya standardisasi mutu pendidikan Islam, karena urusan pendidikan
Islam tidak berada di bawah Depdiknas[3]dan lebih tragis lagi
adalah sikap diskriminatif terhadap produk atau lulusan pendidikan Islam.
Faktor ketiga, adalah adanya diskriminasi masyarakat terhadap
pendidikan Islam. Secara jujur harus diakui, bahwa masyarakat selama ini
cenderung acuh terhadap proses pendidikan di madrasah atau sekolah-sekolah
Islam. Rata-rata memandang pendidikan Islam adalah pendidikan nomor dua dan
biasanya bila menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan Islam merupakan
alternatif terakhir setelah tidak dapat diterima di lembaga pendidikan di
lingkungan Diknas.
Lebih
memilukan lagi kenyataan akhir-akhir ini ketika sejarah perjalanan manusia
dengan sampainya pada era globalisasi secara nyata merupakan tantangan baru dan
kompleks sekali bagi ummat Islam dan pendidikan Islam sekaligus, hal ini dapat
dilihat dalam beberapa hal yakni :
Pertama,
tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana meningkatkan
produktivitas kerja tentu hal ini terkait dengan lembaga pendidikan sebagai
pencetak sumber daya manusia, serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai
upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing
development ).
Kedua, tantangan untuk
melakukan riset secara komprehensif terhadap terjadinya era reformasi dan
transformasi struktur masyarakat, dari masyarakat tradisional-agraris ke
masyarakat modern-industrial dan informasi-komunikasi, serta bagaimana
implikasinya bagi peningkatan dan pengembangan kualitas kehidupan SDM.
Ketiga, tantangan dalam
persaingan global yang semakin ketat, yaitu meningkatkan daya saing umat dalam
menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran,
penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Keempat, tantangan terhadap
munculnya invasi dan kolonialisme baru di bidang Iptek, yang menggantikan
invasi dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi.
Semua tantangan tersebut
menuntut adanya SDM yang berkualitas dan berdaya saing di bidang-bidang
tersebut secara komprehensif dan komparatif yang berwawasan keunggulan,
keahlian profesional, berpandangan jauh ke depan (visioner), rasa
percaya diri dan harga diri yang tinggi serta memiliki keterampilan yang
memadai sesuai kebutuhan dan daya tawar pasar.
Kemampuan-kemampuan
itu harus dapat diwujudkan dalam proses pendidikan Islam yang berkualitas,
sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, unggul dan
profesional, yang akhirnya dapat menjadi teladan yang dicita-citakan untuk
kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.[4]
C.
Upaya
Penguatan pendidikan islam
Dari
beberapa tantangan yang sudah dipaparkan diatas maka perlu adayanya upaya penguatan
pendidikan islam, yang salah
satunya pernah disampaikan oleh anggota DPR RI Abdul Fikri mengenai restrukturisasikementrian Agama(Kemenag) RI. Panitia kerja (Panja)
pendidikan Islam di DPR mengusulkanuntuk restrukturisasi kelembagaan direktorat Jenderal pendidikan Islam
Kemenag RI menjadi dua yaitu Ditjen Madrasah dan Pondok pesantren serta Ditjen Pengembangan Pendidikan Tinggi Islam
Restrukturisasi KelembagaanPerlu adanya
sikap lentur kelembagaan dari struktur pendidikan Islam seperti Pesantren atau
Madrasah. Bahkan lebih daripada itu, dituntut model lembaga pendidikan Islam
yang berfungsi ganda.
Maksud dari fungsi ganda itu
adalah:Lembaga Pendidikan Islam tidak hanya sebagai lembaga pendidikan formal
agama namun lebih berorientasi sosio-religion yang berfungsi sebagai pusat
pembinaan mental agama masyarakat lain (dalam artian sebagai pusat kebudayaan).
Dalam penguatan pendidikanislam selain dengan restrukturisasi,berharap
anggaran akan lebih besar sehingga dapat menunjang dalam pendidikan islam. Struktur pemerintahan yang ada juga
haruslah memperhatikan hal-hal yang langsung berkaitan dengan masyarakat
seperti pendidikan dan kesehatan.[5]
Namun fenomena di lapangan
mengenai tunjangan profesi guru sangat memprihatinkan, karena dana tersebut
kerap tersendat.
Sementara Tunjangan profesi
guru merupakan salah satu program pemerintah dalam rangka perbaikan kualitas
pendidikan nasional. Melalui pemberian tunjangan profesi guru, diharapkan para
guru memiliki kesempatan yang lebih besar dalam meningkatkan kualitas,
kopetensi dan kinerjanya.
D.
Penutup
Berdasarkan uraian dan
analisis diatas dapat dikemukakan beberapa catatan penutup sebagai berikut:
Pertama,pendidikan Islam
sebagai bagian yang integral dari pendidikan nasional dari sejak dahulu dengan
melalui lembaga pendidikan formal, non formal dan informal baiknya adalah dapat
membina dan mencetak sumber daya manusia (SDM) yang handal dan profesional
dibidangnya masing-masing menjadi kader dan pemimpin bangsa.
Kedua Kesadaran dan komitmen
moral bangsa kita yang mayoritas beragama Islam paham bahwa reaktualisasi
pendidikan Islam sebagai salah satu upaya yang optimal untuk memberdayakan dan
meningkatkan taraf kualitas kehidupan mereka dalam berbagai aspek kehidupan pada
satu sisi, dan pada sisi yang lain bahwa pendidikan itu merupakan jalur dan
sarana bagi mereka untuk memberantas penyakit 4 K (kemiskinan, kemelaratan,
kebodohan dan ketakberdayaan) .
Ketiga, Penataan kembali
sistem pendidikan Islam, tidak cukup hanya dilakukandengan sekedar modifikasi
atau tambal sulam. Upaya demikian memerlukan restrukturisaidan tunjangan
profesi guru sehingga pendidikan Islam dapat memberikan konstribusi besar bagi
pencapaian cita-cita pembangunan bangsa yaitu terwujudnya masyarakat adil
makmur yang diridhai Allah swt.
Daftar
Pustaka
Putra haidar,
pendidikan islam dalam sistem
pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Dahriman, Ciput MSA M, dan Mahfudh Djunaidi, Berlaku Adi lterhadap Madrasah, From:
http://www. suaramerdeka. com/harian/0211/12/kha1.htm, (1/1/16,4.30)
Abdul Aziz, Perlu
Peraturan Pemerintah tentang Desentralisasi Madrasah, Kompas, Jakarta,
From:http://www.kompas.com/kompas-cetak/0211/26/DIKBUD/808.htm, (1/1/16, 1807)
Suara merdeka, perlu penguatan pendidikan islam senin 28 desember 2015
Soeroyo, Berbagai
Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal
Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volume I, Fak. Tarbiyah IAIN
Suka,Yogyakarta.
[1]Putra haidar, pendidikan islam dalam sistem pendidikan Nasional di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2007 hlm 3.
[2]Dahriman, Ciput MSA M, dan Mahfudh Djunaidi, Berlaku
Adi lterhadap Madrasah, From: http://www. suaramerdeka.
com/harian/0211/12/kha1.htm, (1/1/16,4.30)
[3]Abdul Aziz, Perlu Peraturan Pemerintah tentang
Desentralisasi Madrasah, Kompas, Jakarta, From:http://www.kompas.com/kompas-cetak/0211/26/DIKBUD/808.htm, (1/1/16, 1807)
[4]Soeroyo, Berbagai
Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal
Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volume I, Fak. Tarbiyah IAIN
Suka,Yogyakarta. 1991, h.77
[5] Suara merdeka,perlu penguatan pendidikan islam senin 28 desember 2015