PENDAHULUAN
Bila ditinjau dari segi
fikih, menurut Qardhawi bunga bank sama dengan riba yang hukumnya jelas-jelas
haram. Suatu sistem ekonomi Islam harus bebas dari bunga (riba). Hanya sistem
ekonomi Islam yang dapat menggunakan modal dengan benar dan baik, karena dalam
sistem ekonomi kapitalis dijumpai bahwa manfaat keuntungan teknik yang dicapai
oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja.[1]
Keadilan
ekonomi dan sosial merupakan salah satu karakteristik yang idealis bagi umat
islam, yang harus diterapkan dalam cara hidupnya dan bukan sebagai suatu
fenomena. Konsep tersebut harus diimplementasikan pada semua area dari hubungan
interaksi antar umat manusia, sosial ekonomi dan politik.
Dalam hal ekonomi, Islam
memperbolehkan pengembangan harta melalui perdagangan, Islam memuji orang-orang
yang bertebaran di muka bumi untuk berbisnis akan tetapi Islam menutup jalan
bagi semua orang yang berusaha mengembangkan hartanya melalui jalan riba.[2]
Di antara semua ajaran
Islam yang terpenting adalah untuk mewujudkan keadilan dan meniadakan
pemanfaaatan ataupun ekploitasi dalam transaksi bisnis yang diperbolehkan atas
sumber daya yang ada yang digunakan untuk melakukan perbaikan secara tidak adil
(akl amwal an nas bi al batil). Al-Qur`an memerintahkan umat islam untuk
tidak menginginkan barang milik orang lain secara bi al batil atau
secara tidak benar.[3]
Riba
berarti meningkat, tambahan, peluasan, ataupun peningkatan. Dalam islam riba di
definisikan sebagai “premi” yang harus di bayar dari peminjam kepada yang
meminjamkan bersama dengan jumlah pokoknya sebagai kondisi dari jatuh tempo
atau berakhirnya masa pinjaman. Dalam hal ini, riba mempunyai pengertian yang
sama dan akan dijelaskan lebih lanjut mengenai riba.
Dengan
demikian sesuai dengan tugas yang diberikan kepada kami sebagai pemakalah, maka
kami dalam makalah ini akan menjelaskan tentang riba yang merujuk pada
pengertian riba, hukum riba, hikmah diharamkannya riba, jenis-jenis riba, dan perbedaan
riba dengan jual beli.Semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi para
pembaca secara umum dan juga bagi penulis atau pemakalah pada khususnya.
PEMBAHASAN
A. Definisi
Riba
Di antara akad
jual beli yang mendapat pelarangan keras adalah riba. Riba secara bahasa
berarti penambahan, pertumbuhan, kenaikan, dan ketinggian. Allah SWT berfirman:
فإذا
أنزلنا عليها الماء اهتزّت وربت
Maka apabila Kami turunkan air di
atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. (QS. Al-Hajjaj (22): 5)
Artinya naik dan tinggi, Allah SWT
juga berfirman:
أن
تكون أمّة هى أربى من أمّة
Disebabkan
adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. (QS. An-Nahl
(16): 92)
Artinya lebih banyak jumlah dan
hartanya.[4]
Kata “Riba”
dibaca dengan Alif maqsurah, menurut bahasanya mempunyai arti “tambah”.
Sedangkan menurut syarah ialah penyerahan pergantian sesuatu dengan sesuatu
yang lain yang tidak dapat terlihat adanya kesamaan menurut timbangan syarah
ketika akad, atau disertai mengakhirkan dalam proses tukar menukar atau hanya
salah satunya.[5]
Dapat juga diartikan
bahwa riba adalah “Akad untuk satu ganti khusus tanpa diketahui perbandingannya
dalam penilaian syari’at ketika berakad atau bersama dengan mengakhirkan kedua
ganti atau salah satunya.” Kata akad “akad” mengandung makna ijab dan qabul,
sehingga jika tidak ada ijab dan qabul, maka akad tidak ada,
sama seperti seseorang yang menjual dengan sistem mu’athah (saling
memberi) artinya menyerahkan dan menerima dengan tanpa ucapan, dan ini terjadi
pada sekarang ini dan bukan termasuk riba, walaupun ia haram namun tidak
seperti haramnya riba.[6]
Kata “ganti yang khusus” yaitu uang dan makanan.
Riba tida berlaku pada selain keduanya, misalnya baju dan kain. Kata “tanpa
diketahui persamaannya” bisa untuk yang diketahui perbedaannya dan yang tidak
diketahui persamaannya dan saling melebihi artinya pada benda yang sama
jenisnya.Kata “dalam pertimbangan syara’” terkait dengan masalah persamaan. Dan
timbangan syara’ adalah takaran untuk barang yang ditakar, timbangan untuk
barang yang ditimbang dan hitungan untuk barang yang dihitung serta hasta untuk
barang yang bisa diukur dengan hasta.[7]
Kata “ketika berakad” adalah satu pembatasan yang
harus ada dan masuk dalam makna ini seandainya ia menjual dengan cara lelang
segenggam tepung dengan segenggam tepung kemudian keduanya keluar bersama-sama,
maka ini masuk dalam kategori tidak diketahui persamaannya dalam timbangan
syara’ ketika berakad.[8]
Kata “atau bersama dengan mengakhirkan dua ganti
atau salah satunya” artinya membayar satu barang dengan barang yang lain dengan
mengakhirkan pembayaran keduanya atau salah satunya baik keduanya sama jenis
atau berbeda. Namun sama dalam ‘illat riba yaitu naqdiyah (bernilai
uang) dalam uang dan tha’miyah (makanan).[9]
Tidak masuk dalam ruang lingkup definisi seandainya ia menjual gandum dengan
beberapa dirham walaupun diakhirkan pembayarannya ini tidak termasuk riba sebab
ada perbedaan ‘illat (alasan mendasar) riba. Dan yang dimaksud
mengakhirkan penerimaan barang atau meminta hak milik, maka ia bisa menjadi
riba nasi’ah.[10]Adapun
definisi tentang riba dalam pandangan Al-Quran yaitu terdapat pada Q.S Ar-Rum
(30) : 39 Alloh SWT. berfirman:
وما
آتيتم من ربا ليربو في أموال الناس فلا يربو عند الله وما آتيتم من زكاة تريدون
وجه الله فأولئك هم المضعفون
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar
dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya).[11]
Dengan demikian, riba menurut istilah ahli fikih
adalah penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti
dari tambahan ini. Tidak semua tambahan dianggap riba, karena tambahan
terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan dan tidak ada riba didalamnya
hanya saja tambahan yang diistilahkan riba dan Alqur’an datang menerangkan
pengharamannya adalah tambahan yang diambil sebagai ganti dari tempo.[12]
Di negara Barat ada seorang muslim yang bertanya
mengenai hukum kredit pembelian rumah melalui Riba. Keputusan yang diterbitkan
oleh Dewan fatwa Eropa, dalam releasi pada penutupan sidang keempat yang
diselenggarakan tanggal 18-22 Rajab 1420 H atau 20-31 Oktober 1999.
1. Dewan
menguatkan apa yang telah menjadi ijma umat yang mengharamkan riba, dan bahwa
riba termasuk tujuh hal yang menerima maklumat perang dari Allah dan Rasulnya.
2. Dewan
mengajak seluruh kaum nuslimin di Barat supaya berjuang keras untuk menciptakan
alternatif-alternatif pengganti yang sesuai dengan syari’at, sebagai pengganti
yang tidak ada syubhat.
3. Menghimbau
semua organisasi Islam di Eropa agar melobi bank-bank konvensional Barat,
supaya bersedia mengubah sistem transaksi selama ini menjadi bentuk yang dapat
di terima menurut syari’at.
4. Apabila
upaya-upaya di atas tidak mudah terealisasi sekarang, maka berdasarkan
pertimbangan sejumlah dalil, kaidah serta berbagai pandangan syari’at, dewan
tida mellihat ada masalah memanfaatkan fasilitas kredit yang menggunakan sistem
riba untuk pembelian rumah yang dibutuhkan oleh seorang muslim sebagai tempat
tinggal untuk dirinya dan keluarganya. Dengan syarat asalkan benar-benar tidak
memiliki rumah sebagai tempat tinggal permanen, di samping memang ia tidak
memiliki harta yang memadai yang memungkinkannya untuk membeli rumah di luar
cara ini.[13]
B. Pengharaman
Riba
Di antara ayat-ayat yang paling akhir diturunkan
Allah SWT adalah firman-Nya yang terdapat dalam surat AL-Baqarah ayat 278-279,
yang artinya:
“hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba
(yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Jika kalian tidak
mengerjakannya, ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.
Jika kalian berrtaubat, bagimu pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya”.
Rasulullah saw
menyatakan perang kepada riba dan orang-orang yang mempraktekkan riba. Beliau
bersabda:
إ
ذا ظهر الرّبا والزّنى في قرية فقد أحلّوا بأنفسهم عذاب النّار
“Apabila riba dan perzinaan telah muncul di suatu daerah,
berarti mereka telah menghalalkan bagi
dirinya siksa Allah SWT.”
Dalam agama
Yahudi, disebutkan di Perjanjian Lama, “Bila saudaramu membutuhkan,
penuhilah dan jangan meminta keuntungan serta manfaat darinya...”. Dalam
agama Nasrani, Injil Lukas menyebutkan, “lakukan yang baik-baik, berikanlah
pinjaman dengan tanpa mengharap imbalan keuntungan darinya. Bila itu kalian
lakukan, pahala kalian sangat besara.” (ayat 24-25, pasal 6).[14]
Pemberi Riba dan
Pencatatnya
Pemakan Riba adalah pihak pemberi pinjaman kepada
peminjam dengan meminta pengembalian lebih banyak dari nilai nominal pinjaman.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Allah mengutuk pemakan riba, pemberi riba,
dua saksi, dan penulisnya. Apabila ada kebutuhan mendesak yang menjadikan
seorang peminjam tidak memiliki pilihan selain memberikan riba, saat itu dosa
riba hanya ditanggung oleh si pengambil. Namun itu hanya berlaku apabila:
1. Benar-benar
terdapat kondisi darurat yang sebenarnya, bukan karena ingin memenuhi kebutuhan
sekunder atau tersier.
2. Sekedar
dapat memenuhi kebutuhannya, tanpa ditambah.
3. Selain
itu, ia harus berusaha sekuat tenaga untuk mengentaskan dirinya dari kesulitan
ekonomi.
4. Ketika
melakukan itu, hendaknya dilakukan dalam keadaan tidak suka dan benci, sehingga
Allah SWT memberinya jalan keluar.[15]
C. Hikmah
diharamkannya Riba
Beberapa hal yang disebutkan oleh Imam ar-Razi dalam
tafsirnya: pertama, praktek riba berarti mengambil harta orang lain
dengan tanpa kompensasi. Harta seseorang sesungguhnya menjadi sandaran bagi
kebutuhannya. Ia memiliki kehormatan yang besar, seperti disebutkan dalam
hadits,[16]
حرّمة
مال الإنسان كحرمة دمه
“Kehormatan harta orang sebanding dengan kehormatan darahnya”
Karena itu, mengambil harta orang lain tanpa
kompensasi haram hukumnya. Kedua, ketergantungan kepada riba dapat
melemahkan semangat orang untuk berusaha mencari penghidupan. Ketiga, riba
menyebabkan terputusnya kemashlahatan dalam interaksi sosial menyangkut praktek
pinjam meminjam. Keempat, pada umumnya, orang yang memberikan pinjaman
adalah orang kaya, sedangkan peminjam adalah orang miskin. Karena itu, jika
riba diperbolehkan, berarti memberi jalan bagi si kaya untuk mengambil harta
tambahan dari si miskin yang sudah lemah.[17]
D. Jenis-Jenis
Riba
Menurut pendapat sebagian ulama, riba itu ada empat
macam:
1.
Riba fadli (menukarkan dua barang yang
sejenis dengan tidak sama)
2.
Riba qardi ( utang dengan syarat ada
keuntungan bagi yang memberi utang)
3.
Riba yad (berpisah dari tempat akad
sebelum timbang terima)
4.
Riba nasa’ (disyaratkan salah satu dari
kedua barang yang dipertukarkan ditangguhkan penyerahannya)
Sebagian ulama membagi riba itu atas tiga macam
saja, yaitu riba fadli, riba yad, dan riba nasa’. Riba qardi termasuk kedalam
riba nasa’.[18]
1.
Riba Al-Fadhl
a. Definisi
Riba Al-Fadhl
Adalah tambahan
pada salah satu dua ganti kepada yang lain ketika terjadi tukar menukar sesuatu
yang sama secara tunai. Islam telah mengharamkan jenis riba ini dalam transaksi
karena khawatir pada akhirnya orang akan jatuh kepada riba yang hakiki yaitu riba
an-nasi’ah yang sudah menyebar dalam tradisi masyarakat Arab. Rasulullah
saw bersabda:[19]
لاتبيعوا الدّرهم بدرهمين فإنّى أخاف عليكم الرّما,
الرّما معناه الرّبا
Janganlahkalian menjual satu dirham dengan dua dirham sesungguhnya saya
takut terhadapa kalian dengan rima, dan rima artinya riba.
Karena perbuatan
ini bisa menjadi riba yang hakiki, maka menjadi hikmah Allah SWT dengan
mengharamkannya sebab ia bisa menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan yang
haram. Termasuk dalam bagian ini adalah riba qardh, yaitu seseorang
member pinjaman uang kepada orang lain dan dia memberi syarat supaya si
pengutang memberinya mamberinya manfaat seperti menikahi atau membeli barang
darinya, atau menambah jumlah bayaran dari uatang pokok. Rasulullah saw
bersabda: Setiap utang yang membawa manfaat, maka ia adalah haram.[20]
b. Hukum
Riba Al-Fadhl
Tidak ada
perbedaan antara empat mazhab tentang haramnya riba Al-Fadhl, ada yang
mengatakan bahwa sebagian sahabat ada yang membolehkan di antaranya adalah
Abdullah bin Mas’ud namun ada nukilan riwayat bahwa beliau sudah menarik
pendapatnya dan mengatakan haram.[21]
Dalil
pengharamannya adalah sabda Rasulullah saw.“Jangan kalian menjual emas
dengan emas, perak dengan perak, tepung dengan tepung, dan gandum dengan
gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam kecualli yang satu ukuran dan
sama beratnya dan jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hati kalian dengan
syarat tunai, siapa yang menambah atau meminta tambahan sungguh dia telah
melakukan riba yang mengambil dan member keduanya sama”. (HR. Ahmad dan
Bukhori)[22]
Arti hadis ini
adalah bahwa jika manusia memerlukan pertukaran barang dari satu jenis yang
sama mereka boleh melakukannya dengan salah satu dari dua cara:
1) Mereka
menukarnya dengan yang sama ukurannya tanpa ada kelebihan dan pengurangan
dengan syarat tunai dan serah terima sebelum berpisah. Namun ada hal yang perlu
diperhatikan anatar dua barang tersebut seperti perbedaan kualitas umpamanya.
2) Seseorang
menjual barangnya secara tunai tanpa ada penangguhan sama sekali. Hal ini sesuai
dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah:
“bahwa Rasulullah saw menyewa seseorang untuk menjaga kebun kurma di khaibar,
lalu si laki-laki itu membawa kurma yang bagus kepada mereka, kemudian
Rasulullah saw bertanya: apakah semua kurma Khaibar seperti ini? Dia
menjawab: Tidak, kami membeli satau sha’ yang baik dengan dua sha’ yang
buruk, dua sha’ dengan tiga sha’. Nabi berkata: jangan kamu
lakukan, jual semuanya dengan harga dirham lalu kamu beli kurma yang baik
dengan uang dirham.”[23]
Adapun menjual
satu jenis barang dengan jenis yang lain seperti gandum dengan tepung beras,
maka tidak haram jika ada tambahan namun harus ada saling serah terima dan
tunai kecuali jika salah satu ganti berupa uang dan yang lain berupa makanan,
maka sah untuk diakhirkan baik yang dijual berupa makanan.[24]
c. Hikmah
pengharaman riba Al-Fadhl
Terkadang
sebagian orang picik dan penipu memperalat orang-orang yang lemah wawasannya
dan menipu mereka dengan mengatakan satu karung gandum ini sama dengan tiga
karung gandum karena kualitasnya, dan satu perhiasan yang terukir dengan ukiran
indah dan trebuat dari emas sama dengan nilainya dengan dua perhiasan dan hal
ini bisa meniombulkan penipuan terhadap orang lain dan memudaratkan mereka
dengan sesuatu yang tidak tersembunyi.[25]
2.
Riba Al-Yadd
Adalah
jual beli dengan mengakhirkan penyerahan kedua barang ganti atau salah satunya
tanpa menyebutkan waktunya.
3.
Riba An-Nasi’ah
a. Definisi
Riba An-Nasi’ah
Adalah jual beli
dengan mengakhirkan tempo pembayaran. Riba jenis inilah yang terkenal di zaman
jahiliyah. Salah seorang dari mereka memberikan hartanya untuk orang lain
sampai waktu tertentu dengan syarat dia mengambil tambahan tertentu dalam
setiap bulannya sedangkan modalnya tetap dan jika sudah jatuh tempo ia akan mengambil
modalnya, dan jika belum sanggup membayar, maka waktu dan bunganya akan
ditambah.[26]
Riba dalam jenis
transaksi ini sangat jelas dan tidak perlu diterangkan sebab semua unsur dasar
riba telah terpenuhi semua seperti tambahan dari modal, dan tempo yang menyebabkan
tambahan. Dan menjadikan keuntungan (interest) sebagai syarat yang
terkandung dalam akad yaitu sebagai harta melahirkan harta karena adanya tempo
dan tidak lain ada lagi yang lain.[27]
b. Hukum
Riba An-Nasi’ah
Keharaman riba
an-nasi’ah telah ditetapkan berdasarkan nash yang pasti dengan kitab
Allah dan sunnah Rasul-Nya serta ijma’ kaum muslimin. Adapun dalil Alqur’annya
adalah QS. Al Baqarah (2): 275-276 dan ayat 278-279. Dalam ayat ini, Allah SWT
mengungkap apa yang ada dalam transaksi riba berupa keburukan dan kekejian,
kekeringan hati dan kejahatan yang akan terjadi di masyarakat, kerusakan di
muka bumi, dan hancurnya manusia. Oleh sebab itu, Islam tidak pernah
mengungkapkan kekejian sesuatu yang ingin dibatalkannya dari perkara jahiliyah lebih
dari ungkapan-Nya terhadap transaksi riba dalam ayat ini dan beberapa ayat pada
tempat lain.[28]
Adapun dalil
pengharaman riba dalam sunnah antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim:
لعن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم اكل الرّبا ومؤكله
وكاتبه و شاهديه
Rasulullah melaknat yang memakan riba, wakilnya, penulisnya, dan dua
orang saksinya.
Orang Islam telah sepakat bahwa riba haram dan termasuk dosa besar
sampai ada yang mengatakan riba juga tidak dihalalkan dalam syari’at-syari’at
sebelumnya[29]sebagaimana
firman Allah SWT.
وأخذ هم الربوا وقد نهوا عنه
Dan disebabkan oleh merteka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya. (QS. An-Nisa’(4): 161)
E. Perbedaan antara Riba dan Jual Beli
Ada beberapa sebab mengapa Allah SWT menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba:
Pertama, dalam
jual beli ada ‘iwadh (ganti) sebagai bayaran dari ‘iwadh yang
lain, sedangkan dalam riba adalah tambahan (bunga) dan tidak ada gantinya. Kedua, Allah mengharamkan riba dalam
emas dan perak sebab keduanya ditetapkan sebagai alat ukur bagi menilai harga
sesuatu yang bisa dimanfaatkan oleh manusia dalam kehidupan mereka. Ketiga,
tidak layak bagi seorang manusia yang hanya berpikir tentang materi belaka
tanpa ada perasaan ingin berbuat baik untuk saudaranya, tapi justru dia
memanfaatkan hajat saudaranya.[30]
1.
Barang-Barang
Yang Haram Diribakan
Barang-Barang
Yang Haram Diribakan yaitu emas, perak, gandum (al-burr), gandum barley
(asy-sya’ir), kurma dan garam. Hal ini merujuk pada hadis yang dirwayatkan oleh Ubadah bin
Shamit.[31]
Emas dan perak haram diribakan karena illat yang sama, yaitu
karena keduanya termasuk barang berharga sehingga diharamkan riba di dalamnya,
sementara barang-barang yang lain tidak diharamkan untuk melakukan transaksi
riba di dalamnya,misalnya: bes, tembaga, dan bubuk mesiu, uang logam (al-fulus)
jika ia laku seperti lakunya emas dan perak (an-nuqud). Riba juga tidak
diharamkan dalam keseluruhan barang-barang komoditas dagang, seperti kapas,
kain, kain wool, benang, dan yang lainnya.Pertukaran barang dengan barang
sejenis harus memenuhi tiga syarat: sama ukurannya, secara tunai, dan serah
terima sebelum berpisah. Jika jenisnya berbeda maka boleh ada kelebihan namun
disyaratkan tetap harus secara tunai dan ada sistem serah terima (yadan bi
yadin).[32]
Adapun mengenai empat barang yang lain, sperti gandum, gandum barley,
kurma, dan garam di sini berkembang dua pendapat ulama:
Imam
Syafi’i dalam qaul jadid-nya mengatakan bahwa illat pengharaman
riba dalam transaksi jual beli keempat barang ini adalah karena mereka termasuk
barang yang dimakan. Tidak boleh ada riba pada setiap yang bisa dimakan dan ini
mencakup tiga perkara:pertama, barang tersebut berupa makanan
pokok. Kedua, berupa buah dan
lauk. Ketiga, berguna untuk memperbaiki rasa, makanan, dan kesehatan
badan. [33]
Dalam qaul qadim, illat pada makanan adalah karena makanan yang
ditakar atau ditimbang dengan begitu tidak haram riba pada yang tidak ditakar
atau ditimbang dari jenis makanan.[34]
2.
Jual beli
biji-bijian sejenis dan lainnya
3.
Menjual
buah-buahan dengan buah sejenis dan hal-hal yang terkait dengannya
4.
Menjual daging
dengan daging sejenis dan permasalahannya
5.
Menjual cairan
dengan cairan sejenis dan produk yang dihasilkan darinya
6.
Pertukaran mata
uang (ash-sharf)
Selain berbeda dengan jual
beli, riba juga memiliki perbedaan dengan rente. Rente adalah
keuntungan yang diperoleh oleh perusahaaan bank dan sebagainya, karena jasanya
meminjamkan uang untuk melancarkan perusahaan orang yang meminjam. Berkat
bantuan bank yang meminjamkan uang kepadanya, perusahaannya bertambah maju, dan
keuntungan yang diperolehnya menjadi bertambah banyak. Maka atas jasanya ini,
bank mendapatkan bagian keuntungan-keuntungan yang layak. Berapa jumlah
keuntungan yang akan menjadi hak bank itu, ditetapkan lebih dahulu.[35]
Riba adalah pemerasan kepada orang yang susah hidupnya.
Adapun contoh dalam praktek riba yaitu: orang miskin yang membutuhkan
pertolongan untuk memperbaiki hidupnya supaya kebutuhannya terpenuhi. Kemudian
datanglah si peminjam untuk meminjamkan uangnya kepada orang miskin tersebut
untuk waktu yang sudah ditentukan, tetapi karena si miskin tidak sanggup
membayar hutangnya tepat waktu, maka si peminjam memberikan tempo untuk
beberapa waktu, dengan ketentuan bahwa uang itu harus bertambah sehingga uang
yang tadinya dipinjam. Misalnya: uang yang dipinjam Rp.100.000,-, ia harus
membayar awal bulan Rp.125.000,-. Demikianlah karena di awal bulan dia juga
tidak sanggup membayar, maka jumlah utangnya ditambah lagi, sehingga semakin
lama hutangnya itu semakin membesar dan berlipat ganda dari jumlah yang di
pinjamnya semula.[36]
Di sini riba sifatnya lebih konsumtif.
Riba merupakan salah
satu praktek ekonomi yang banyak merugikan bagi orang yang tergolong lemah
(miskin), dengan melaksanakan riba orang yang kaya semakin kaya dan orang yang
miskin semakin miskin. Hukum melaksanakan riba itu haram, baik bagi peminjam, yang
meminjam dan saksi itu semuanya berdosa.
Dan di antara semua
ajaran Islam yang terpenting adalah untuk mewujudkan keadilan dan meniadakan
pemanfaaatan ataupun ekploitasi dalam transaksi bisnis yang diperbolehkan atas
sumber daya yang ada yang digunakan untuk melakukan perbaikan secara tidak adil
(akl amwal an nas bi al batil). Al-Qur`an memerintahkan umat Islam untuk
tidak menginginkan barang milik orang lain secara bi al batil atau
secara tidak benar.Riba
ada 4, yaitu: Riba Fadli, Riba Nasi’ah, Riba Qardh dan Riba Yad. Riba berbeda
dengan jual beli. Allah SWT menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
DAFTAR PUSTAKA
Amar,Imron Abu.Terjemah Fathul
Qarib jilid 1. Kudus: Menara Kudus, 1982.
Azzam,
Abdul Aziz Muhammad.Fiqh Muamalat Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam. Jakarta:Amzah, 2010.
Fachruddin,Fuad
Mohd. Riba Dalam Bank, Koperasi, Perseroan, Dan Asuransi. Bandung:
Alma’arif, 1993.
Qardhawi,Yusuf.
Terj. Samson Rahman dkk. Fatwa-fatwa Kontemporer. Pustaka al-Kautsar,
2002.
______________.
Terj. Wahid Ahmadi dkk.Halal Haram Dalam Islam. Pajang: Intermedia,
2005.
Rasjid,
Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung:Sinar Baru Algensindo, 2006.
Rivai,
Veithzal dan Andi Bukhari. Islamic Economic. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
[1] Veithzal Rivai dan Andi Bukhari,
Islamic Economic (Bumi Aksara: Jakarta, 2009), hlm. 501.
[2] Yusuf Qardhawi, Halal Haram
Dalam Islam. Terjemahan Wahid Ahmadi dkk (Intermedia: Pajang, 2005), hlm.
370.
[3] Veithzal Rivai dan Andi Bukhari,
Islamic..., hlm. 501.
[4] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh
Muamalat Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam (Amzah: Jakarta, 2010), hlm. 215-216.
[5] Imron Abu Amar, Terjemah
Fathul Qarib jilid 1 (Menara Kudus:Kudus, 1982), hlm. 232.
[6] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 216.
[7] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 216
[8] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 216.
[9] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 216 -217.
[10] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 217.
[11] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 217.
[12] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 217.
[13] Yusuf Qardhawi,
Fatwa-fatwa Kontemporer. Terjemahan Samson Rahman dkk. (Pustaka
al-Kautsar: 2002) hlm.632-633.
[14] Yusuf Qardhawi, Halal..., hlm.
370.
[15] Yusuf Qardhawi, Halal..., hlm.
370
[16] Yusuf Qardhawi, Halal..., hlm.
370.
[17] Yusuf Qardhawi, Halal..., hlm.
370.
[18] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Sinar
Baru Algensindo: Bandung, 2006), hlm. 290.
[19] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 218.
[20] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 218.
[21] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 218-219.
[22] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 219.
[23] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 219.
[24] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hllm. 220.
[25] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 221.
[26] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 222.
[27] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 222.
[28] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 222- 223.
[29] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 224.
[30] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 228.
[31] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 228.
[32] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 229.
[33] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 230.
[34]Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh...,
hlm. 231.
[35] Fuad Mohd Fachruddin, Riba
Dalam Bank, Koperasi, Perseroan, Dan Asuransi (Alma’arif: Bandung, 1993),
hlm. 37.
[36] Fuad Mohd Fachruddin, Riba...,
hlm. 37.