Sunday, February 14, 2016

RIBA


PENDAHULUAN

Bila ditinjau dari segi fikih, menurut Qardhawi bunga bank sama dengan riba yang hukumnya jelas-jelas haram. Suatu sistem ekonomi Islam harus bebas dari bunga (riba). Hanya sistem ekonomi Islam yang dapat menggunakan modal dengan benar dan baik, karena dalam sistem ekonomi kapitalis dijumpai bahwa manfaat keuntungan teknik yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja.[1]
            Keadilan ekonomi dan sosial merupakan salah satu karakteristik yang idealis bagi umat islam, yang harus diterapkan dalam cara hidupnya dan bukan sebagai suatu fenomena. Konsep tersebut harus diimplementasikan pada semua area dari hubungan interaksi antar umat manusia, sosial ekonomi dan politik.
Dalam hal ekonomi, Islam memperbolehkan pengembangan harta melalui perdagangan, Islam memuji orang-orang yang bertebaran di muka bumi untuk berbisnis akan tetapi Islam menutup jalan bagi semua orang yang berusaha mengembangkan hartanya melalui jalan riba.[2]
Di antara semua ajaran Islam yang terpenting adalah untuk mewujudkan keadilan dan meniadakan pemanfaaatan ataupun ekploitasi dalam transaksi bisnis yang diperbolehkan atas sumber daya yang ada yang digunakan untuk melakukan perbaikan secara tidak adil (akl amwal an nas bi al batil). Al-Qur`an memerintahkan umat islam untuk tidak menginginkan barang milik orang lain secara bi al batil atau secara tidak benar.[3]
            Riba berarti meningkat, tambahan, peluasan, ataupun peningkatan. Dalam islam riba di definisikan sebagai “premi” yang harus di bayar dari peminjam kepada yang meminjamkan bersama dengan jumlah pokoknya sebagai kondisi dari jatuh tempo atau berakhirnya masa pinjaman. Dalam hal ini, riba mempunyai pengertian yang sama dan akan dijelaskan lebih lanjut mengenai riba.
            Dengan demikian sesuai dengan tugas yang diberikan kepada kami sebagai pemakalah, maka kami dalam makalah ini akan menjelaskan tentang riba yang merujuk pada pengertian riba, hukum riba, hikmah diharamkannya riba, jenis-jenis riba, dan perbedaan riba dengan jual beli.Semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi para pembaca secara umum dan juga bagi penulis atau pemakalah pada khususnya.  

PEMBAHASAN

A.      Definisi Riba
Di antara akad jual beli yang mendapat pelarangan keras adalah riba. Riba secara bahasa berarti penambahan, pertumbuhan, kenaikan, dan ketinggian. Allah SWT berfirman:
فإذا أنزلنا عليها الماء اهتزّت وربت
Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. (QS. Al-Hajjaj (22): 5)

Artinya naik dan tinggi, Allah SWT juga berfirman:
أن تكون أمّة هى أربى من أمّة
Disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. (QS. An-Nahl (16): 92)

Artinya lebih banyak jumlah dan hartanya.[4]
Kata “Riba” dibaca dengan Alif maqsurah, menurut bahasanya mempunyai arti “tambah”. Sedangkan menurut syarah ialah penyerahan pergantian sesuatu dengan sesuatu yang lain yang tidak dapat terlihat adanya kesamaan menurut timbangan syarah ketika akad, atau disertai mengakhirkan dalam proses tukar menukar atau hanya salah satunya.[5]
Dapat juga diartikan bahwa riba adalah “Akad untuk satu ganti khusus tanpa diketahui perbandingannya dalam penilaian syari’at ketika berakad atau bersama dengan mengakhirkan kedua ganti atau salah satunya.” Kata akad “akad” mengandung makna ijab dan qabul, sehingga jika tidak ada ijab dan qabul, maka akad tidak ada, sama seperti seseorang yang menjual dengan sistem mu’athah (saling memberi) artinya menyerahkan dan menerima dengan tanpa ucapan, dan ini terjadi pada sekarang ini dan bukan termasuk riba, walaupun ia haram namun tidak seperti haramnya riba.[6]
Kata “ganti yang khusus” yaitu uang dan makanan. Riba tida berlaku pada selain keduanya, misalnya baju dan kain. Kata “tanpa diketahui persamaannya” bisa untuk yang diketahui perbedaannya dan yang tidak diketahui persamaannya dan saling melebihi artinya pada benda yang sama jenisnya.Kata “dalam pertimbangan syara’” terkait dengan masalah persamaan. Dan timbangan syara’ adalah takaran untuk barang yang ditakar, timbangan untuk barang yang ditimbang dan hitungan untuk barang yang dihitung serta hasta untuk barang yang bisa diukur dengan hasta.[7]
Kata “ketika berakad” adalah satu pembatasan yang harus ada dan masuk dalam makna ini seandainya ia menjual dengan cara lelang segenggam tepung dengan segenggam tepung kemudian keduanya keluar bersama-sama, maka ini masuk dalam kategori tidak diketahui persamaannya dalam timbangan syara’ ketika berakad.[8]
Kata “atau bersama dengan mengakhirkan dua ganti atau salah satunya” artinya membayar satu barang dengan barang yang lain dengan mengakhirkan pembayaran keduanya atau salah satunya baik keduanya sama jenis atau berbeda. Namun sama dalam ‘illat riba yaitu naqdiyah (bernilai uang) dalam uang dan tha’miyah (makanan).[9] Tidak masuk dalam ruang lingkup definisi seandainya ia menjual gandum dengan beberapa dirham walaupun diakhirkan pembayarannya ini tidak termasuk riba sebab ada perbedaan ‘illat (alasan mendasar) riba. Dan yang dimaksud mengakhirkan penerimaan barang atau meminta hak milik, maka ia bisa menjadi riba nasi’ah.[10]Adapun definisi tentang riba dalam pandangan Al-Quran yaitu terdapat pada Q.S Ar-Rum (30) : 39 Alloh SWT. berfirman:
وما آتيتم من ربا ليربو في أموال الناس فلا يربو عند الله وما آتيتم من زكاة تريدون وجه الله فأولئك هم المضعفون
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).[11]
Dengan demikian, riba menurut istilah ahli fikih adalah penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari tambahan ini. Tidak semua tambahan dianggap riba, karena tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan dan tidak ada riba didalamnya hanya saja tambahan yang diistilahkan riba dan Alqur’an datang menerangkan pengharamannya adalah tambahan yang diambil sebagai ganti dari tempo.[12]
Di negara Barat ada seorang muslim yang bertanya mengenai hukum kredit pembelian rumah melalui Riba. Keputusan yang diterbitkan oleh Dewan fatwa Eropa, dalam releasi pada penutupan sidang keempat yang diselenggarakan tanggal 18-22 Rajab 1420 H atau 20-31 Oktober 1999.
1.       Dewan menguatkan apa yang telah menjadi ijma umat yang mengharamkan riba, dan bahwa riba termasuk tujuh hal yang menerima maklumat perang dari Allah dan Rasulnya.
2.       Dewan mengajak seluruh kaum nuslimin di Barat supaya berjuang keras untuk menciptakan alternatif-alternatif pengganti yang sesuai dengan syari’at, sebagai pengganti yang tidak ada syubhat.
3.       Menghimbau semua organisasi Islam di Eropa agar melobi bank-bank konvensional Barat, supaya bersedia mengubah sistem transaksi selama ini menjadi bentuk yang dapat di terima menurut syari’at.
4.       Apabila upaya-upaya di atas tidak mudah terealisasi sekarang, maka berdasarkan pertimbangan sejumlah dalil, kaidah serta berbagai pandangan syari’at, dewan tida mellihat ada masalah memanfaatkan fasilitas kredit yang menggunakan sistem riba untuk pembelian rumah yang dibutuhkan oleh seorang muslim sebagai tempat tinggal untuk dirinya dan keluarganya. Dengan syarat asalkan benar-benar tidak memiliki rumah sebagai tempat tinggal permanen, di samping memang ia tidak memiliki harta yang memadai yang memungkinkannya untuk membeli rumah di luar cara ini.[13]

B.      Pengharaman Riba
Di antara ayat-ayat yang paling akhir diturunkan Allah SWT adalah firman-Nya yang terdapat dalam surat AL-Baqarah ayat 278-279, yang artinya:
hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Jika kalian tidak mengerjakannya, ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Jika kalian berrtaubat, bagimu pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.

Rasulullah saw menyatakan perang kepada riba dan orang-orang yang mempraktekkan riba. Beliau bersabda: 
إ ذا ظهر الرّبا والزّنى في قرية فقد أحلّوا بأنفسهم عذاب النّار
“Apabila riba dan perzinaan telah muncul di suatu daerah, berarti mereka  telah menghalalkan bagi dirinya siksa Allah SWT.”

Dalam agama Yahudi, disebutkan di Perjanjian Lama, “Bila saudaramu membutuhkan, penuhilah dan jangan meminta keuntungan serta manfaat darinya...”. Dalam agama Nasrani, Injil Lukas menyebutkan, “lakukan yang baik-baik, berikanlah pinjaman dengan tanpa mengharap imbalan keuntungan darinya. Bila itu kalian lakukan, pahala kalian sangat besara.” (ayat 24-25, pasal 6).[14]
Pemberi Riba dan Pencatatnya
Pemakan Riba adalah pihak pemberi pinjaman kepada peminjam dengan meminta pengembalian lebih banyak dari nilai nominal pinjaman. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Allah mengutuk pemakan riba, pemberi riba, dua saksi, dan penulisnya. Apabila ada kebutuhan mendesak yang menjadikan seorang peminjam tidak memiliki pilihan selain memberikan riba, saat itu dosa riba hanya ditanggung oleh si pengambil. Namun itu hanya berlaku apabila:
1.   Benar-benar terdapat kondisi darurat yang sebenarnya, bukan karena ingin memenuhi kebutuhan sekunder atau tersier.
2.   Sekedar dapat memenuhi kebutuhannya, tanpa ditambah.
3.   Selain itu, ia harus berusaha sekuat tenaga untuk mengentaskan dirinya dari kesulitan ekonomi.
4.   Ketika melakukan itu, hendaknya dilakukan dalam keadaan tidak suka dan benci, sehingga Allah SWT memberinya jalan keluar.[15]

C.      Hikmah diharamkannya Riba
Beberapa hal yang disebutkan oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya: pertama, praktek riba berarti mengambil harta orang lain dengan tanpa kompensasi. Harta seseorang sesungguhnya menjadi sandaran bagi kebutuhannya. Ia memiliki kehormatan yang besar, seperti disebutkan dalam hadits,[16]
حرّمة مال الإنسان كحرمة دمه
“Kehormatan harta orang sebanding dengan kehormatan darahnya”

Karena itu, mengambil harta orang lain tanpa kompensasi haram hukumnya. Kedua, ketergantungan kepada riba dapat melemahkan semangat orang untuk berusaha mencari penghidupan. Ketiga, riba menyebabkan terputusnya kemashlahatan dalam interaksi sosial menyangkut praktek pinjam meminjam. Keempat, pada umumnya, orang yang memberikan pinjaman adalah orang kaya, sedangkan peminjam adalah orang miskin. Karena itu, jika riba diperbolehkan, berarti memberi jalan bagi si kaya untuk mengambil harta tambahan dari si miskin yang sudah lemah.[17]
D.      Jenis-Jenis Riba
Menurut pendapat sebagian ulama, riba itu ada empat macam:
1.   Riba fadli (menukarkan dua barang yang sejenis dengan tidak sama)
2.   Riba qardi ( utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi utang)
3.   Riba yad (berpisah dari tempat akad sebelum timbang terima)
4.   Riba nasa’ (disyaratkan salah satu dari kedua barang yang dipertukarkan ditangguhkan penyerahannya)
Sebagian ulama membagi riba itu atas tiga macam saja, yaitu riba fadli, riba yad, dan riba nasa’. Riba qardi termasuk kedalam riba nasa’.[18]
1.     Riba Al-Fadhl
a.      Definisi Riba Al-Fadhl
Adalah tambahan pada salah satu dua ganti kepada yang lain ketika terjadi tukar menukar sesuatu yang sama secara tunai. Islam telah mengharamkan jenis riba ini dalam transaksi karena khawatir pada akhirnya orang akan jatuh kepada riba yang hakiki yaitu riba an-nasi’ah yang sudah menyebar dalam tradisi masyarakat Arab. Rasulullah saw bersabda:[19]
لاتبيعوا الدّرهم بدرهمين فإنّى أخاف عليكم الرّما, الرّما معناه الرّبا
Janganlahkalian menjual satu dirham dengan dua dirham sesungguhnya saya takut terhadapa kalian dengan rima, dan rima artinya riba.

Karena perbuatan ini bisa menjadi riba yang hakiki, maka menjadi hikmah Allah SWT dengan mengharamkannya sebab ia bisa menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan yang haram. Termasuk dalam bagian ini adalah riba qardh, yaitu seseorang member pinjaman uang kepada orang lain dan dia memberi syarat supaya si pengutang memberinya mamberinya manfaat seperti menikahi atau membeli barang darinya, atau menambah jumlah bayaran dari uatang pokok. Rasulullah saw bersabda: Setiap utang yang membawa manfaat, maka ia adalah haram.[20]
b.     Hukum Riba  Al-Fadhl
Tidak ada perbedaan antara empat mazhab tentang haramnya riba Al-Fadhl, ada yang mengatakan bahwa sebagian sahabat ada yang membolehkan di antaranya adalah Abdullah bin Mas’ud namun ada nukilan riwayat bahwa beliau sudah menarik pendapatnya dan mengatakan haram.[21]
Dalil pengharamannya adalah sabda Rasulullah saw.“Jangan kalian menjual emas dengan emas, perak dengan perak, tepung dengan tepung, dan gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam kecualli yang satu ukuran dan sama beratnya dan jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hati kalian dengan syarat tunai, siapa yang menambah atau meminta tambahan sungguh dia telah melakukan riba yang mengambil dan member keduanya sama”. (HR. Ahmad dan Bukhori)[22]

Arti hadis ini adalah bahwa jika manusia memerlukan pertukaran barang dari satu jenis yang sama mereka boleh melakukannya dengan salah satu dari dua cara:
1)  Mereka menukarnya dengan yang sama ukurannya tanpa ada kelebihan dan pengurangan dengan syarat tunai dan serah terima sebelum berpisah. Namun ada hal yang perlu diperhatikan anatar dua barang tersebut seperti perbedaan kualitas umpamanya.
2)  Seseorang menjual barangnya secara tunai tanpa ada penangguhan sama sekali. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah: “bahwa Rasulullah saw menyewa seseorang untuk menjaga kebun kurma di khaibar, lalu si laki-laki itu membawa kurma yang bagus kepada mereka, kemudian Rasulullah saw bertanya: apakah semua kurma Khaibar seperti ini? Dia menjawab: Tidak, kami membeli satau sha’ yang baik dengan dua sha’ yang buruk, dua sha’ dengan tiga sha’. Nabi berkata: jangan kamu lakukan, jual semuanya dengan harga dirham lalu kamu beli kurma yang baik dengan uang dirham.”[23]
Adapun menjual satu jenis barang dengan jenis yang lain seperti gandum dengan tepung beras, maka tidak haram jika ada tambahan namun harus ada saling serah terima dan tunai kecuali jika salah satu ganti berupa uang dan yang lain berupa makanan, maka sah untuk diakhirkan baik yang dijual berupa makanan.[24]
c.      Hikmah pengharaman riba Al-Fadhl
Terkadang sebagian orang picik dan penipu memperalat orang-orang yang lemah wawasannya dan menipu mereka dengan mengatakan satu karung gandum ini sama dengan tiga karung gandum karena kualitasnya, dan satu perhiasan yang terukir dengan ukiran indah dan trebuat dari emas sama dengan nilainya dengan dua perhiasan dan hal ini bisa meniombulkan penipuan terhadap orang lain dan memudaratkan mereka dengan sesuatu yang tidak tersembunyi.[25]
2.     Riba Al-Yadd
Adalah jual beli dengan mengakhirkan penyerahan kedua barang ganti atau salah satunya tanpa menyebutkan waktunya.
3.     Riba An-Nasi’ah
a.      Definisi Riba An-Nasi’ah
Adalah jual beli dengan mengakhirkan tempo pembayaran. Riba jenis inilah yang terkenal di zaman jahiliyah. Salah seorang dari mereka memberikan hartanya untuk orang lain sampai waktu tertentu dengan syarat dia mengambil tambahan tertentu dalam setiap bulannya sedangkan modalnya tetap dan jika sudah jatuh tempo ia akan mengambil modalnya, dan jika belum sanggup membayar, maka waktu dan bunganya akan ditambah.[26]
Riba dalam jenis transaksi ini sangat jelas dan tidak perlu diterangkan sebab semua unsur dasar riba telah terpenuhi semua seperti tambahan dari modal, dan tempo yang menyebabkan tambahan. Dan menjadikan keuntungan (interest) sebagai syarat yang terkandung dalam akad yaitu sebagai harta melahirkan harta karena adanya tempo dan tidak lain ada lagi yang lain.[27]
b.     Hukum Riba An-Nasi’ah
Keharaman riba an-nasi’ah telah ditetapkan berdasarkan nash yang pasti dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya serta ijma’ kaum muslimin. Adapun dalil Alqur’annya adalah QS. Al Baqarah (2): 275-276 dan ayat 278-279. Dalam ayat ini, Allah SWT mengungkap apa yang ada dalam transaksi riba berupa keburukan dan kekejian, kekeringan hati dan kejahatan yang akan terjadi di masyarakat, kerusakan di muka bumi, dan hancurnya manusia. Oleh sebab itu, Islam tidak pernah mengungkapkan kekejian sesuatu yang ingin dibatalkannya dari perkara jahiliyah lebih dari ungkapan-Nya terhadap transaksi riba dalam ayat ini dan beberapa ayat pada tempat lain.[28]
Adapun dalil pengharaman riba dalam sunnah antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
لعن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم اكل الرّبا ومؤكله وكاتبه و شاهديه
Rasulullah melaknat yang memakan riba, wakilnya, penulisnya, dan dua orang saksinya.

Orang Islam telah sepakat bahwa riba haram dan termasuk dosa besar sampai ada yang mengatakan riba juga tidak dihalalkan dalam syari’at-syari’at sebelumnya[29]sebagaimana firman Allah SWT.
وأخذ هم الربوا وقد نهوا عنه
Dan disebabkan oleh merteka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya. (QS. An-Nisa’(4): 161)

E.    Perbedaan antara Riba dan Jual Beli
Ada beberapa sebab mengapa Allah SWT menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba:
Pertama, dalam jual beli ada ‘iwadh (ganti) sebagai bayaran dari ‘iwadh yang lain, sedangkan dalam riba adalah tambahan (bunga) dan tidak ada gantinya.  Kedua, Allah mengharamkan riba dalam emas dan perak sebab keduanya ditetapkan sebagai alat ukur bagi menilai harga sesuatu yang bisa dimanfaatkan oleh manusia dalam kehidupan mereka. Ketiga, tidak layak bagi seorang manusia yang hanya berpikir tentang materi belaka tanpa ada perasaan ingin berbuat baik untuk saudaranya, tapi justru dia memanfaatkan hajat saudaranya.[30]
1.      Barang-Barang Yang Haram Diribakan
Barang-Barang Yang Haram Diribakan yaitu emas, perak, gandum (al-burr), gandum barley (asy-sya’ir), kurma dan garam. Hal ini merujuk  pada hadis yang dirwayatkan oleh Ubadah bin Shamit.[31]
Emas dan perak haram diribakan karena illat yang sama, yaitu karena keduanya termasuk barang berharga sehingga diharamkan riba di dalamnya, sementara barang-barang yang lain tidak diharamkan untuk melakukan transaksi riba di dalamnya,misalnya: bes, tembaga, dan bubuk mesiu, uang logam (al-fulus) jika ia laku seperti lakunya emas dan perak (an-nuqud). Riba juga tidak diharamkan dalam keseluruhan barang-barang komoditas dagang, seperti kapas, kain, kain wool, benang, dan yang lainnya.Pertukaran barang dengan barang sejenis harus memenuhi tiga syarat: sama ukurannya, secara tunai, dan serah terima sebelum berpisah. Jika jenisnya berbeda maka boleh ada kelebihan namun disyaratkan tetap harus secara tunai dan ada sistem serah terima (yadan bi yadin).[32]
Adapun mengenai empat barang yang lain, sperti gandum, gandum barley, kurma, dan garam di sini berkembang dua pendapat ulama:
Imam Syafi’i dalam qaul jadid-nya mengatakan bahwa illat pengharaman riba dalam transaksi jual beli keempat barang ini adalah karena mereka termasuk barang yang dimakan. Tidak boleh ada riba pada setiap yang bisa dimakan dan ini mencakup tiga perkara:pertama, barang tersebut berupa makanan pokok.  Kedua, berupa buah dan lauk. Ketiga, berguna untuk memperbaiki rasa, makanan, dan kesehatan badan. [33]
Dalam qaul qadim, illat pada makanan adalah karena makanan yang ditakar atau ditimbang dengan begitu tidak haram riba pada yang tidak ditakar atau ditimbang dari jenis makanan.[34]
2.      Jual beli biji-bijian sejenis dan lainnya
3.      Menjual buah-buahan dengan buah sejenis dan hal-hal yang terkait dengannya
4.      Menjual daging dengan daging sejenis dan permasalahannya
5.      Menjual cairan dengan cairan sejenis dan produk yang dihasilkan darinya
6.      Pertukaran mata uang (ash-sharf)
Selain berbeda dengan jual beli, riba juga memiliki perbedaan dengan rente. Rente adalah keuntungan yang diperoleh oleh perusahaaan bank dan sebagainya, karena jasanya meminjamkan uang untuk melancarkan perusahaan orang yang meminjam. Berkat bantuan bank yang meminjamkan uang kepadanya, perusahaannya bertambah maju, dan keuntungan yang diperolehnya menjadi bertambah banyak. Maka atas jasanya ini, bank mendapatkan bagian keuntungan-keuntungan yang layak. Berapa jumlah keuntungan yang akan menjadi hak bank itu, ditetapkan lebih dahulu.[35]
Riba adalah pemerasan kepada orang yang susah hidupnya. Adapun contoh dalam praktek riba yaitu: orang miskin yang membutuhkan pertolongan untuk memperbaiki hidupnya supaya kebutuhannya terpenuhi. Kemudian datanglah si peminjam untuk meminjamkan uangnya kepada orang miskin tersebut untuk waktu yang sudah ditentukan, tetapi karena si miskin tidak sanggup membayar hutangnya tepat waktu, maka si peminjam memberikan tempo untuk beberapa waktu, dengan ketentuan bahwa uang itu harus bertambah sehingga uang yang tadinya dipinjam. Misalnya: uang yang dipinjam Rp.100.000,-, ia harus membayar awal bulan Rp.125.000,-. Demikianlah karena di awal bulan dia juga tidak sanggup membayar, maka jumlah utangnya ditambah lagi, sehingga semakin lama hutangnya itu semakin membesar dan berlipat ganda dari jumlah yang di pinjamnya semula.[36] Di sini riba sifatnya lebih konsumtif.













KESIMPULAN

Riba merupakan salah satu praktek ekonomi yang banyak merugikan bagi orang yang tergolong lemah (miskin), dengan melaksanakan riba orang yang kaya semakin kaya dan orang yang miskin semakin miskin. Hukum melaksanakan riba itu haram, baik bagi peminjam, yang meminjam dan saksi itu semuanya berdosa.
Dan di antara semua ajaran Islam yang terpenting adalah untuk mewujudkan keadilan dan meniadakan pemanfaaatan ataupun ekploitasi dalam transaksi bisnis yang diperbolehkan atas sumber daya yang ada yang digunakan untuk melakukan perbaikan secara tidak adil (akl amwal an nas bi al batil). Al-Qur`an memerintahkan umat Islam untuk tidak menginginkan barang milik orang lain secara bi al batil atau secara tidak benar.Riba ada 4, yaitu: Riba Fadli, Riba Nasi’ah, Riba Qardh dan Riba Yad. Riba berbeda dengan jual beli. Allah SWT menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

















DAFTAR PUSTAKA

Amar,Imron Abu.Terjemah Fathul Qarib jilid 1. Kudus: Menara Kudus, 1982.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad.Fiqh Muamalat Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam. Jakarta:Amzah,  2010.
Fachruddin,Fuad Mohd. Riba Dalam Bank, Koperasi, Perseroan, Dan Asuransi. Bandung: Alma’arif, 1993.
Qardhawi,Yusuf. Terj. Samson Rahman dkk. Fatwa-fatwa Kontemporer. Pustaka al-Kautsar, 2002.
______________. Terj. Wahid Ahmadi dkk.Halal Haram Dalam Islam. Pajang: Intermedia, 2005.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung:Sinar Baru Algensindo, 2006.
Rivai, Veithzal dan Andi Bukhari. Islamic Economic. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.












[1] Veithzal Rivai dan Andi Bukhari, Islamic Economic (Bumi Aksara: Jakarta, 2009), hlm. 501.
[2] Yusuf Qardhawi, Halal Haram Dalam Islam. Terjemahan Wahid Ahmadi dkk (Intermedia: Pajang, 2005), hlm. 370.
[3] Veithzal Rivai dan Andi Bukhari, Islamic..., hlm. 501.
[4] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam (Amzah:  Jakarta, 2010), hlm. 215-216.
[5] Imron Abu Amar, Terjemah Fathul Qarib jilid 1 (Menara Kudus:Kudus, 1982), hlm. 232.
[6] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 216.
[7] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 216
[8] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 216.
[9] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 216 -217.
[10] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 217.
[11] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 217.
[12] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 217.
[13] Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer. Terjemahan Samson Rahman dkk. (Pustaka al-Kautsar: 2002) hlm.632-633.
[14] Yusuf Qardhawi, Halal..., hlm. 370.
[15] Yusuf Qardhawi, Halal..., hlm. 370
[16] Yusuf Qardhawi, Halal..., hlm. 370.
[17] Yusuf Qardhawi, Halal..., hlm. 370.
[18] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Sinar Baru Algensindo: Bandung, 2006), hlm. 290.
[19] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 218.
[20] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 218.
[21] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 218-219.
[22] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 219.
[23] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 219.
[24] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hllm. 220.
[25] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm.  221.
[26] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 222.
[27] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 222.
[28] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 222- 223.
[29] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm.  224.
[30] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 228.
[31] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 228.
[32] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 229.
[33] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm. 230.
[34]Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., hlm.  231.
[35] Fuad Mohd Fachruddin, Riba Dalam Bank, Koperasi, Perseroan, Dan Asuransi (Alma’arif: Bandung, 1993), hlm. 37.
[36] Fuad Mohd Fachruddin, Riba..., hlm. 37.