A. Pendahuluan
Saat ini,
sedang gencar-gencarnya para praktisi di bidang pendidikan membicarakan mengenai
kurikulum 2013. Kemunculan kurikulum 2013 diharapkan mampu mencetak generasi
yang bukan hanya handal dalam hal akademik namun juga memiliki sikap atau attitude
serta moral yang baik. Jika dibandingkan dengan kurikulum pendahulunya,
yakni KTSP, Kurikulum 2013 lebih menekankan pada sisi afektif sebagai the
way to reach the goal kurikulum itu
sendiri.
Dalam pandangan Islam karakter itu sama dengan
akhlak. Para nabi diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak atau
karakter menjadi penanda bahwa seseorang itu layak atau tidak layak disebut
manusia. Kelaknya inilah tugas pendidikan yaitu membantu manusia menjadi
manusia.[1]
Dalam prosesnya dapat melalui belajar.
Tugas dan kewajiban guru baik yang terkait
langsung dengan proses belajar mengajar maupun tidak terkait langsung,
sangatlah banyak dan berpengaruh pada hasil belajar mengajar.[2]
Sebagai pendidik, pengajar, pembimbing dan pelatih, guru juga dituntut
menerapkan fungsi-fungsinya yang sentral.[3]
Hakekat dari belajar adalah perubahan tingkah
laku seseorang baik afektif, kognitif maupun psikomotorik. Menjadi tugas bagi
seorang guru agar bisa menggunakan
strategi pembelajaran yang dapat mengarahkan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan yang
bermoral. Salah satunya yaitu menggunakan strategi pembelajaran afektif karena
pembelajaran afektif sangat
berhubungan dengan value (nilai),
karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, berada dalam
fikiran seseorang, yang sifatnya tersembunyi. Pandangan tentang semua itu hanya
dapat diketahui dengan melihat sikap,
perilaku, serta karakter seseorang. [4]
Maka dalam makalah ini, akan dibahas mengenai
hal-hal yang terkait dengan straegi pembelajaran afektif itu sendiri.
B.
Pengertian Strategi Pembelajaran
Afektif
Strategi pembelajaran afektif
adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif
saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi lainya. Yaitu sikap dan
keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit di ukur karena
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul
dalam kejadian behavioral yang diakibatkan dari proses pembelajaran yang
dilakukan oleh guru.[5]
Kemampuan aspek afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat
berupa tanggung jawab, kerja sama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur,
menghargai pendapat orang lain dan kemampuan mengendalikan diri. Semua
kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang
akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat.[6]
Dalam pengertian lain
disebutkan bahwa ranah afektif sangat mempengaruhi perasaan dan emosi. Sehingga
seorang anak dapat dilihat dari
bagaimana perkembanganya bukan pada apa yang telah dirasakannya. Aspek afektif
yang penting diketahui adalah sikap dan minat peserta didik melalui lima
jenjang yaitu, menerima, menjawab, menilai, organisasi, dan karakteristik
dengan suatu nilai. Dengan demikian pendekatan yang dipakai lebih bersifat
paedegogis (melihat dari bagaimana metode pengajaranya), karena mengutamakan transfer
of values.[7]
Pengajaran yang
efektif menuntut kesediaan kerjasama dari siswa. Kesediaan ini harus diperoleh:
ia tak bisa diambil secara paksa.[8]
C. Proses
Pembentukan Sikap
Proses strategi pembelajaran afektif juga disebut dengan istilah proses
pembentukan sikap, ada dua proses yang termasuk kedalam strategi pembelajaran
afektif, yaitu:
1. Pola Pembiasaan
Menurut penelitian Watson seorang psikolog cara belajar sikap yang
disebabkan dengan kebiasaan dapat menjadi dasar penanaman sikap tertentu
terhadap suatu objek. Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara
disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa
melalui proses pembiasaan misalnya, siswa yang setiap kali menerima perlakuan
yang tidak mengenakan dari guru seperti mengejek atau menyinggung perasaan
anak, maka lama-kelamaan akan timbul perasaan kesal dari anak tersebut yang
pada akhirnya dia tidak menyukai guru dan mata pelajarannya.[9]
Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan juga dilakukan oleh Skinner
melalu teorinya “operant conditioning” proses pembentukan sikap melalui
pembiasaan yang dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang
dilakukan Skinner. Skinner menekankan pada proses peneguhan respons anak,
dimana setiap kali anak menunjukan prestasi yang baik diberikan penguatan
dengan cara memberikan hadiah atau prilaku yang menyenangkan.[10]
Dari Watson dan Skinner, menurut kelompok kami dapat diambil kesimpulan
bahwa proses pembentukan sikap dengan pola pembiasaan bukan hanya melalui
proses pembiasaan yang dilakukan secara terus menerus melainkan juga memberikan
penguatan sehingga anak akan berusaha dan bersemangat untuk meningkatkan sikap
positifnya[11]
2. Modeling
Pembelajaran sikap seseorang yang dilakukan melalui proses modeling yaitu
pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh. Proses
modeling ini adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi
idolanya atau orang yang dihormatinya yang dimulai rasa kagum. Salah satu
karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk
melakukan peniruan (imitasi). Hal yang ditiru itu adalah perilaku-perilaku yang
diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang yang menjadi idolanya. Prinsip
peniruan ini yang dimaksud dengan modeling.[12]
Proses penanaman sikap anak terhadap suatu objek melalui proses modeling
pada mulanya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pemahaman
mengapa hal itu dilakukan. Misalnya, guru perlu menjelaskan mengapa kita harus
berpakaian bersih atau mengapa kita harus telaten menjaga dan memelihara
tanaman.[13]
D.
Model strategi
pembelajaran afektif
Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa
pada situasi yang mengandung konflik atau situasi yang problematis. Adapun
contoh model strategi pembentukan sikap:
1. Model Konsiderasi
Model Konsiderasi (the conderation model) dikembangkan oleh Mc.
Paul, seorang humanis. Pembelajaran moral siswa menurutnya ialah pembentukan
kepribadian bukan pengembangan intelektual. Model ini menekankan kepada
strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Pembelajaran sikap pada
dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa
hidup bersama secara harmonis, peduli, dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran seperti dibawah ini:
Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran seperti dibawah ini:
a) Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering
terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
b) Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan
hanya yang tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut,
misalnya perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.
c) Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang
terjadi.
d) Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat katagori
dari setiap respons yang diberikan siswa.
e) Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan
yang diusulkan siswa.
f) Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandangan
untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan
nilai yang dimilikinya.
g) Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan
sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri. [14]
2. Model Pengembangan Kognitif
Model pengembangan Kognitif dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini
banyak diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat
bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif
yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut
Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat, setiap tingkat
mempunyai 2 tahap :
a. Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya
sendiri. Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada pandangan secara
individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat.
Pada tingkat ini terdapat 2 tahap, yakni
· Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini perilaku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan
terjadi. Artinya, anak hanya berpikir bahwa perilaku yang benar itu adalah
perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman. Dengan demikian, setiap
peraturan harus dipatuhi agar tidak menimbulkan konsekuensi negatife.
· Tahap 2 : Orientasi instrumental
relatif
Pada tahap ini perilaku anak didasarkan kepada rasa “adil” berdasarkan
aturan permainan yang telah disepakati. Diaktakan adil manakala orang membalas
perilaku kita yang dianggap baik. Dengan demikian perilaku itu didasarkan
kepada saling menolong dan saling memberi.[15]
b. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak mendekati masalah
didasarkan pada hubungan individu-masyarakat. kesadaran dalam diri anak mulai
tumbuh bahwa perilaku itu harus sesuai dengan norma-norma dan aturan masyarakat
yang berlaku. Pada tingkat konvensional itu mempunyai 2 tahap sebagai
kelanjutan dari tahap yang ada pada tingkat prakonvensional, yaitu tahap
keselarasan interpersonal serta tahap sistem social dan kata hati.
· Tahap 3 : Keselarasan interpersonal
Pada tahap ini ditandai dengan setiap perilaku yang ditampilkan individu
didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain.
· Tahap 4 : Sistem sosial dan kata hati
Pada tahap ini perilaku individu bukan didasarkan pada dorongan untuk
memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya, tetapi didasarkan pada tuntutan
dan harapan masyarakat.
c. Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat ini prilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap
norma-norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran
sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya secara individu. Pada tingkat ini
mempunyai 2 tahap, yakni :
·
Tahap 5 : Kontrak
sosial
Pada tahap ini perilaku individu didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang
diakui oleh masyarakat. Kesadaran berperilaku tumbuh karena kesadaran untuk menerapkan
prinsip-prinsip sosial.
·
Tahap 6 : Prinsip etis
yang universal
Pada tahap terakhir, perilaku manusia didasarkan pada prinsip-prinsip
universal. Segala macam tindakan bukan hanya didasarkan sebagai kontrak sosial
yang harus dipatuhi, akan tetapi didasarkan pada suatu kewajiban sebagai manusia.[16]
3. Teknik Mengklarifikasi Nilai
Teknik mengklarifikasi nilai atau sering disingkat VCT (value
clarification technique) dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk
membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik
dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah
ada dan tertanam dalam diri siswa.
Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah proses pembelajaran yang dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memperhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa.
Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam suatu strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran moral VCT bertujuan :
Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah proses pembelajaran yang dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memperhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa.
Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam suatu strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran moral VCT bertujuan :
a. Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai.
b. Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik
tingkatannya maupun sifatnya (positif dan negatifnya) untuk kemudian dibina
kearah peningkatan dan pembetulannya.
c. Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang
rasional dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi
milik siswa.
d. Melatih siswa bagaimana cara
menilai, menerima, serta mengambil keputusan terhadap suatu persoalan dalam
hubungannya dengan kehidupan sehari-hari dimasyarakat. Langkah pembelajaran
dengan VCT dalam tujuh tahap yang dibagi dalam 3 tingkat :
1) Kebebasan memilih
Pada tingkat ini terdapat 3 tahap :
a) Memilih secara bebas
b) Memilih dari beberapa alternative
c) Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan
timbul sebagai akibat pilihannya.
2) Menghargai
Terdiri dari 2 tahap pembelajaran :
a) Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya.
b) Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di depa
umum.
3) Berbuat
Terdiri atas :
a) Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya
b) Mengulangi prilaku sesuai dengan nilai pilihannya.
VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses dialog
VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses dialog
•
Hindari penyampaian
pesan melalui proses pemberian nasihat, yaitu memberikan pesan-pesan moral
•
Jangan memaksa siswa
untuk memberi respons tertentu apabila siswa tidak menghendakinya
•
Usahakan dialog
dilaksanakan secara bebas dan terbuka, sehingga siswa akan mengungkapkan
perasaannya secara jujur dan apa adanya.
•
Dialog dilaksanakan
kepada individu, bukan pada kelompok kelas.
•
Hindari respons yang
dapat menyebabkan siswa terpojok, sehingga ia menjadi defensive
•
Tidak mendesak siswa
pada pendirian tetentu
•
Jangan mengorek alasan
siswa lebih dalam.[17]
4. Model pembentukan rasional
Dalam kehidupannya, orang
berpegang pada nilai-nilai sebagai standar bagi segala aktivitasnya.
Nilai-nilai ini ada yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan secara
eksplisit. Nilai juga bersifat multidimensional, ada yang relatif dan ada yang absolut.
Model pembentukan rasional (rational building model) bertujuan mengembangkan
kematangan pemikiran tentang nilai-nilai.
Langkah-langkah pembelajaran rasional:
a.
Mengidentifikasi
situasi dimana ada ketidakserasian atau penyimpangan tindakan.
b.
Menghimpun informasi
tambahan.
c.
Menganalisis situasi
dengan berpegang pada norma, prinsip atau ketentuan-ketentuan yang berlaku
dalam masyarakat.
d.
Mencari alternatif
tindakan dengan memikirkan akibat-akibatnya.
e.
Mengambil keputusan
dengan berpegang pada prinsip atau ketentuan-ketentuan legal dalam masyarakat.[18]
5. Model Nondirektif
Para siswa memiliki
potensi dan kemampuan untuk berkembang sendiri. Perkembangan pribadi yang utuh
berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif. Guru hendaknya menghargai
potensi dan kemampuan siswa dan berperan sebagai fasilitator/konselor dalam
pengembangan kepribadian siswa. Penggunaan model ini bertujuan membantu siswa
mengaktualisasikan dirinya.
Langkah-langkah pembelajaran nondirekif:
a. Menciptakan sesuatu yang permisif melalui ekspresi bebas.
b. Pengungkapan siswa mengemukakan perasaan, pemikiran dan masalah-masalah
yang dihadapinya, guru menerima dan memberikan klarifikasi.
c. Pengembangan pemahaman (insight), siswa mendiskusikan masalah, guru
memberrikan dorongan.
d. Perencanaan dan penentuan keputusan, siswa merencanakan dan menentukan
keputusan, guru memberikan klarifikasi.
e. Integrasi, siswa memperoleh pemahaman lebih luas dan mengembangkan
kegiatan-kegiatan positif.
E.
Kelebihan dan Kelemahan dalam
pembelajaran afektif
1.
Kelebihan
a. Dalam pelaksanaan pembelajaran afektif akan
dapat Membentuk watak serta peradaban Bangsa yang bermatabat.
b. Mengembangkan potensi peserta didik dalam hal
nilai dan sikap.
c. Menjadi sarana pembentukan manusia yang
beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggungjawab.
d. Peserta didik akan lebih mengetahui mana yang
hal yang baik dan mana yang tidak baik.
e. Peserta didik akan mengetahui hal yang
berguna atau berharga (sikap positif) dan tidak berharga atau tidak berguna
(sikap negatif).
f.
Dengan
pelaksanaannya strategi pembelajaran afektif akan memperkuat karakter bangsa
indonesia, apalagi apabila diterapkan pada anak sejak dini.
g. Dengan pelaksanaan pembelajaran afektif siswa
dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang di anggap baik dan tidak
bertentangan dengan norma- norma yang berlaku.[19]
2. Kelemahan
a.
Kurikulum yang berlaku selama ini
cendrung diarahkan untuk pmbentukan intelektual (kemampuan kognitif) dimana
anak diarahkan kepada menguasai materi tanpa memperhatikan pembentukan sikap
dan moral.
b.
Sulitnya melakukan kontrol karena
banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang.
c.
Keberhasilan pembentukan sikap tidak
bisa dievaluasi dengan segera, karena perubahan sikap dilihat dalam rentang
waktu yang cukup lama.
d.
Pengaruh kemampuan teknologi, khususnya
teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara yang berdampak
pada pembentukan karakter anak.[20]
F.
Strategi Pembelajaran Afektif dalam
Mapel PAI
Strategi
pembelajaran afektif erat kaitannya dengan nilai (value) yang dimiliki
seseorang, yang sulit diukur, karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh
dari dalam. Sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki. Maka pendidikan
sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai. Nilai adalah suatu konsep yang
berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam
dunia yang empiris.
Nilai
berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak
indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya sebagai.
Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin
dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karenanya itulah
nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria
seseorang, sehingga standar itu yang akan mewarnai perilaku sesorang.
Dengan
demikian pendidikan nilai melalui pembelajaran afektif pada dasarnya merupakan
proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan.Siswa dapat
berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak
bertentangan dengan norma-norma agama yang berlaku.
Pada
pengajaran afektif sangat sulit diukur karena masalah afektif ini bersifat
kejiwaan. Pembelajaran afektif ini perlu dilakukan pada mata pelajaran PAI
karena dalam setiap materi pelajaran memiliki nilai yang harus ditanamkan pada
siswa yaitu nilai-nilai moral.
Penerapan pembelajaran afektif dilaksanakan sesuai dengan materi dan
target nilai yang akan ditanamkan kepada siswa. Melalui pembelajaran afektif
siswa dibina kesadaran emosionalnya melalui cara kritis rasional, melalui
klarifikasi dan mampu menguji kebenaran, kebaikan keadilan, kelayakan dan
ketepatan.
Pembelajaran afektif pada mata pelajaran
PAI dapat dilaksanakan oleh seorang guru dengan menggunakan metode percontohan
dan pengaplikasian materi pembelajaran melalui learning by doing.
Penerapan pembelajaran afektif akan berhasil baik apabila ada keterbukaan dan
kesediaan atau kesiapan para siswa dalam memberikan tanggapan setiap stimulus
yang diberikan guru. Melalui metode stimulus ini siswa akan menemukan jati
dirinya sehingga guru dapat memahami potret diri siswa itu sendiri.
Oleh karena itu, maka tugas utama guru
adalah menjelajahi jenis ragam dan tigkat kesadaran nilai-nilai yang ada dalam
diri siswa melalui berbagai indikator, meluruskan nilai yang kurang baik dan
menangkal masuknya nilai yang naif dan negatif, membina, mengembangkan dan
meningkatkan nilai yang ada dalam diri siswa baik kualitatif maupun
kuantitatif, menanamkan nilai-nilai baru.
Sehingga
dalam pembelajaran afektif akan mengantarkan terbentuknya akhlak mulia dalam
diri setiap siswa sehingga akan memudahkan bagi guru dan siswa dalam mencapai
tujuan pendidikan agama islam yaitu menjadi insan kamil.[21]
G. Kesimpulan
Banyak yang beranggapan bahwa pembelajaran afektif
bukan untuk diajarkan, seperti pelajaran Biologi, Fisika ataupun Matematika.
Pembelajaran afektif merupakan pembelajaran bagaimana sikap itu terbentuk
setelah siswa memperoleh pembelajaran, oleh karena itu yang cocok untuk afektif
bukanlah pengajaran melainkan pendidikan. Afektif berhubungan sekali dengan
nilai (value) yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang
yang tumbuh dari dalam.
Dalam batas tertentu afektif dapat muncul dalam
kejadian Behavioral, akan tetapi penilaian untuk sampai pada kesimpulan yang
dapat di pertanggungjawabkan membutuhkan ktelitian dan observasi yang terus
menerus dan hal ini tidak mudah dilakukan, dalam proses pembelajaran di
sekolah, baik secara disadari maupun tidak guru dapat menanamkan sikap tertentu
kepada siswa melalui proses pembiasaan. Yang termasuk kemampuan afektif adalah
sebagai berikut :
a. Menerima (Receiving) yaitu : kesediaan untuk
memperhatikan.
b. Menanggapi (Responding), yaitu afektif
berpartisipasi.
c. Menghargai (Valuing), yaitu penghargaan
kepada benda, gejala, perbuatan tertentu.
d. Membentuk (Organization), yaitu : memadukan
nilai yang berbeda.
e. Berpribadi (Characterization by Value of value
complex), yaitu mempunyai sistem nilai yang mengendalikan perbuatan untuk
menumbuhkan gaya hidup yang mantap.
H. Referensi
Darmadi, Hamid. Kemampuan Dasar Mengajar,
Bandung: Alfabeta, 2010.
Majid,
Abdul dan Dian Andayani. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, tt.
Sagala, Syaiful. Kemampuan Profesional Guru
dan Tenega Kependidikan. Bandung: CV Alfabeta, 2011.
Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2008.
Walters, Donald. Education for Life. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.
http://moegrafis.blogspot.com/2011/05/strategi-pembelajaran-afektif.html,
diakses tanggal 8 Oktober 2014.
[1] Abdul Majid
dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya), hal. iv.
[2] Syaiful Sagala, Kemampuan Profesional Guru
dan Tenega Kependidikan, (Bandung: CV Alfabeta, 2011), hal. 14.
[3] Hamid Darmadi, Kemampuan Dasar Mengajar,
(Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 53.
[4] http://moegrafis.blogspot.com/2011/05/strategi-pembelajaran-afektif.html,
diakses tanggal 8 Oktober 2014.
[5] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 272.
[6]
Wina Sanjaya, Strategi..., hal. 272.
[7]
Wina Sanjaya, Strategi..., hal. 273.
[8] Donald Walters, Education for Life.(Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2004) hal. 69.
[9]
Wina Sanjaya, Strategi..., hal. 275.
[10]
Wina Sanjaya, Strategi..., hal.
275-276.
[11]
Wina Sanjaya, Strategi..., hal. 280.
[12]
Wina Sanjaya, Strategi..., hal. 280.
[13]
Wina Sanjaya, Strategi..., hal. 281.
[14]
Wina Sanjaya, Strategi..., hal. 283.
[15]
Wina Sanjaya, Strategi..., hal. 284.
[16]
Wina Sanjaya, Strategi..., hal. 285.
[17]
Wina Sanjaya, Strategi..., hal.287.
[18]
Wina Sanjaya, Strategi..., hal. 270.
[19]
Wina Sanjaya, Strategi..., hal. 271.
[20]
Wina Sanjaya, Strategi..., hal. 271.
[21]
Abdul Majid
dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya), hal. 117.