Sunday, February 14, 2016

KEBUDAYAAN ARAB PRA-ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
Masa sebelum Islam, khususnya kawasan jazirah  Arab, disebut masa jahiliyah. Julukan semacam ini terlahir disebabkan oleh terbelakangnya moral masyarakat Arab khususnya Arab pedalaman (badui) yang hidup menyatu dengan padang pasir dan area tanah yang gersang. Mereka pada umumnya hidup berkabilah dan nomaden.
Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis yang cukup strategis, terutama kawasan pesisir yang pada waktu itu ramai dilalui kapal-kapal pedagang Eropa yang hendak menuju India, Asia Tenggara, Cina dan sekitarnya, telah membuat kawasan ini lebih maju dari pada kawasan Arab yang lain. Makkah pada waktu itu merupakan kota dagang bertaraf internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan penghubung jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kebudayaan Arab Pra Islam
Wahyu yang diturunkan Allah Swt pada hakekatnya membawa tiga misi reformatif, yakni teologis, ritual dan sosial. Reformasi teologis ditujukan untuk menegaskan kembali ajaran iman yang benar menurut al-Qur’an, yaitu tauhid. Reformasi ritual ditujukan untuk mengajak manusia agar mewujudkan iman secara benar dalam penyembahan yang benar pula, karena orang bisa memiliki keyakinan yang benar, tetapi tidk tahu bagaimana mengekspresikan kebenaran itu. Reformasi sosial ditujukan untuk mengembalikan kehidupan manusia pada hakekat kemanusiaan.
Pada bagian ini, digambarkan situasi masyarakat Arab menjelang lahirnya islam, dengan penekanan khusus pada aspek politik, ekonomi, sosial,agama dan sastra. Dengan mengkaji aspek-aspek itu maka akan jelas bahwa Islam lahir dalam suasana politik yang didominasi oleh dua kekuatan raksasa, Sasania (Persia) di Timur dan Bizantium (Romawi) di Barat.
1.     Politik
Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa Arab pra-Islam didominasi oleh dua kerajaan besar, yaitu Bizantium dan Persia. Dua kerajaan tersebut selalu bertikai memperebutkan daerah kekuasaan. Dari sekian daerah kekuasaan yang ada, hanya Hijaz yang tidak dijajah oleh kedua kerajaan besar tersebut.[1] Karena Hijaz merupakan daerah tandus yang terbentang seperti rintangan, bagian dari jazirah Arab, terletak diantara dataran tinggi Nejd dan daerah pantai Tihamah. Disini terdapat tiga kota utama, yaitu Taif, dan dua kota bersaudaraan Mekkah dan Madinah. Penduduknya terdiri dari bangsa Arab dan bangsa Yahudi.[2]. Bangsa Arab hanya bisa loyal ke kabilahnya. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara, serta para pemimpinnya (amir) yang menjalankan politik “non-blok”.[3]
Dengan sikap politiknya yang seperti ini, justru negara-negara asing menaruh hormat terhadap bangsa Arab saat itu. Hubungan seperti itu dicatat dalam sejarah, misalnya perjanjian perdagangan yang dibuat amir Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamin, Ghassaniah, Hirah, Syam (Suriah), dan Ethopia (Abdullah,ed,2002: 12-14). Selain pusat pemerintahan di kota-kota, mereka juga tersebar dalam pemerintahan lokal di gurun-gurun pasir.
Isi perjanjian itu menyatakan bahwa perdagangan yang dilakukan di Mekkah harus mengindahkan ketertiban pelaksanaan ibadah, terutama pada bulan-bulan haram, yakni 4 bulan dari tanggal 10 Dzulhijjah sampai 10 Rabi’ul Akhir. Perjanjian itu juga menyebabkan bahwa para amir Mekkah tidak boleh mencampuradukkan persoalan politik yang timbul akibat persaingan negara disekitar Arab. Disebutkan juga bahwa sebagai imbalan dari perhatian terhadap ketentuan itu, para pedagang Mekkah, diberikan kebebasan mengimpor komoditas dari Afrika, Yaman, India, dan China. Ketika itu keadaan masyarakat sangat rapuh. Antar suku saling berperang hanya karena persoalan kecil. Perang antara Bani Bakar dan Bani Taghlib, yang berlangsung selama 40 tahun, terjadi akibat persoalan sepele, yaitu saling mengejek dalam ajang pacuan kuda Dahis (jantan) dan kuda Ghabra (betina). Demikian pula perang Bu’ath yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj.[4] Pertikaian itu terjadi dibawah pengaruh Romawi Timur Byzantium yang sangat membenci orang-orang Yahudi, karena mereka yakin bahwa kaum Yahudi lah yang telah menyiksa dan menyalib Isa al-Masih.[5] Setelah lelah berperang mereka mengundang Nabi Muhammad untuk datang ke Yathrib sebagai pendamai dintara mereka (Karim, 2. 2003: 11).
Dengan demikian, jelas bahwa Arab pra-Islam menjalankan politik non-blok yang tidak memihak kepada salah satu kekuatan raksasa (Persia-Bizantium), sehingga sistem perdagangan mereka lancar dan tidak mengalami kendala.
Disamping itu, berkaitan dengan pemilihan pemimpin atau kepala suku, sebenarnya bangsa Arab sudah memiliki nilai-nilai demokratis yang ditandai dengan dipraktikannya Syura (musyawarah) dalam pemilihan pemimpin. Mereka memilih pemimpin yang adil, bijaksana, dan menekankan senioritas serta pengalaman berdasarkan kesepakatan bersama. Menurut Husaini paling tidak seorang pemimpin harus berumur minimal 40 tahun. Pada saat itu masyarakat Arab telah memiliki dua lembaga permusyawaratn yaitu, al-Mala’ (DPR) dan Nadi al-Qaum (MPR). 
2.     Ekonomi
Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur dan bahwa ia terletak di daerah strategis sebagai lalu lintas perdagangan. Ia terletak di tengah-tengah dunia dan jalur-jalur perdagangan dunia. Oleh karena itu, perdagangan merupakan andalan bagi kehidupan perekonomian bagi mayoritas negara-negara di daerah-daerah ini.
Perekonomian orang Arab pra-Islam yang sangat bergantung pada perdagangan daripada peternakan apalagi pertanian. Mereka dikenal sebagai pengembara dan pedagang tangguh. Mereka juga sudah mengetahui jalan-jalan yang bisa dilalui untuk bepergian jauh ke negeri-negeri tetangga.[6]
Selain itu, Mekkah juga  yang terletak di dalam lembah yang dikelilingi oleh bukit-bukit barisan yang hampir menutupinya, memiliki sejarah panjang sebagai pusat agama (penyembahan berhala) Mekkah tempat letaknya Ka’bah Baitullah selalu didatangi oleh berbagai suku dari berbagai penjuru Jazirah Arab sekali dalam setahun pada bulan-bulan suci untuk haji. Kehadiran pengunjung ini mmberikan keuntungan ekonomi bagi penduduk yang mereka peroleh dari pengunjung tersebut. Mekkah sebagai pusat perdagangan menjadi kota transit perdagangan Timur-Barat. Jalan kelur masuk dari dan ke Mekkah melalui tiga jalur, yaitu sebelah selatan menuju Yaman, sebelah utara menuju Yastrib, Palestina dan Suria, dan sebelah barat menuju Laut Merah dan Jeddah.[7]
200 tahun sebelum kenabian Muhammad (610 M), masyarakat Arab sudah mengenal peralatan pertanian semi-modern seperti alat bajak, cangkul, garu dan tongkat kayu untuk menanam. Penggunaan hewan ternak seperti unta, keledai, dan sapi jantan sebagai penarik bajak dan garu serta pembawa tempat air juga sudah dikenal. Mereka telah mampu membuat bendungan raksasa yang dinamakan al-Ma’arib. Mereka juga telah mengenal teknik penyilangan pohon tertentu untuk mendapat bibit unggul.
Ada tiga sistem yang dipakai pemilik ladang atau sawah untuk mengelola pertanian mereka. Pertama, sistem sewa menyewa dengan emas atau logam, gandum, dll sebagai alat pembayarannya. Kedua, sistem bagi hasil produk, misalnya separuh untuk pemilik dan separuh untuk penggarap, dengan bibit dan ongkos dari pemilik. Ketiga, sistem pandego, seluruh modal datang dari pemilik, sementara pengairan, pemupukan dan perawatannya oleh penggarap.
Masyaraka Arab juga telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan sesama Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra-Islam dimungkinkan karena pertanian yang telah maju. Kemajuan itu ditandai adanya kegiatan ekspor impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab selatan dan Yaman pada 200 tahun menjelang Islam datang, telah mengadakan transaksi dengan India (Asia Selatan sekarang), negeri pantai Afrika, sejumlah negeri Teluk Persia, Asia Tengah, dan sekitarnya.
Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, bulu burung unta, logam, badak, dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan pedang, rempah-rempah dan dari Persia adalah intan. Para pedagang menjual komoditas itu kepada konglomerat, pejabat, tentara dan keluarga penguasa , karena komoditas tersebut mahal. Mereka membayar dengan koin yang terbuat dari perak, emas atau logam.[8]
3.     Sosial
Secara garis besar, kondisi sosial masyarakat Arab waktu dahulu bisa dikatakan merosot dan lemah (jahiliyah), kebodohan dan kegelapan mewarnai segala aspek kehidupan, kurafat tidak bisa lepas, manusia hidup layaknya binatang, wanita diperlakukan seperti benda mati dan diperjualbelikan.[9]
 Sebelum Islam lahir, penghuni Jazirah Arab dikenal dengan istilah masyarakat Jahiliyah. Disebut Jahiliyah karena masyarakat belum mengenal agama Islam sebagai tauhid yang mengajarkan norma kemanusiaan. Dengan kata lain, mereka hidup dalam “kegelapan” dan memiliki moral yang rendah, karena belum turun wahyu yang mengajarkan kebenaran.[10]
Secara geografis, Arab bertanah tandus, berdebu, berpasir, dan berbatu. Hal ini sangat mempengaruhi sifat dan perilaku rata-rata orang Arab yang mungkin terkesan keras, walaupun itu tidak semuanya. Seorang kepala suku adalah orang yang mempunyai muru’ah (kejantanan, kesempurnaan perilaku). Ia bertanggungjawab penuh atas segala yang terjadi pada anggota sukunya, bermurah hati, menjamu tamu, baik yang resmi menjadi utusan dari suku lain atau tamu biasa, yang datang dari kampungnya, dan menolong orang lain yang membutuhkan bantuannya, bahkan sekalipun musuh bebuyutan yang datang untuk bertamu tetap dijamu dan dihormati. Strategi perang mereka terdiri dari lima pasukan inti, yang disebut al-Khamis, terdiri dari lima sayap, yaitu: 1.) al-Muqaddam, yakni pasukan pembawa bendera. 2.) al-Maimanah, sayap kanan, dan 3.) al-Maisarah, sayap kiri. 4.) al-Saqoya, yakni pasukan pembawa obat-obatan dan makanan, dan sukarelawan untuk menyiapkan makanan, memperbaiki senjata, dan merawat pasukan yang cidera dan sakit. 5.) al-Qalb, yaitu pasukan inti yang berada ditengah-tengah pasukan, dipimpin langsung oleh panglima perang atau kepala suku.[11]
Seorang kepala suku juga mempunyai hak untuk ditaati seluruh anggota. Bila terdapat salah satu anggota suku yang melanggar peraturan, maka kepala suku berhak mengusirnya dari suku yang dipimpinnya. Fatanisme kesukuan mereka juga sangat kuat. Namun demikian, kesenjangan perekonomian di antara mereka sangat mencolok. Apabila panglima perang kalah atau para pedagang bangkrut dan tidak dapat mengembalikan modal, mereka diusir dan diisolasi ke gurun pasir dengan tanpa perbekalan makanan hingga akhirnya mereka meninggal dunia.[12]
Ada pula kebiasaan diantara mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena takut aib dan karena kemunafikan. Atau ada juga yang membunuh anak laki-lakinya, karena takut miskin dan lapar. Disini kami tidak bisa menggambarkannya secara detail kecuali dengan ungkapan-ungkapan yang keji, buruk, dan menjijikkan.[13]
Dalam masyarakat Arab, para wanita dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan hubungan poliandri. Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.[14]
Setelah Islam datang, Islam memberikan pengaruh yang sangat berarti mengenai tata sosial yang baik dan berperikemanusiaan. Walaupun kondisi sosial Arab tidak semuanya jelek, namun banyak hal yang diperbaiki Islam yang berkaitan dengan tata kehidupan sosial. Islam mengarahkan dan memberikan world view (pandangan dunia) yang luas kepada masyarakat Arab tentang arti kemanusiaan, kesamaan, keberagaman, dan penghargaan terhadap gender.[15]

4.       Sastra
Karya sastra Arab pra-Islam (sastra jahiliyah) adalah cermin langsung bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab pra-Islam tersebut, mulai dari hal-hal yang pribadi sampai persoalan masyarakat umum, baik yang masih murni maupun yang telah dipengaruhi oleh bangsa asing, seperti Persia, Yunani, India, dan Romawi.[16]
Bahasa dan kandungan syair Arab jahiliyah sangat sederhana, padat, jujur, dan lugas. Namun demikian, emosi dan rasa bahasa serta nilai sastranya tetap tinggi, karena imajinasi dan simbol yang dipakai sangat baik dan mengenai sasaran. Meskipun demikian, ada beberapa syair Arab jahiliyah yang sangat remang-remang atau sangat imajiner dan simbolis. Syair seperti ini digubah dengan sangat padat dan sering menggunakan simbol yang samar, sehingga sulit dicerna oleh kalangan umum. Kalangan yang mampu mengapresiasi syair imajiner sangat tertentu dan biasanya memiliki pengetahuan sejarah dan latar belakang sang penyair.[17]
Sejarah sastra Arab mencatat banyak penyair-penyair mu’allaqat, di antaranya adalah tujuh orang yaitu terkenal dengan sebutan al-Sab’ al-Mu’allaqat (seven suspended poems). Mereka adalah Ibn al-Qais bin Haris al-Kindi (500-540), Zuhair bin Abi Sulma al-Muzani (530-627), al-Nabigah al-Zubiani (W. sekitar 604), Labid bin Rabi’ah al-Amiri (560-661), Tarafah bin Abdul Bakri (543-569), Antarah bin Syaddad al-Absi (525-615), dan al-Haris bin Hillizah al-Bakri (W. sekitar 580). Sementara itu karya sastra dalam bentuk puisi juga banyak terdapat di kalangan bangsa Arab yang disebut dengan Diwan al-Arab (Public Registration of the Arab).[18]
Ketika Islam datang, pemeluknya juga dikenal dengan kemahirannya dalam membuat syair dan puisi. Islam tidak begitu saja melahirkan kemampuan syair, tapi ia merupakan hasil interaksi yang berkesinambungan, sehingga menghasilkan sebuah hasil karya syair dan puisi yang lebih bernilai serta mengandung unsur spiritual teologis dan kemanusiaan yang amat jelas.[19]
5.       Agama
Sebelum Islam lahir, di Jazirah Arab telah berkembang jenis agama, baik agama asli maupun agama yang berasal dari pengaruh wilayah lain, seperti Yahudi dan Nasrani. Namun demikian, data sejarah menunjukkan bahwa di Mekah, kedua agama tersebut tidak meninggalkan pengaruh yang cukup berarti. Masyarakat Arab mempercayai Paganisme, yakni penyembahan tehadap berhala.[20]
Masyarakat Arab sesungguhnya telah memiliki bentuk kepercayaan asli yang bersifat sederhana, sesederhana kehidupan mereka. Kepercayaan itu merupakan gabungan antara nenek moyang, vetieisme (kepercayaan yang diwujudkan dalam bentuk penyembahan terhadap benda seperti batu dan kayu), toteisme (pengkultusan terhadap hewan atau tumbuh-tubuhan yang dianggap suci), dan animisme (kepercayaan terhadap roh baik dan jahat yang berpengaruh dalam kehidupan manusia. Namun demikian, tidak sedikit dikalangan mereka yang menganut ajaran Hanif dari Nabi Ibrahim, seperti paman Nabi, yaitu Abu Thalib. Meskipun bangsa Arab sebelumnya pernah jaya baik secara politik, ekonomi, dan budaya, namun mereka memiliki kerendahan moral, sehingga kelompok penganut ajaran Hanif menantikan seorang pemimpin besar yang akan membawa mereka keluar dari keterpurukan moral dan akhlaq.[21]
Kemudian Islam datang untuk membawa dan mengarahkan bangsa Arab untuk memiliki keimanan yang proporsional kepada Sang Pencipta. Kepercayaan mereka yang pada mulanya terarahkan pada benda-benda hasil karya tangan manusia dan beberapa jenis makhluk lainnya, kemudian Islam meluruskan keimanan dan aqidah mereka secara proporsional yang tidak bisa disamakan dengan semua jenis makhluk di dunia. Di sinilah elan vital Islam dalam memberikan pemahaman yang benar tentang arti tauhid, sehingga hal itu kemudian menjadi ruh dan semangat kaum muslim untuk mewujudkan dirinya sebagai umat yang terbaik, rahmat bagi sekalian alam.[22]

BAB III
KESIMPULAN
Dalam kebudayaan Arab pra-Islam telah dibahas diatas tentang aspek politik, ekonomi, sosial, agama dan sastra. Pada aspek politik bahwa Arab pra-Islam menjalankan politik non-blok yang tidak memihak kepada salah satu kekuatan raksasa (Persia-Bizantium), sehingga sistem perdagangan mereka lancar dan tidak mengalami kendala.
Sedangkan dari sisi perekonomian, orang Arab pra-Islam sangat bergantung pada perdagangan daripada peternakan apalagi pertanian. Mereka dikenal sebagai pengembara dan pedagang tangguh. Mereka juga sudah mengetahui jalan-jalan yang bisa dilalui untuk bepergian jauh ke negeri-negeri tetangga.
Secara geografis, Arab bertanah tandus, berdebu, berpasir, dan berbatu. Hal ini sangat mempengaruhi sifat dan perilaku rata-rata orang Arab yang mungkin terkesan keras, walaupun itu tidak semuanya.
Karya sastra Arab pra-Islam (sastra jahiliyah) adalah cermin langsung bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab pra-Islam tersebut, mulai dari hal-hal yang pribadi sampai persoalan masyarakat umum, baik yang masih murni maupun yang telah dipengaruhi oleh bangsa asing. Selain itu sebelum Islam lahir, di Jazirah Arab telah berkembang jenis agama, baik agama asli maupun agama yang berasal dari pengaruh wilayah lain, seperti Yahudi dan Nasrani. Masyarakat Arab juga mempercayai Paganisme, yakni penyembahan tehadap berhala.



[1]  Aden Wijaya, Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), h. 6-7.
[2] J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagma Madinah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 26.
[4] Aden Wijaya, Pemikiran, h. 8.
[5] J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip, h. 31.
[7] J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip, h. 27-28.
[8] Aden Wijaya, Pemikiran, h. 11.
[9] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), h. 17.
[10] Aden Wijaya, Pemikiran, h. 13.
[11] Aden Wijaya, Pemikiran, h. 13-14
[12]  Aden Wijaya, Pemikiran, h. 14.
[15] Aden Wijaya, Pemikiran, h. 15.
[16] Aden Wijaya, Pemikiran, h. 16.
[17] Aden Wijaya, Pemikiran, h. 16.
[18] Aden Wijaya, Pemikiran, h. 16-17
[19] Aden Wijaya, Pemikiran, h. 17.
[20] Aden Wijaya, Pemikiran, h. 17
[21] Aden Wijaya, Pemikiran, h. 17.
[22] Aden Wijaya, Pemikiran, h. 17-18