BAB I
PENDAHULUAN
Masa sebelum Islam, khususnya kawasan
jazirah Arab, disebut masa jahiliyah.
Julukan semacam ini terlahir disebabkan oleh terbelakangnya moral
masyarakat Arab khususnya Arab pedalaman (badui) yang hidup menyatu dengan
padang pasir dan area tanah yang gersang. Mereka pada umumnya hidup berkabilah
dan nomaden.
Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah
memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis yang cukup strategis, terutama
kawasan pesisir yang pada waktu itu ramai dilalui kapal-kapal pedagang Eropa
yang hendak menuju India, Asia Tenggara, Cina dan sekitarnya, telah membuat
kawasan ini lebih maju dari pada kawasan Arab yang lain. Makkah pada waktu itu
merupakan kota dagang bertaraf internasional. Hal ini diuntungkan oleh
posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan
penghubung jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kebudayaan
Arab Pra Islam
Wahyu yang
diturunkan Allah Swt pada hakekatnya membawa tiga misi reformatif, yakni
teologis, ritual dan sosial. Reformasi teologis ditujukan untuk menegaskan
kembali ajaran iman yang benar menurut al-Qur’an, yaitu tauhid. Reformasi
ritual ditujukan untuk mengajak manusia agar mewujudkan iman secara benar dalam
penyembahan yang benar pula, karena orang bisa memiliki keyakinan yang benar,
tetapi tidk tahu bagaimana mengekspresikan kebenaran itu. Reformasi sosial
ditujukan untuk mengembalikan kehidupan manusia pada hakekat kemanusiaan.
Pada bagian ini,
digambarkan situasi masyarakat Arab menjelang lahirnya islam, dengan penekanan
khusus pada aspek politik, ekonomi, sosial,agama dan sastra. Dengan mengkaji
aspek-aspek itu maka akan jelas bahwa Islam lahir dalam suasana politik yang
didominasi oleh dua kekuatan raksasa, Sasania (Persia) di Timur dan Bizantium
(Romawi) di Barat.
1. Politik
Sebagaimana
dikemukakan diatas bahwa Arab pra-Islam didominasi oleh dua kerajaan besar,
yaitu Bizantium dan Persia. Dua kerajaan tersebut selalu bertikai memperebutkan
daerah kekuasaan. Dari sekian daerah kekuasaan yang ada, hanya Hijaz yang tidak
dijajah oleh kedua kerajaan besar tersebut.[1]
Karena Hijaz merupakan daerah tandus yang terbentang seperti rintangan, bagian
dari jazirah Arab, terletak diantara dataran tinggi Nejd dan daerah pantai
Tihamah. Disini terdapat tiga kota utama, yaitu Taif, dan dua kota bersaudaraan
Mekkah dan Madinah. Penduduknya terdiri dari bangsa Arab dan bangsa Yahudi.[2]. Bangsa Arab hanya bisa loyal ke
kabilahnya. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan
politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara,
serta para pemimpinnya (amir) yang menjalankan politik “non-blok”.[3]
Dengan sikap
politiknya yang seperti ini, justru negara-negara asing menaruh hormat terhadap
bangsa Arab saat itu. Hubungan seperti itu dicatat dalam sejarah, misalnya
perjanjian perdagangan yang dibuat amir Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah,
Tamin, Ghassaniah, Hirah, Syam (Suriah), dan Ethopia (Abdullah,ed,2002: 12-14).
Selain pusat pemerintahan di kota-kota, mereka juga tersebar dalam pemerintahan
lokal di gurun-gurun pasir.
Isi perjanjian
itu menyatakan bahwa perdagangan yang dilakukan di Mekkah harus mengindahkan
ketertiban pelaksanaan ibadah, terutama pada bulan-bulan haram, yakni 4 bulan dari
tanggal 10 Dzulhijjah sampai 10 Rabi’ul Akhir. Perjanjian itu juga menyebabkan
bahwa para amir Mekkah tidak boleh mencampuradukkan persoalan politik yang
timbul akibat persaingan negara disekitar Arab. Disebutkan juga bahwa sebagai
imbalan dari perhatian terhadap ketentuan itu, para pedagang Mekkah, diberikan
kebebasan mengimpor komoditas dari Afrika, Yaman, India, dan China. Ketika itu
keadaan masyarakat sangat rapuh. Antar suku saling berperang hanya karena
persoalan kecil. Perang antara Bani Bakar dan Bani Taghlib, yang berlangsung
selama 40 tahun, terjadi akibat persoalan sepele, yaitu saling mengejek dalam
ajang pacuan kuda Dahis (jantan) dan
kuda Ghabra (betina). Demikian pula
perang Bu’ath yang terjadi antara
suku Aus dan Khazraj.[4]
Pertikaian itu terjadi dibawah pengaruh Romawi Timur Byzantium yang sangat
membenci orang-orang Yahudi, karena mereka yakin bahwa kaum Yahudi lah yang
telah menyiksa dan menyalib Isa al-Masih.[5]
Setelah lelah berperang mereka mengundang Nabi Muhammad untuk datang ke Yathrib
sebagai pendamai dintara mereka (Karim, 2. 2003: 11).
Dengan demikian,
jelas bahwa Arab pra-Islam menjalankan politik non-blok yang tidak memihak
kepada salah satu kekuatan raksasa (Persia-Bizantium), sehingga sistem
perdagangan mereka lancar dan tidak mengalami kendala.
Disamping itu, berkaitan dengan
pemilihan pemimpin atau kepala suku, sebenarnya bangsa Arab sudah memiliki
nilai-nilai demokratis yang ditandai dengan dipraktikannya Syura (musyawarah) dalam pemilihan pemimpin. Mereka memilih
pemimpin yang adil, bijaksana, dan menekankan senioritas serta pengalaman
berdasarkan kesepakatan bersama. Menurut Husaini paling tidak seorang pemimpin
harus berumur minimal 40 tahun. Pada saat itu masyarakat Arab telah memiliki
dua lembaga permusyawaratn yaitu, al-Mala’
(DPR) dan Nadi al-Qaum (MPR).
2. Ekonomi
Sebagian
besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang
terkenal subur dan bahwa ia terletak di daerah strategis sebagai lalu lintas
perdagangan. Ia terletak di tengah-tengah dunia dan jalur-jalur perdagangan
dunia. Oleh karena itu, perdagangan merupakan andalan bagi kehidupan
perekonomian bagi mayoritas negara-negara di daerah-daerah ini.
Perekonomian orang Arab pra-Islam
yang sangat bergantung pada perdagangan daripada peternakan apalagi pertanian. Mereka
dikenal sebagai pengembara dan pedagang tangguh. Mereka juga sudah mengetahui
jalan-jalan yang bisa dilalui untuk bepergian jauh ke negeri-negeri tetangga.[6]
Selain
itu, Mekkah juga yang terletak di dalam
lembah yang dikelilingi oleh bukit-bukit barisan yang hampir menutupinya,
memiliki sejarah panjang sebagai pusat agama (penyembahan berhala) Mekkah
tempat letaknya Ka’bah Baitullah selalu didatangi oleh berbagai suku dari
berbagai penjuru Jazirah Arab sekali dalam setahun pada bulan-bulan suci untuk
haji. Kehadiran pengunjung ini mmberikan keuntungan ekonomi bagi penduduk yang
mereka peroleh dari pengunjung tersebut. Mekkah sebagai pusat perdagangan
menjadi kota transit perdagangan Timur-Barat. Jalan kelur masuk dari dan ke Mekkah
melalui tiga jalur, yaitu sebelah selatan menuju Yaman, sebelah utara menuju
Yastrib, Palestina dan Suria, dan sebelah barat menuju Laut Merah dan Jeddah.[7]
200 tahun sebelum kenabian
Muhammad (610 M), masyarakat Arab sudah mengenal peralatan pertanian semi-modern
seperti alat bajak, cangkul, garu dan tongkat kayu untuk menanam. Penggunaan
hewan ternak seperti unta, keledai, dan sapi jantan sebagai penarik bajak dan
garu serta pembawa tempat air juga sudah dikenal. Mereka telah mampu membuat
bendungan raksasa yang dinamakan al-Ma’arib.
Mereka juga telah mengenal teknik penyilangan pohon tertentu untuk mendapat
bibit unggul.
Ada tiga sistem yang
dipakai pemilik ladang atau sawah untuk mengelola pertanian mereka. Pertama,
sistem sewa menyewa dengan emas atau logam, gandum, dll sebagai alat
pembayarannya. Kedua, sistem bagi hasil produk, misalnya separuh untuk pemilik
dan separuh untuk penggarap, dengan bibit dan ongkos dari pemilik. Ketiga,
sistem pandego, seluruh modal datang dari pemilik, sementara pengairan,
pemupukan dan perawatannya oleh penggarap.
Masyaraka Arab juga
telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan sesama Arab, tetapi juga
dengan non-Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra-Islam dimungkinkan karena
pertanian yang telah maju. Kemajuan itu ditandai adanya kegiatan ekspor impor
yang mereka lakukan. Para pedagang Arab selatan dan Yaman pada 200 tahun
menjelang Islam datang, telah mengadakan transaksi dengan India (Asia Selatan
sekarang), negeri pantai Afrika, sejumlah negeri Teluk Persia, Asia Tengah, dan
sekitarnya.
Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman adalah dupa,
kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur.
Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, bulu burung unta, logam,
badak, dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan pedang, rempah-rempah dan
dari Persia adalah intan. Para pedagang menjual komoditas itu kepada
konglomerat, pejabat, tentara dan keluarga penguasa , karena komoditas tersebut
mahal. Mereka membayar dengan koin yang terbuat dari perak, emas atau logam.[8]
3. Sosial
Secara
garis besar, kondisi sosial masyarakat Arab waktu dahulu bisa dikatakan merosot
dan lemah (jahiliyah), kebodohan dan kegelapan mewarnai segala aspek kehidupan,
kurafat tidak bisa lepas, manusia hidup layaknya binatang, wanita diperlakukan
seperti benda mati dan diperjualbelikan.[9]
Sebelum Islam lahir, penghuni Jazirah Arab
dikenal dengan istilah masyarakat Jahiliyah. Disebut Jahiliyah karena
masyarakat belum mengenal agama Islam sebagai tauhid yang mengajarkan norma
kemanusiaan. Dengan kata lain, mereka hidup dalam “kegelapan” dan memiliki
moral yang rendah, karena belum turun wahyu yang mengajarkan kebenaran.[10]
Secara
geografis, Arab bertanah tandus, berdebu, berpasir, dan berbatu. Hal ini sangat
mempengaruhi sifat dan perilaku rata-rata orang Arab yang mungkin terkesan
keras, walaupun itu tidak semuanya. Seorang kepala suku adalah orang yang
mempunyai muru’ah (kejantanan, kesempurnaan perilaku). Ia
bertanggungjawab penuh atas segala yang terjadi pada anggota sukunya, bermurah
hati, menjamu tamu, baik yang resmi menjadi utusan dari suku lain atau tamu
biasa, yang datang dari kampungnya, dan menolong orang lain yang membutuhkan
bantuannya, bahkan sekalipun musuh bebuyutan yang datang untuk bertamu tetap
dijamu dan dihormati. Strategi perang mereka terdiri dari lima pasukan inti,
yang disebut al-Khamis, terdiri dari lima sayap, yaitu: 1.) al-Muqaddam,
yakni pasukan pembawa bendera. 2.) al-Maimanah, sayap kanan, dan 3.) al-Maisarah,
sayap kiri. 4.) al-Saqoya, yakni pasukan pembawa obat-obatan dan
makanan, dan sukarelawan untuk menyiapkan makanan, memperbaiki senjata, dan
merawat pasukan yang cidera dan sakit. 5.) al-Qalb, yaitu pasukan inti
yang berada ditengah-tengah pasukan, dipimpin langsung oleh panglima perang atau
kepala suku.[11]
Seorang
kepala suku juga mempunyai hak untuk ditaati seluruh anggota. Bila terdapat
salah satu anggota suku yang melanggar peraturan, maka kepala suku berhak
mengusirnya dari suku yang dipimpinnya. Fatanisme kesukuan mereka juga sangat kuat.
Namun demikian, kesenjangan perekonomian di antara mereka sangat mencolok.
Apabila panglima perang kalah atau para pedagang bangkrut dan tidak dapat
mengembalikan modal, mereka diusir dan diisolasi ke gurun pasir dengan tanpa
perbekalan makanan hingga akhirnya mereka meninggal dunia.[12]
Ada pula
kebiasaan diantara mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena
takut aib dan karena kemunafikan. Atau ada juga yang membunuh anak
laki-lakinya, karena takut miskin dan lapar. Disini kami tidak bisa
menggambarkannya secara detail kecuali dengan ungkapan-ungkapan yang keji,
buruk, dan menjijikkan.[13]
Dalam
masyarakat Arab, para wanita
dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih dalam
pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima
orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan hubungan poliandri. Perzinahan mewarnai setiap
lapisan masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori
keturunan.[14]
Setelah
Islam datang, Islam memberikan pengaruh yang sangat berarti mengenai tata
sosial yang baik dan berperikemanusiaan. Walaupun kondisi sosial Arab tidak
semuanya jelek, namun banyak hal yang diperbaiki Islam yang berkaitan dengan
tata kehidupan sosial. Islam mengarahkan dan memberikan world view (pandangan
dunia) yang luas kepada masyarakat Arab tentang arti kemanusiaan, kesamaan,
keberagaman, dan penghargaan terhadap gender.[15]
4. Sastra
Karya
sastra Arab pra-Islam (sastra jahiliyah) adalah cermin langsung bagi
keseluruhan kehidupan bangsa Arab pra-Islam tersebut, mulai dari hal-hal yang
pribadi sampai persoalan masyarakat umum, baik yang masih murni maupun yang
telah dipengaruhi oleh bangsa asing, seperti Persia, Yunani, India, dan Romawi.[16]
Bahasa
dan kandungan syair Arab jahiliyah sangat sederhana, padat, jujur, dan lugas.
Namun demikian, emosi dan rasa bahasa serta nilai sastranya tetap tinggi,
karena imajinasi dan simbol yang dipakai sangat baik dan mengenai sasaran.
Meskipun demikian, ada beberapa syair Arab jahiliyah yang sangat remang-remang
atau sangat imajiner dan simbolis. Syair seperti ini digubah dengan sangat
padat dan sering menggunakan simbol yang samar, sehingga sulit dicerna oleh
kalangan umum. Kalangan yang mampu mengapresiasi syair imajiner sangat tertentu
dan biasanya memiliki pengetahuan sejarah dan latar belakang sang penyair.[17]
Sejarah
sastra Arab mencatat banyak penyair-penyair mu’allaqat, di antaranya
adalah tujuh orang yaitu terkenal dengan sebutan al-Sab’ al-Mu’allaqat
(seven suspended poems). Mereka adalah Ibn al-Qais bin Haris al-Kindi
(500-540), Zuhair bin Abi Sulma al-Muzani (530-627), al-Nabigah al-Zubiani (W.
sekitar 604), Labid bin Rabi’ah al-Amiri (560-661), Tarafah bin Abdul Bakri
(543-569), Antarah bin Syaddad al-Absi (525-615), dan al-Haris bin Hillizah
al-Bakri (W. sekitar 580). Sementara itu karya sastra dalam bentuk puisi juga
banyak terdapat di kalangan bangsa Arab yang disebut dengan Diwan al-Arab
(Public Registration of the Arab).[18]
Ketika
Islam datang, pemeluknya juga dikenal dengan kemahirannya dalam membuat syair
dan puisi. Islam tidak begitu saja melahirkan kemampuan syair, tapi ia
merupakan hasil interaksi yang berkesinambungan, sehingga menghasilkan sebuah
hasil karya syair dan puisi yang lebih bernilai serta mengandung unsur
spiritual teologis dan kemanusiaan yang amat jelas.[19]
5. Agama
Sebelum
Islam lahir, di Jazirah Arab telah berkembang jenis agama, baik agama asli
maupun agama yang berasal dari pengaruh wilayah lain, seperti Yahudi dan
Nasrani. Namun demikian, data sejarah menunjukkan bahwa di Mekah, kedua agama
tersebut tidak meninggalkan pengaruh yang cukup berarti. Masyarakat Arab
mempercayai Paganisme, yakni penyembahan tehadap berhala.[20]
Masyarakat
Arab sesungguhnya telah memiliki bentuk kepercayaan asli yang bersifat
sederhana, sesederhana kehidupan mereka. Kepercayaan itu merupakan gabungan
antara nenek moyang, vetieisme (kepercayaan yang diwujudkan dalam bentuk
penyembahan terhadap benda seperti batu dan kayu), toteisme (pengkultusan
terhadap hewan atau tumbuh-tubuhan yang dianggap suci), dan animisme
(kepercayaan terhadap roh baik dan jahat yang berpengaruh dalam kehidupan
manusia. Namun demikian, tidak sedikit dikalangan mereka yang menganut ajaran Hanif
dari Nabi Ibrahim, seperti paman Nabi, yaitu Abu Thalib. Meskipun bangsa
Arab sebelumnya pernah jaya baik secara politik, ekonomi, dan budaya, namun
mereka memiliki kerendahan moral, sehingga kelompok penganut ajaran Hanif
menantikan seorang pemimpin besar yang akan membawa mereka keluar dari
keterpurukan moral dan akhlaq.[21]
Kemudian
Islam datang untuk membawa dan mengarahkan bangsa Arab untuk memiliki keimanan
yang proporsional kepada Sang Pencipta. Kepercayaan mereka yang pada mulanya
terarahkan pada benda-benda hasil karya tangan manusia dan beberapa jenis
makhluk lainnya, kemudian Islam meluruskan keimanan dan aqidah mereka secara
proporsional yang tidak bisa disamakan dengan semua jenis makhluk di dunia. Di
sinilah elan vital Islam dalam memberikan pemahaman yang benar tentang
arti tauhid, sehingga hal itu kemudian menjadi ruh dan semangat kaum muslim
untuk mewujudkan dirinya sebagai umat yang terbaik, rahmat bagi sekalian alam.[22]
BAB III
KESIMPULAN
Dalam kebudayaan Arab
pra-Islam telah dibahas diatas tentang aspek politik, ekonomi, sosial, agama
dan sastra. Pada
aspek politik bahwa Arab pra-Islam menjalankan politik non-blok yang tidak
memihak kepada salah satu kekuatan raksasa (Persia-Bizantium), sehingga sistem
perdagangan mereka lancar dan tidak mengalami kendala.
Sedangkan
dari sisi perekonomian,
orang Arab pra-Islam sangat bergantung pada perdagangan daripada peternakan
apalagi pertanian. Mereka dikenal sebagai pengembara dan pedagang tangguh.
Mereka juga sudah mengetahui jalan-jalan yang bisa dilalui untuk bepergian jauh
ke negeri-negeri tetangga.
Secara
geografis, Arab bertanah tandus, berdebu, berpasir, dan berbatu. Hal ini sangat
mempengaruhi sifat dan perilaku rata-rata orang Arab yang mungkin terkesan
keras, walaupun itu tidak semuanya.
Karya
sastra Arab pra-Islam (sastra jahiliyah) adalah cermin langsung bagi keseluruhan
kehidupan bangsa Arab pra-Islam tersebut, mulai dari hal-hal yang pribadi
sampai persoalan masyarakat umum, baik yang masih murni maupun yang telah
dipengaruhi oleh bangsa asing.
Selain itu sebelum Islam lahir, di Jazirah Arab telah berkembang
jenis agama, baik agama asli maupun agama yang berasal dari pengaruh wilayah
lain, seperti Yahudi dan Nasrani.
Masyarakat
Arab juga
mempercayai Paganisme, yakni penyembahan tehadap berhala.
[2] J. Suyuthi
Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagma Madinah, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 26.
[9]
Khoiriyah, Reorientasi
Wawasan Sejarah Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), h. 17.
[10]
Aden Wijaya, Pemikiran,
h. 13.
[13]
http://newsae65.blogspot.com/2012/10/sejarah-kebudayaan-islam-arab-pra-islam.html,
diakses pada tanggal 24 Maret 2014.
[14] http://newsae65.blogspot.com/2012/10/sejarah-kebudayaan-islam-arab-pra-islam.html,
diakses pada tanggal 24 Maret 2014.
[15] Aden Wijaya, Pemikiran,
h. 15.
[22] Aden Wijaya, Pemikiran,
h. 17-18