PENDAHULUAN
Sejarah
perkembangan masjid erat kaitannya dengan perluasan wilayah kekuasaan Islam dan
pembangunan kota-kota baru. Sejarah mencatat bahwa pada masa permulaan
perkembangan Islam ke
berbagai negeri, bila umat Islam menguasai suatu daerah atau wilayah baru, baik
melalui peperangan atau jalan damai, maka salah satu sarana untuk kepentingan
umum yang dibuat pertama kali adalah masjid. Masjid menjadi ciri khas dari
suatu negeri atau kota Islam, disamping merupakan lambang dan cermin kecintaan
umat Islam kepada Tuhannya, juga sekaligus menjadi bukti tingkat perkembangan
kebudayaannya.
Keadaan
bangunan masjid, berikut sarana dan perlengkapannya, yang tampak dalam banyak masjid di
berbagai belahan dunia tidak terwujud begitu saja, tetapi berproses dari bentuk
dan kondisi yang sangat sederhana sampai pada bentuk yang dapat dikatakan
sempurna. Karena itu, bentuk, wujud dan corak bangunan masjid dari masa ke masa
mengalami perubahan, berbeda antara satu masa dengan masa yang lainnya. Mulai bentuk
arsitek pada masa Rasulullah yang masih dibilang sangat sederhana, kemudian
seiring berjalannya waktu mengalami perubahan dan perkembangan mulai dari masa
khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin khattab, Usman bin ‘Affan dan Ali bin
Abi Tholib. Dari perubahan dan
perbedaan itu terkait dengan proses waktu persentuhan Islam dan penganutnya
dengan seni dan budayanya yang beragam.
Maka dari itu dalam makalah ini kami akan membahas tentang perkembangan
arsitektur rumah ibadah pada masa khullafaurrasyidin.
BAB II
PEMBAHASAN
Arsirektur
dalam Islam dimulai dari tumbuhnya masjid. Pada masa khulafaurrasyidin,
perubahan dan perkembangan masjid itu, lebih terlihat pada perubahan dan
perkembangan itu terjadi, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan jumlah
penganut umat Islam yang
terus membesar dan meluas, melampaui jazirah
Arab. Perubahan dan perkembangan fisik bangunan masjid yang terjadi, pada masa
khulafaurrasyidin antara lain:
A.
Perkembangan
Arsitektur Rumah Ibadah
1.
Masjid al-Haram
Adalah salah satu dari
tiga masjid yang paling mulia dalam Islam. Masjid ini
dibangun di sekitar Ka’bah
yang dibangun oleh nabi Ibrahim‘Alaihis Salam.[1] Khalifah Umar bin
Khattab
pada tahun ke-17 H mulai
memperluas masjid yang pada masa Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa sallam masih sangat
sederhana. Tuntutan perluasan bangunan masjid sepeninggal Rasulullah, dari waktu ke
waktu senantiasa mengalami perkembangan. Dengan sedikit penyempurnaan, yaitu
berupa pembuatan benteng atau dinding rendah, tidak sampai setinggi badan.[2] Perluasan itu juga dilakukan dengan cara
membeli rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Masjid ini dikelilingi dengan
tembok batu bata setinggi kira-kira 1,5 meter. Kemudian pada masa khalifah
Usman bin Affan (26 H) Masjid
al-Haram diperluas kembali.[3] Perluasan daerah masjid
dan sedikit mengalami penyempurnaan.
2.
Masjid Madinah (Nabawi)
Masjid ini didirikan
oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa Sallam pada saat pertama kali tiba di
Madinah dari perjalanan hijrahnya. Masjid tersebut didirikan di tempat ketika unta Rasul
berhenti.
Dinding masjid nabawi pada masa Nabi Muhammad berukuran
setinggi tegak dan terbuat dari susunan bingkah-bingkah tanah liat yang
dikeringkan. Arah kiblat pada masa-masa permulaan menghadap baitullah di
yarussalem hingga pintu masuk berada pada penjuru dinding bagian selatan,
berjumlah tiga buah pintu. Belakangan
arah kiblat dirubah menghadap baitullah di mekkah hingga pintu-pintu masuk pada
dinding selatan itu ditutup. Pintu masuk kini, berjumlah tiga buah, berada pada
penjuru dinding bagian utara. Penjuru dinding bagian selatan itu ditinggikan,
begitupun penjuru dinding kiri-kanannya seukuran sepuluh hasta, lalu diatap
dengan anyaman pelepah tamar. Tiang-tiang yang menopang atap, dan begitupun
kasau-kasau atap, terbikin dari pohon tamar.
Baitullah yang ada di Yerussalem itu dibangun
pada masa dulu oleh raja (Nabi) Sulaiman (973-933). Diatas
bukit zion, sedangkan baitullah yang di Mekkah itu
dibangun pada masa dulu oleh Nabi Ibrahim ( 2000 SM.) Bersama puteranya Nabi
Ismail, hingga baitullah yang di Mekkah terpandang
baitullah tertua di dunia ( Surah al-Imran: 96). Justru perubahan
arah kiblat itu wajar sepanjang kenyataan sejarah.
Pada masa pemerintahan khalifah abu bakar (632-634 M.) Yang dua tahun lamanya
itu tidak ada perubahan dilakukan terhadap bangunan masjid Nabawi itu. Pada masa
pemerintahan khalifah Umar (634-644 M.) Yang sepuluh tahun
lamanya itu berlaku perluasan pada penjuru selatan dan penjuru barat dan juga
penjuru utara akan tetapi bentuk bangunannya masih tetap sederhana seperti pada
masa nabi besar Muhammad.
Dengan bertambahnya
jumlah umat Islam, khalifah
Umar mulai memperluas masjid ini (17 H): bagian selatan ditambah 5 meter dan
dibuatkan mihrab, bagian barat ditambah 5 meter dan bagian utara ditambah 15
meter. Pintu masuk menjadi 3 buah.[4]
Pada masa khalifah Usman,
masjid Nabawi diperluas lagi dan diperindah.[5] Beliau memperindah
masjid tersebut dengan bahan batu pualam.[6] Dindingnya diganti
dengan batu, bidang-bidang dinding dihiasi dengan berbagai ukiran.
Tiang-tiangnya dibuat dari beton bertulang dan ditatah dengan ukiran, plafonnya
dari kayu pilihan. Unsur estetis mulai diperhatikan.[7]
3.
Pembangunan masjid-masjid
baru
Pembangunan masjid-masjid
baru
juga dilakukan di beberapa daerah atau
wilayah yang berhasil dikuasai. Di Baitul Maqdis baru, Umar membangun sebuah
masjid yang berbentuk lingkaran (segi delapan) dan dindingnya terbuat dari
tanah liat, tanpa atap, tepatnya di atas bukit Muriah. Kemudian masjid yang
dibangunnya ini dikenal dengan masjid Umar. Di Kuffah, pada tahun 17 H Saad bin
Waqas, sebagai penglima perang membangun sebuah masjid dengan bahan-bahan
bangunan Persia lama dari Hirah dan selesai pada tahun 18 H. Masjid ini sudah
memiliki mihrab dan menara. Di Fustat, Mesir pada tahun 21 H Amr bin Ash
sebagai panglima perang ketika menaklukan daerah tersebut, membangun masjid
Al-Atiq. Secara fisik masjid ini relatif sudah berkembang maju bila
dibandingkan dengan masjid-masjid yang ada. Di kota Basrah pada tahun 14 H oleh
‘Utbah bin Ghazwan. Di Madain, pada tahun 16 H Saad bin Abi Waqas menjadikan
sebuah gedung sebagai masjid.di
Damaskus, pada tahun 14 H gereja St Jhon dibagi dua, sebagian (timur) menjadi
milik muslim, oleh Abu Ubaidah bin Jarah.[8]
B. Fungsi dan Peran
Masjid Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Dari segi peran dan
fungsinya, masjid pada masa sahabat relatif tidak mengalami perubahan atau
pergeseran, masih tetap seperti pada masa Rasulullah.[9] Menurut riwayat para ahli sejarah Islam, bahwa fungsi dan peranan
masjid pada masa khulafaur rasyidin adalah sebagai berikut;
1.
Masjid sebagai tempat ibadah
Yang dimaksud dengan
ibadah disini adalah mendirikan shalat lima waktu yang diikuti dengan
sunnah-sunnahnya, membaca Al-Qur’an yang mulia dan berdzikir dengan menyebut
asma-asma Allah Yang Maha Sempurna. Para sahabat, meskipun rumah-rumah mereka
sedikit jauh dari masjid, namun mereka selalu berupaya untuk melaksanakan
shalat lima waktu dengan berjama’ah bersama nabi dan sahabat lainnya. Bahkan
seorang sahabat yang buta, seperti Ummu Maktum diwajibkan untuk shalat jama’ah meskipun
harus berjalan merangkak.
2.
Masjid sebagai tempat Musyawarah
Kedudukan masjid Nabawi
pada zaman Nabi saw dan khulafaurasyidin seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
atau Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada saat sekarang ini. Sebab di
dalam masjid inilah banyak persoalan-persoalan dibahas dan dibicarakan oleh
Nabi dan para Kibarussahabah. Diantara persoalan-persoalan yang sering dibahas
Majlis Masjid Nabawi adalah masalah politik, menyusun strategi, mengatur
perjanjian, menyelesaikan berbagai macam konflik yang terjadi di kalangan
para sahabat dan masih banyak lagi persoalan lain.
3.
Masjid sebagai madrasah
Fungsi dan peran pasjid
Nabawi bukan hanya terbatas sebagai tempat beribadah dan musyawarah, akan
tetapi ia juga berfugsi dan berperan sebagai Pusat Lembaga Pendidikan Islam.
Menurut para hali Sejarah Islam, seperti Ibnu Hisyam dan Ath-Thobari menjelaskan
bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam sering memberikan pelajaran
kepada para sahabat, baik yang berkaitan dengan urusan dunia maupun akhirat.
Hal ini dilakukan di
masjid Nabawi dan Quba dengan cara Halaqah (Lingkaran, seperti pengajian yang
dipraktekan di Pondok-pondok Pesantren Tradisional). Melalui Majlis Halaqah
inilah lahir para tokoh dan cendikiawan seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Usman binAffan, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Ibnu
Mas’ud, Ibnu Abbas, Abdurrahman bin auf dan masih banyak-tokoh-tokoh
Islam lainnya.
4.
Masjid sebagai BaituI Maal
Pada zaman Nabi dan
Khulafaurrasyidin, Masjid Nabawi berfungsi dan berperan sebagai pengumpul Zakat
maal, Zakat Fitrah, Infaq dan Shadaqah dan sebagian dari harta pampasan perang.
Setelah terkumpul lalu dibagikan kepada para Mustahik. Hal ini didasarkan kepada
hadits shahih riwayat Bukhari, Muslim dan perawi lainnya.
5.
Masjid sebagai tempat penerima tamu
Berdasarkan riwayat, Nabi
saw pernah menerima para utusan dari kaum nasrani Najran dan mempersilakan mereka
untuk menginap di masjid. Hal ini dilakukan agar mereka mengetahui apa yang
diajarkan Nabi kepada para sahabat. Dalam riwayat yang lain, Nabi juga menerima
kunjungan orang-orang yang cinta kepada Islam, lalu Nabi menempatkan mereka di
masjid.
6.
Masjid sebagai tempat latihan bela diri
Menurut hadits riwayat
Imam Bukhari bahwa Aisyah sangat senang menyaksikan para sahabat sedang
berlatih beladiri di masjid dan sekitarnya. Pada suatu ketika ia minta izin
kepada Nabi saw dan Nabi mengizinkannya.
7.
Masjid sebagai Mahkamah / Pengadilan
Sehubungan dengan semakin
bertambah banyaknya masyarakat yang memeluk Islam, maka bertambah pula
persoalan-persoalan yang muncul. Diantaranya adalah perselisihan dan perdebatan
antar masyarakat tentang berbagai hal. Untuk itu, masjidlah yang bertugas dan
berperan untuk mendamaikan dan memecahkan berbagai problematika sosial yang
terjadi.
8.
Masjid sebagai media informasi dan komunikasi
Menurut riwayat beberapa
hadits shahih bahwa masjid Nabawi telah dijadikan sebagai media informasi
dan komunikasi oleh sebagian sahabat, diantaranya seorang ahli syair, Hasan bin
Tsabit. la biasanya membaca puisi di dalam masjid. Puisi tersebut berisi
tentang ungkapan kebaikan-kebaikan Islam, pembelaan terhadap Nabi dan kaum
Muslimin serta keistimewaan tentang ajaran Islam. Ketika nabi mendengarkan
syair tersebut, la berkomentar: “wajib dari seorang Rasulullah
(mendo’akan) Ya Allah, kuatkanlah
ia dengan ruhulkudus (Malaikat Jibri!)”.[10]
KESIMPULAN
Pada masa
khulafaurrasyidin, perubahan dan perkembangan masjid itu, lebih terlihat pada
perubahan dan perkembangan itu terjadi, seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan jumlah penganut umat Islam yang terus membesar dan meluas,
melampaui jazirah Arab. Perubahan dan perkembangan fisik bangunan masjid yang
terjadi, pada masa khulafaurrasyidin antara lain terjadi pada Masjidil Haram,
Masjid Nabawi, Masjid-masjid baru yang lainnya yang dibangun seiring dengan
perkembangan Islam.
Masjid-masjid pada
masa khulafaurrasyidin pun mempunyai fungsi dan peran yang tidak jauh beda
ketika pada zaman Rosulullah, diantaranya: Masjid sebagai tempat ibadah, masjid sebagai tempat musyawarah, masjid sebagai madrasah, pondok dan
universitas, masjid sebagai baituI maal, masjid sebagai tempat penerima tamu, masjid sebagai tempat latihan bela diri, masjid sebagai Mahkamah / Pengadilan, masjid sebagai media informasi dan komunikasi
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung, dkk. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern. Solo: LESFI, 2002.
Khoiriyah, Reorientasi
Wawasan Sejarah Islam Dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-dinasti Islam. Yogyakarta: Teras, 2012.
Ummatin,
Khoiro. Sejarah Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Teras, 2013.
http://www.google.co.id/Makhmudsyafe/Masjid_Dalam_Prespektifsejarah_Dan_Hukum_Islamhalamanpdf,Diakses
jam 6:56 tanggal 6 juni
2014.
[1] Dudung
Abdurrahman, dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern (Solo:
Penerbit LESFI, 2002), hal. 62.
[2]http://www.google.co.id/MAKHMUD_SYAFE/MASJID_DALAM_PRESPEKTIF_SEJARAH_DAN_HUKUM_ISLAM_HALAMAN29.pdf, diakses pada pukul 6:56
tanggal 6 juni.
[3] Dudung
Abdurrahman, dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern (Solo:
Penerbit LESFI, 2002), hal. 62.
[4] Dudung
Abdurrahman, dkk, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 62.
[5] Khoiriyah, Reorientasi
Wawasan SEJARAH ISLAM Dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-dinasti Islam (Yogyakarta:
Penerbit Teras, 2012), hal. 66.
[6] Khoiro
Ummatin, SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM (Yogyakarta: Teras, 2013), hal.
73.
[8]http://www.google.co.id/MAKHMUD_SYAFE/MASJID_DALAM_PRESPEKTIF_SEJARAH_DAN_HUKUM_ISLAM_HALAMAN29.pdf, diakses pada pukul 6:56
tanggal 6 juni