Sunday, February 14, 2016

KEBUDAYAAN ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYAH

PENDAHULUAN

            Sebuah Daulah Umayyah berasal dari nama Umayyah ibd ‘Abdi Syams ibd Abdi Manaf,  salah seorang pemimpin suku Quraisy pada zaman Jahiliyah. Bani Umayyah baru masuk Islam setelah Nabi Muhammad SAW berhasil menaklukkan kota Makkah. Sepeninggal Rasulullah Bani Umayyah sesungguhnya telah menginginkan jabatan pengganti Rasul, tetapi mereka belum berani mengatakan keinginannya itu pada masa Abu Bakar dan Umar, baru setelah Umar meninggal penggantinya diserahkan kepada hasil musyawarah enam orang sahabat, Bani Umayyah menyokong pencalonan Usman secara terang-terangan, hingga akhirnya Usman terpilih.
Sejak saat itu mulailah Bani Umayyah meletakkan dasar-dasar untuk menegakkan Khalifah Umayyah. Pada masa pemerintahan Usman inilah Mu’awiyah mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya dan menyiapkan daerah Syam sebagai pusat kekeuasaannya di kemudian hari.
            Dinasti Umayyah berkuasa dari tahun 41 H/ 661 M – 132 H/750 M. Khalifah Dinasti Umayyah di Suriah berjumlah empat belas orang dan berasal dari dua keluarga, yaitu 3 orang dari keluarga Harb dan 11 dari keluarga Abi al-As. Ia berhasil menciptakan keamanan dalam negeri dan kemakmuran. Perluasan wilayah Islam pada masanya juga sukses hingga mencapai Afrika Utara, Khurasan dan Bukhara.[1]
            Dinasti Umayyah adalah khalifah Islam pertama yang menjadikan Damaskus sebagai pusat pemerintahan. Selama masa kekuasaannya, banyak kemajuan telah dicapai, terutama dalam pengembangan berbagai ilmu pengetahuan dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa internasional.[2]
            Maka, makalah ini lebih menitikberatkan pada kebudayaan berintelektual terkait dengan berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa Bani Umayyah saat itu. Budaya intelektual yang berkembang berdampak pada berkembangnya pula ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan yang akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.
PEMBAHASAN

Salah satu diantara beberapa usaha yang dilakukan khalifah pada masa Dinasti Umayyah adalah memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan agar para ilmuwan, para seniman, dan para ulama mau melakukan pengembangan bidang ilmu yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi ilmu.[3]
Marbad (Pusat Kegiatan Ilmiah) adalah sebuah kota kecil sebagai pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.  Kota itu dinamakan Marbad, sebuah kota satelit dari Damaskus. Di Marbad inilah berkumpul para pujangga, filsuf, ulama, penyair, dan cendekiawan sehingga kota ini diberi gelar ukaz-nya Islam.[4]
Budaya intelektual pada masa dinasti Umayyah menghasilkan banyak ilmu pengetahuan yang saat itu berkembang, diantaranya:
1.     Pengembangan Bahasa Arab
Para penguasa Dinasti Umayyah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi Negara dan pemerintahan sehingga pembukuan dan surat menyurat harus menggunakan bahasa Arab. Sebelumnya, bahasa yang digunakan ialah bahasa Romawi dan bahasa Persia. Hal ini bisa dimaklumi karena kawasan Suriah dan sekitarnya pada awalnya adalah daerah jajahan Romawi dan Persia.
Penggunaan bahasa Arab yang semakin luas membutuhkan panduan kebahasaan yang dapat dipergunakan oleh semua golongan sehingga mendorong lahirnya seorang bahasawan yang bernama Sibawaih yang mengarang sebuah buku yang berisi pokok-pokok kaidah bahasa Arab yang berjudul Al-Kitab. Pada bidang kesusastraan mengalami kemajuan dengan lahirnya banyak sastrawan seperti Ghayyats   Taghlibi     al-Akhtal,   Jurair,   dan   Al-Farazdak, Jamil al-Uzri, Umar bin Abi Rabi’ah, Ibnu al-Muqaffa.[5]
2.     Ilmu Qiraat
Ilmu Qiraat ialah ilmu seni membaca Al Qur’an. Ilmu Qiraat merupakan ilmu seni keislaman yang tertua, yang pernah dibina sejak zaman Kholifah Ar-Rasyidun. Pada masa Dinasti Umayyah, ilmu ini dikembangkan sehingga menjadi cabang ilmu keislaman yang sangat penting. Beberapa ahli Qiraat ternama lahir pada era ini, seperti Abdullah bin Qusyair dan Asim bin Abi Nuzud.[6]
Ilmu Qiraat mempunyai kedudukan yang penting diantara ilmu-ilmu keislaman yang lain. Ilmu ini bisa memudahkan para ahli fiqih (fuqoha) dalam memahami hukum. Selain penting bagi para fuqoha, ilmu ini juga penting bagi mufassir, muhadist, ahli tata bahasa Arab, dan lain-lain.[7]
3.     Ilmu Tafsir
Ilmu tafsir adalah ilmu yang mempelajari ayat-ayat Al Qur’an, mulai dari penjelasan arti kosakata (mufrodat), kalimat, sebab turunnya ayat (asbabun nuzul), kedudukan ayat, hingga makna yang terkandung di dalamnya.Tafsir merupakan cabang Ulumul Qur’an (ilmu-ilmu Qur’an). Ilmu tafsir telah di kenal sejak permulaan abad ke-2 H, ketika para ulama mencurahkan lebih banyak perhatian terhadap tafsir, sementara Ulumul Qur’an baru dikenal pada sekitar abad ke 5 atau ke 7 H. Ulama yang merintis pembukuan ilmu tafsir disebut Mujahid.[8]
Ilmu tafsir memiliki makna yang strategis, disamping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekuensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena banyaknya yang masuk Islam. Hal inimenyebabkanpencemaranbahasa Al Quran danmakna Al Quran yang digunakanuntukkepentingangolongantertentu.
Pencemaran Al Quran jugadisebabkanolehfaktorintervensi yang didasarkankepadakisah-kisahIsrailiyyat.TokohnyaadalahAbd Malik ibnJuraid al Maki.Selainilmutafsir,ilmuhadistjugamendapatkanperhatianserius.[9]
4.     Ilmu Hadits
Proses pembukuan hadist terjadi pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz, sejak saat itulah hadist mengalami perkembangan pesat dan ilmu hadist bisa berdiri sebagai cabang ilmu tersendiri. Di antara ahli hadist yang masyhur pada masa Dinasti Umayyah adalah ‘Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i, Hasan al-Basri, Ibnu Abi Malikah, dan Abu ‘Amr ‘Amir bin Syurahbil asy-Sya’bi.[10]
Selain disiplin ilmu tafsir, pada masa ini juga hadits dan ilmu hadits mendapat perhatian secara serius. Pentingnya periwayatan hadits sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun secara moral mendapat perhatian luas. Namun, keberhasilan yang diraihnya adalah untuk mencari hadits, belum mencapai tahap kodifikasi.
Khalifah Umar ibn Abd Al-Aziz yang memerintah hanya dua tahun, yakni tahun 99-101 H/717-720 M, pernah mengirim surat pada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amir ibn Ham dan kepada ulama-ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadits-hadits.
Namun, hingga dengan masa akhir kepemerintahannya, hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun  demikian, perintah Umar ibn Al-Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternatif, yakni para ulama mencari hadits ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal dengan metode rihlah.[11]
5.     Ilmu Fiqih
Dibidang hukum fiqih, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu aliran ahli al-ra’y dan aliran al-hadits. Kelompok aliran pertama mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi bila terdapat masalah yang belum ditentukan hukumnya.
Aliran ini berkembang di Irak yang dimotori oleh Syuri’ah ibn Al-Harits (w.78 H/697 M), Alqamah ibn Qa’is(w.62 H/681 M), Masruq al-Ajda’, Al-Aswad ibn Yazid, yang kemudian diikuti oleh Ibrahim  al-Nakhai, dan Amr ibn Syurahbil al-Sya’by. Sesudah itu digantikan oleh Hammad ibn Abu Sulaiman, yang kemudian menjadi guru Abu Hanifah.[12]
     Aliran kedua, ahl al- hadits,  lebih berpegang pada dalil-dalil secara literal, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat Al-Qur’an atau hadits yang menerangkannya. Diantara pelopor aliran ini adalah Ibn Syihab al-Zuhri(w.124 H/741 M) dan Nafi’ Maula Abdullah ibn Umar(w.117 H/735 M) yang keduanya merupakan guru Imam Malik ibn Annas(w.117 H/735 M).[13]
Nampaknyadisiplinilmufiqhmenunjukkanperkembangan yang sangatberarti.  Periodeinitelahmelahirkansejumlahmujtahidfiqh.TerbuktiketikaakhirmasaUmayyahtelahlahirtokohmazhabyakni Imam Abu Hanifah di Irakdan Imam Malik IbnAnas di Madinah, sedangkan Imam Syafi’idan Imam Ahmad ibnHanballahirpadamasaAbbasyiyah.[14]
Pada masa kekhalifahan Dinasti Umayyah, ilmu fiqih telah menjadi satu cabang ilmu yang berdiri sendiri. Di antara fuqaha yang terkenal pada masa itu ialah Sa’id bin Musayyib, Abu Bakr bin Abdurrahman, Qasim ‘Ubaidillah, ‘Urwah, dan Kharijah.
6.     Ilmu Nahwu
Ilmu nahwu sangat diperlukan karena orang-orang Islam non-Arab sudah semakin banyak seiring perluasan wilayah Islam. Ilmu nahwu kemudian dibukukan dan berkembang menjadi suatu cabang ilmu tersendiri.
Ilmu nahwu merupakan salah satu cabang dari ilmu tata bahasa Arab. Cabangnya yang lain adalah ilmu sharaf. Ilmu nahwu sangat dibutuhkan untuk bisa memahami al-Qur’an, Hadist Nabi, dan kitab-kitab yang berbahasa Arab. Mustahil bahwa seseorang dapat memahami bahasa Arab tanpa terlebih dahulu mempelajari dan menguasai ilmu nahwu dan sharaf.[15]
7.     Ilmu Geografi dan Sejarah
Ilmu geografi (jughrafiyah) dalam sejarah (tarikh) pada masa Dinasti Umayyah telah berkembang menjadi cabang ilmu tersendiri. Perkembangan dakwah Islam ke daerah-daerah baru yang luas nan jauh menimbulkan suatu gairah bagi perkembangan ilmu geografi dan sejarah.Ubaid ibn Syariyah al –Jurhumi berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.[16]
8.     Penerjemahan
Usaha yang tidak kalah pentingnya pada masa Dinasti Umayyah ini dimulainya penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid ibn Yazid ia memerintahkan beberapa sarjana Yunani dan Qibti untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Arab tentang ilmu kimia, kedokteran dan ilmu falaq.[17]
Dinasti Umayyah tidak hanya berjasa mengembangkan dan memajukan ilmu pengetahuan. Menurut Elsan Masood, Dinasti Umayyah juga turut andil memajukan sistem irigrasi dan perekonomian dengan mencetak uang lgam sendiri.

9.     Percetakan Uang Logam
Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Abd al-Malik pemerintah berinisiatif membuat uang logam sendiri untuk menggantikan uang logam Ramawi. Sejak saat itu, dinar yang dilengkapi dengan tulisan pujian kepada Allah SWT menjadi mata uang resmi Islam di bawah Dinasti Ummayah.[18]
10.  Sastra
Sastra yang berkembang membuat khalifah kala itu mendirikan sebuah Majelis Sastra. Majelis Sastra merupakantempatberdiskusimembahasmasalahkesusasteraandanjugasebagaitempatberdiskusimengenaiurusanpolitik. Perhatian penguasa Ummayyah sangat besar pada pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian bahasa Arab dan mengumpulkan syair-syair Arab dalam bidang syariah, kitabah dan berkembangnya seni prosa.[19]
Beberapa penyair pada periode ini memiliki kebiasaan memuji Khalifah untuk memperoleh hadiah dari mereka, ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah para penyair mendatanginya dan berdiri didepan pintu istananya menunggu izin untuk masuk, diantara mereka yang terpilih adalah Jarir bin Qutaibah dari Yamamah yang sedang dilanda kekeringan, ketika Jarir berdiri dihadapan Umar bin Abdul Aziz, Umar berkata kepadanya (Bertakwalah kepada Allah wahai Jarir, jangan kau katakan sesuatu kecuali kebenaran). Kemudian Jarir pun melantunkan syairnya mengadukan keadaan kaumnya yang sedang dilanda kekeringan panjang.
Diantaranya ia berkata :
كــم بـالـيمـامـة شعـثـاء أرمـلة وكم من يتيم ضعيف الصوت والبصر
مـمـن يـعــدك تكفي فـقـد ولـده كالفرخ في العش لم ينهـض ولـم يـطر
خـليفــة الله مـاذا تـأمرون بـنـا لــسـنـا إلـيــكـم ولا فــي دار مـنـتـظـر
أنت المـبارك والمهدي سـيرته تعصي الهـوى وتـقوم اللـيل بـالـسـور
أصبحت للمنبر المعمور مجلسه زيـنـا وزيـن قــبا ب المـلـك والـحجــر
فلن تزال لهذا الدين ما عمروا مـنـكـم عمـارة مـلـك واضــح الغـرر
إنا لنرجو إذا مـا الغيث أخلفـنا مــن الخــليـفـة مــا نـرجـو من المطـر
هذه الأرامل قد قضيت حاجتها فـمـن لـحاجــة هـــذا الأرمــل الـــذكر؟

Betapa banyak janda-janda tua di Yamamah
Juga anak-anak yatim yang telah lemah suara dan tatapan mereka
Cukuplah kematian ayah dari anak-anak yang sering menyebut kebaikanmu itu
Bagai anak burung dalam sangkarnya, tak mampu berdiri apalagi terbang
Wahai Khalifah Allah, apa yang kau perintahkan kepada kami..
Tidaklah kami pergi menemuimu melainkan dari tempat yang jauh
Kau adalah sosok dengan kisah hidup yang penuh barokah dan hidayah
Kau maksiati hawa nafsumu dan berdiri ditengah malam melantunkan Ayat-ayat Allah
Kau bagaikan perhiasan yang menghiasi mimbar para raja
Dan menghiasi kubah-kubah dan bilik istana
Tetaplah kau jaga agama ini sepanjang hayatmu wahai Khalifah
Sebagaimana orang sebelummu menjaganya dengan penuh cahaya
Sesungguhnya yang kami inginkan bila hujan tak kunjung datang
Hanyalah pemberian yang kan kau hujankan kepada kami
Itulah permohonan mereka para janda wanita itu
Maka apa yang akan engkau berikan kepada duda yang berdiri dihadapanmu ini?[20]

11.  Seni
a.      Seni rupa
Seni rupa yang berkembang pada zaman daulah Bani Umayyah hanyalah seni ukir dan seni pahat, sama halnya dengan zaman permulaan. Seni ukir yang berkembang pesat pada zaman itu ialah penggunaan khatArab (kaligrafi) sebagai motif ukiran. Selain itu yang terkenal dan maju ialah seni ukir di dinding tembok. Banyak Al-Qur’an, Hadist Nabi dan rengkuman syair yang dipahat dan di ukir pada tembok dinding bangunan masjid, istana, gedung-gedung.[21]
b.     Seni musik
Sa’id, musisi pertama Mekah dan mungkin yang terbesar pada masa Dinasti Umayyah, telah melakukan perjalanan ke Suriah dan Persia, dan menjadi orang pertama yang menerjemahkan lagu-lagu Bizantium dan Persia ke bahasa Arab. Ia juga merupakan orang pertama yang menyusun secara sistematis teori dan praktik musik Arab pada masa-masa klasik.
Muridnya yang lain adalah al-Gharid, dua orang lainnya adalah Ibn Muhriz seorang keturunan Persia, dan Ma’bad, orang Madinah keturunan negro yang merupakan biduan favorit keluarga al-Walid I, Yazid II, dan al-Walid II. Sebelum tinggal di ibukota, Ma’bad menjadi penyanyi keliling di Arab. Diantara biduanita ialah Jamilah, seorang perempuan merdeka dari Madinah, merupakan ratu para biduanita generasi partama.
Konser-konser dan pementasan musik glamor yang diadakan di rumah-rumah istri para bangsa bangsawan telah menarik banyak peminat seni. Pada saat itu, gambus kayu yang diperkenalkan dari Persia melalui Hirah sebagian telah tergantikan oleh gambus kulit. Alat petik lain yang paling disenangi adalah mi’zafah dan harpa. Alat musik tiup terdiri atas seluring, suling rumput, dan terompet besar. Alat musik pukul terdiri dari tambur segi empat yang disenangi  oleh perempuan, serta drum.[22]
c.      Seni kerajinan
Bidang ini yang menonjol adalah jasa Kholifah Abdul Malik, yaitu pembuatan Tiraz (semacam kerajinan bordir) terutama cap resmi yang dicetak pada pakaian Khalifah dan para pembesar kerajaan.[23]
d.     Seni lukis
Bidang ini dikembangkan pada masa Khalifah Walid 1, yaitu kaligrafi untuk masjid-masjid, serta lukisan-lukisan berupa gambar-gambar binatang dalam gaya Hellenisme untuk bangunan-bangunan selain masjid.[24]

KESIMPULAN

            Pada masa kekhalifahan dinasti Umayyah budaya intelektual menjadi semakin berkembang yang berdampak pada berkembangnya pula ilmu-ilmu dalam masa itu. Beberapa diantaranya adalah pengembangan bahasa Arab, ilmu qiraat, ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu fiqh, ilmu nahwu, ilmu geografi dan sejarah, usaha penerjemahan, sisitem irigasi, percetakan uang logam, sastra, serta seni.
            Sementara itu, seni yang berkembang diantaranya seni rupa, seni musik, seni kerajinan dan seni lukis. Pemerintah kala itu sangat mendukung berkembangnya ilmu pengetahuan terbukti dengan dibangunnya Marbad dan Majelis sastra.

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’i dan tim TAZKIA.Ensiklopedia Peradaban Islam: Damaskus. Jakarta: Tazkia Publishing, 2012.
Chair, Abd. dkk.Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Chalil, Munawar.Empat Biografi Imam Mazhab. Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Darsono dan Ibrahim.Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam.Solo : Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009.
Salabi, Ahmad.Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana, 2009.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1981.



[1]Abd Chair, dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal. 63.
[2]Muhammad Syafi’i Antonio dan tim TAZKIA, Ensiklopedia Peradaban Islam: Damaskus, (Jakarta: Tazkia Publishing, 2012), hal. 19.
[3] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 57.
[4]Muhammad Syafi’i Antonio dan tim TAZKIA, Ensiklopedia...,hal. 20.
[5]Darsono dan Ibrahim, Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009), hal. 70.
[6]Muhammad Syafi’i Antonio dan tim TAZKIA, Ensiklopedia..., hal. 20.
[7]Muhammad Syafi’i Antonio dan tim TAZKIA, Ensiklopedia..., hal. 21.
[8]Muhammad Syafi’i Antonio dan tim TAZKIA, Ensiklopedia..., hal. 21.
[9]Munawar Chalil, Empat Biografi Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1989, hal. 23.
[10]Muhammad Syafi’i Antonio dan tim TAZKIA, Ensiklopedia..., hal. 22.
[11]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1981), hal. 42.
[12] Munawar Chalil, Empat..., hal.. 23.
[13]Mahmud Yunus, Sejarah...,hal. 43.
[14]Munawar Chalil, Empat..., hal. 23.
[15]Muhammad Syafi’i Antonio dan tim TAZKIA, Ensiklopedia..., hal. 23.
[16]Samsul Nizar, Sejarah..., hal. 57.
[17]Ahmad Salabi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972),hal. 19.
[18]Muhammad Syafi’i Antonio dan tim TAZKIA, Ensiklopedia..., hal. 24.
[19] Ahmad Salabi, Sejarah... hal. 72.
[20]http://www.scribd.com/doc/90939247/Lebih-Jelas-an-Sastra-Dan-Ilmu-Pada-Masa-Bani-Umayyahdiakses pada Minggu, 8 Juni 2014 pukul 11.00 WIB.
[21]http://isnaizakiya29.wordpress.com/2014/06/09/seni-pada-masa-dinastu-umayyah/diakses pada Minggu, 8 Juni 2014 pukul 11.00 WIB.
[22]http://isnaizakiya29.wordpress.com/2014/06/09/seni-pada-masa-dinastu-umayyah/diakses pada Minggu, 8 Juni 2014 pukul 11.00 WIB.
[23]http://isnaizakiya29.wordpress.com/2014/06/09/seni-pada-masa-dinastu-umayyah/diakses pada Minggu, 8 Juni 2014 pukul 11.00 WIB.
[24]http://isnaizakiya29.wordpress.com/2014/06/09/seni-pada-masa-dinastu-umayyah/diakses pada Minggu, 8 Juni 2014 pukul 11.00 WIB.