PENDAHULUAN
Sebuah Daulah Umayyah berasal dari nama Umayyah
ibd ‘Abdi Syams ibd Abdi Manaf, salah
seorang pemimpin suku Quraisy pada zaman Jahiliyah. Bani Umayyah baru masuk
Islam setelah Nabi Muhammad SAW berhasil menaklukkan kota Makkah. Sepeninggal
Rasulullah Bani Umayyah sesungguhnya telah menginginkan jabatan pengganti
Rasul, tetapi mereka belum berani mengatakan keinginannya itu pada masa Abu
Bakar dan Umar, baru setelah Umar meninggal penggantinya diserahkan kepada
hasil musyawarah enam orang sahabat, Bani Umayyah menyokong pencalonan Usman
secara terang-terangan, hingga akhirnya Usman terpilih.
Sejak saat itu
mulailah Bani Umayyah meletakkan dasar-dasar untuk menegakkan Khalifah Umayyah.
Pada masa pemerintahan Usman inilah Mu’awiyah mencurahkan segala tenaganya
untuk memperkuat dirinya dan menyiapkan daerah Syam sebagai pusat kekeuasaannya
di kemudian hari.
Dinasti Umayyah berkuasa
dari tahun 41 H/ 661 M – 132 H/750 M. Khalifah Dinasti Umayyah di Suriah
berjumlah empat belas orang dan berasal dari dua keluarga, yaitu 3 orang dari
keluarga Harb dan 11 dari keluarga Abi al-As. Ia berhasil menciptakan keamanan
dalam negeri dan kemakmuran. Perluasan wilayah Islam pada masanya juga sukses
hingga mencapai Afrika Utara, Khurasan dan Bukhara.[1]
Dinasti Umayyah adalah
khalifah Islam pertama yang menjadikan Damaskus sebagai pusat pemerintahan.
Selama masa kekuasaannya, banyak kemajuan telah dicapai, terutama dalam
pengembangan berbagai ilmu pengetahuan dan menjadikan bahasa Arab sebagai
bahasa internasional.[2]
Maka, makalah ini lebih
menitikberatkan pada kebudayaan berintelektual terkait dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan pada masa Bani Umayyah saat itu. Budaya intelektual yang
berkembang berdampak pada berkembangnya pula ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan
yang akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.
PEMBAHASAN
Salah satu diantara beberapa usaha yang dilakukan
khalifah pada masa Dinasti Umayyah adalah memberikan dorongan yang kuat
terhadap dunia pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini
dilakukan agar para ilmuwan, para seniman, dan para ulama mau melakukan
pengembangan bidang ilmu yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi
ilmu.[3]
Marbad (Pusat Kegiatan
Ilmiah) adalah sebuah kota kecil sebagai pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan. Kota itu dinamakan Marbad,
sebuah kota satelit dari Damaskus. Di Marbad inilah berkumpul para pujangga,
filsuf, ulama, penyair, dan cendekiawan sehingga kota ini diberi gelar ukaz-nya
Islam.[4]
Budaya intelektual pada masa dinasti Umayyah
menghasilkan banyak ilmu pengetahuan yang saat itu berkembang, diantaranya:
1.
Pengembangan
Bahasa Arab
Para penguasa Dinasti Umayyah menjadikan bahasa Arab
sebagai bahasa resmi Negara dan pemerintahan sehingga pembukuan dan surat
menyurat harus menggunakan bahasa Arab. Sebelumnya, bahasa yang digunakan ialah
bahasa Romawi dan bahasa Persia. Hal ini bisa dimaklumi karena kawasan Suriah
dan sekitarnya pada awalnya adalah daerah jajahan Romawi dan Persia.
Penggunaan
bahasa Arab yang semakin luas membutuhkan panduan kebahasaan yang dapat
dipergunakan oleh semua golongan sehingga mendorong lahirnya seorang bahasawan
yang bernama Sibawaih yang mengarang sebuah buku yang berisi pokok-pokok kaidah
bahasa Arab yang berjudul Al-Kitab. Pada bidang kesusastraan mengalami
kemajuan dengan lahirnya banyak sastrawan seperti Ghayyats Taghlibi
al-Akhtal, Jurair, dan Al-Farazdak,
Jamil al-Uzri, Umar bin Abi Rabi’ah, Ibnu al-Muqaffa.[5]
2. Ilmu Qiraat
Ilmu Qiraat ialah ilmu seni membaca Al Qur’an. Ilmu
Qiraat merupakan ilmu seni keislaman yang tertua, yang pernah dibina sejak
zaman Kholifah Ar-Rasyidun. Pada masa Dinasti Umayyah, ilmu ini dikembangkan
sehingga menjadi cabang ilmu keislaman yang sangat penting. Beberapa ahli
Qiraat ternama lahir pada era ini, seperti Abdullah bin Qusyair dan Asim bin
Abi Nuzud.[6]
Ilmu Qiraat mempunyai kedudukan yang penting
diantara ilmu-ilmu keislaman yang lain. Ilmu ini bisa memudahkan para ahli
fiqih (fuqoha) dalam memahami hukum. Selain penting bagi para fuqoha, ilmu ini
juga penting bagi mufassir, muhadist, ahli tata bahasa Arab, dan lain-lain.[7]
3. Ilmu Tafsir
Ilmu tafsir adalah ilmu yang mempelajari ayat-ayat
Al Qur’an, mulai dari penjelasan arti kosakata (mufrodat), kalimat, sebab
turunnya ayat (asbabun nuzul), kedudukan ayat, hingga makna yang terkandung di
dalamnya.Tafsir merupakan cabang Ulumul Qur’an (ilmu-ilmu Qur’an). Ilmu tafsir
telah di kenal sejak permulaan abad ke-2 H, ketika para ulama mencurahkan lebih
banyak perhatian terhadap tafsir, sementara Ulumul Qur’an baru dikenal pada
sekitar abad ke 5 atau ke 7 H. Ulama yang merintis pembukuan ilmu tafsir
disebut Mujahid.[8]
Ilmu tafsir memiliki makna yang strategis, disamping
karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa
konsekuensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena banyaknya yang masuk
Islam. Hal inimenyebabkanpencemaranbahasa Al Quran danmakna Al Quran yang
digunakanuntukkepentingangolongantertentu.
Pencemaran
Al Quran jugadisebabkanolehfaktorintervensi yang
didasarkankepadakisah-kisahIsrailiyyat.TokohnyaadalahAbd Malik ibnJuraid al
Maki.Selainilmutafsir,ilmuhadistjugamendapatkanperhatianserius.[9]
4. Ilmu Hadits
Proses pembukuan hadist terjadi pada masa khalifah
Umar ibn Abdul Aziz, sejak saat itulah hadist mengalami perkembangan pesat dan ilmu
hadist bisa berdiri sebagai cabang ilmu tersendiri. Di antara ahli hadist yang
masyhur pada masa Dinasti Umayyah adalah ‘Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i, Hasan
al-Basri, Ibnu Abi Malikah, dan Abu ‘Amr ‘Amir bin Syurahbil asy-Sya’bi.[10]
Selain disiplin ilmu tafsir, pada masa ini juga
hadits dan ilmu hadits mendapat perhatian secara serius. Pentingnya periwayatan
hadits sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun secara
moral mendapat perhatian luas. Namun, keberhasilan yang diraihnya adalah untuk mencari
hadits, belum mencapai tahap kodifikasi.
Khalifah Umar ibn Abd Al-Aziz yang memerintah hanya
dua tahun, yakni tahun 99-101 H/717-720 M, pernah mengirim surat pada Abu Bakar
ibn Muhammad ibn Amir ibn Ham dan kepada ulama-ulama yang lain untuk menuliskan
dan mengumpulkan hadits-hadits.
Namun, hingga dengan masa akhir kepemerintahannya,
hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian, perintah Umar ibn
Al-Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternatif, yakni para ulama mencari
hadits ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian
dikenal dengan metode rihlah.[11]
5.
Ilmu Fiqih
Dibidang hukum fiqih,
secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu aliran ahli al-ra’y
dan aliran al-hadits. Kelompok aliran pertama mengembangkan hukum Islam
dengan menggunakan analogi bila terdapat masalah yang belum ditentukan
hukumnya.
Aliran ini berkembang di
Irak yang dimotori oleh Syuri’ah ibn Al-Harits (w.78 H/697 M), Alqamah ibn
Qa’is(w.62 H/681 M), Masruq al-Ajda’, Al-Aswad ibn Yazid, yang kemudian diikuti
oleh Ibrahim al-Nakhai, dan Amr ibn
Syurahbil al-Sya’by. Sesudah itu digantikan oleh Hammad ibn Abu Sulaiman, yang
kemudian menjadi guru Abu Hanifah.[12]
Aliran kedua, ahl al- hadits, lebih berpegang pada dalil-dalil secara
literal, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat
Al-Qur’an atau hadits yang menerangkannya. Diantara pelopor aliran ini adalah Ibn
Syihab al-Zuhri(w.124 H/741 M) dan Nafi’ Maula Abdullah ibn Umar(w.117 H/735 M)
yang keduanya merupakan guru Imam Malik ibn Annas(w.117 H/735 M).[13]
Nampaknyadisiplinilmufiqhmenunjukkanperkembangan yang sangatberarti.
Periodeinitelahmelahirkansejumlahmujtahidfiqh.TerbuktiketikaakhirmasaUmayyahtelahlahirtokohmazhabyakni
Imam Abu Hanifah di Irakdan Imam Malik IbnAnas di Madinah, sedangkan Imam
Syafi’idan Imam Ahmad ibnHanballahirpadamasaAbbasyiyah.[14]
Pada masa kekhalifahan
Dinasti Umayyah, ilmu fiqih telah menjadi satu cabang ilmu yang berdiri
sendiri. Di antara fuqaha yang terkenal pada masa itu ialah Sa’id bin Musayyib,
Abu Bakr bin Abdurrahman, Qasim ‘Ubaidillah, ‘Urwah, dan Kharijah.
6.
Ilmu Nahwu
Ilmu nahwu sangat
diperlukan karena orang-orang Islam non-Arab sudah semakin banyak seiring
perluasan wilayah Islam. Ilmu nahwu kemudian dibukukan dan berkembang menjadi
suatu cabang ilmu tersendiri.
Ilmu nahwu merupakan salah
satu cabang dari ilmu tata bahasa Arab. Cabangnya yang lain adalah ilmu sharaf.
Ilmu nahwu sangat dibutuhkan untuk bisa memahami al-Qur’an, Hadist Nabi, dan
kitab-kitab yang berbahasa Arab. Mustahil bahwa seseorang dapat memahami bahasa
Arab tanpa terlebih dahulu mempelajari dan menguasai ilmu nahwu dan sharaf.[15]
7.
Ilmu Geografi
dan Sejarah
Ilmu geografi (jughrafiyah)
dalam sejarah (tarikh) pada masa Dinasti Umayyah telah berkembang
menjadi cabang ilmu tersendiri. Perkembangan dakwah Islam ke daerah-daerah baru
yang luas nan jauh menimbulkan suatu gairah bagi perkembangan ilmu geografi dan
sejarah.Ubaid ibn Syariyah al –Jurhumi berhasil menulis berbagai peristiwa
sejarah.[16]
8.
Penerjemahan
Usaha yang tidak kalah pentingnya pada masa Dinasti Umayyah ini
dimulainya penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab,
seperti yang dilakukan oleh Khalid ibn Yazid ia memerintahkan beberapa sarjana
Yunani dan Qibti untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Arab tentang ilmu kimia,
kedokteran dan ilmu falaq.[17]
Dinasti Umayyah tidak
hanya berjasa mengembangkan dan memajukan ilmu pengetahuan. Menurut Elsan Masood,
Dinasti Umayyah juga turut andil memajukan sistem irigrasi dan perekonomian
dengan mencetak uang lgam sendiri.
9.
Percetakan
Uang Logam
Pada masa pemerintahan
Khalifah ‘Abd al-Malik pemerintah berinisiatif membuat uang logam sendiri untuk
menggantikan uang logam Ramawi. Sejak saat itu, dinar yang dilengkapi dengan
tulisan pujian kepada Allah SWT menjadi mata uang resmi Islam di bawah Dinasti
Ummayah.[18]
10. Sastra
Sastra yang berkembang
membuat khalifah kala itu mendirikan sebuah Majelis Sastra. Majelis Sastra merupakantempatberdiskusimembahasmasalahkesusasteraandanjugasebagaitempatberdiskusimengenaiurusanpolitik. Perhatian penguasa Ummayyah sangat besar pada
pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian bahasa Arab dan mengumpulkan
syair-syair Arab dalam bidang syariah, kitabah dan berkembangnya seni
prosa.[19]
Beberapa penyair pada
periode ini memiliki kebiasaan memuji Khalifah untuk memperoleh hadiah dari
mereka, ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah para penyair mendatanginya
dan berdiri didepan pintu istananya menunggu izin untuk masuk, diantara mereka
yang terpilih adalah Jarir bin Qutaibah dari Yamamah yang sedang dilanda
kekeringan, ketika Jarir berdiri dihadapan Umar bin Abdul Aziz, Umar berkata kepadanya
(Bertakwalah kepada Allah wahai Jarir, jangan kau katakan sesuatu kecuali
kebenaran). Kemudian Jarir pun melantunkan syairnya mengadukan keadaan kaumnya
yang sedang dilanda kekeringan panjang.
Diantaranya ia
berkata :
كــم بـالـيمـامـة شعـثـاء أرمـلة وكم من يتيم ضعيف الصوت والبصر
مـمـن يـعــدك تكفي فـقـد ولـده كالفرخ في العش لم ينهـض ولـم يـطر
خـليفــة الله مـاذا تـأمرون بـنـا لــسـنـا إلـيــكـم ولا فــي دار
مـنـتـظـر
أنت المـبارك والمهدي سـيرته تعصي الهـوى وتـقوم اللـيل بـالـسـور
أصبحت للمنبر المعمور مجلسه زيـنـا وزيـن قــبا ب المـلـك والـحجــر
فلن تزال لهذا الدين ما عمروا مـنـكـم عمـارة مـلـك واضــح الغـرر
إنا لنرجو إذا مـا الغيث أخلفـنا مــن الخــليـفـة مــا نـرجـو من المطـر
هذه الأرامل قد قضيت حاجتها فـمـن لـحاجــة هـــذا الأرمــل الـــذكر؟
Betapa banyak janda-janda tua di Yamamah
Juga anak-anak yatim yang telah lemah suara dan
tatapan mereka
Cukuplah kematian ayah dari anak-anak yang sering
menyebut kebaikanmu itu
Bagai anak burung dalam sangkarnya, tak mampu
berdiri apalagi terbang
Wahai Khalifah Allah, apa yang kau perintahkan
kepada kami..
Tidaklah kami pergi menemuimu melainkan dari tempat
yang jauh
Kau adalah sosok dengan kisah hidup yang penuh
barokah dan hidayah
Kau maksiati hawa nafsumu dan berdiri ditengah malam
melantunkan Ayat-ayat Allah
Kau bagaikan perhiasan yang menghiasi mimbar para
raja
Dan menghiasi kubah-kubah dan bilik istana
Tetaplah kau jaga agama ini sepanjang hayatmu wahai
Khalifah
Sebagaimana orang sebelummu menjaganya dengan penuh
cahaya
Sesungguhnya yang kami inginkan bila hujan tak
kunjung datang
Hanyalah pemberian yang kan kau hujankan kepada kami
Itulah permohonan mereka para janda wanita itu
11. Seni
a. Seni rupa
Seni rupa yang berkembang pada zaman daulah Bani
Umayyah hanyalah seni ukir dan seni pahat, sama halnya dengan zaman permulaan.
Seni ukir yang berkembang pesat pada zaman itu ialah penggunaan khatArab
(kaligrafi) sebagai motif ukiran. Selain itu yang terkenal dan maju ialah seni
ukir di dinding tembok. Banyak Al-Qur’an, Hadist Nabi dan rengkuman syair yang
dipahat dan di ukir pada tembok dinding bangunan masjid, istana, gedung-gedung.[21]
b.
Seni musik
Sa’id, musisi pertama
Mekah dan mungkin yang terbesar pada masa Dinasti Umayyah, telah melakukan
perjalanan ke Suriah dan Persia, dan menjadi orang pertama yang menerjemahkan
lagu-lagu Bizantium dan Persia ke bahasa Arab. Ia juga merupakan orang pertama
yang menyusun secara sistematis teori dan praktik musik Arab pada masa-masa
klasik.
Muridnya yang lain adalah
al-Gharid, dua orang lainnya adalah Ibn Muhriz seorang keturunan Persia, dan
Ma’bad, orang Madinah keturunan negro yang merupakan biduan favorit keluarga
al-Walid I, Yazid II, dan al-Walid II. Sebelum tinggal di ibukota, Ma’bad
menjadi penyanyi keliling di Arab. Diantara biduanita ialah Jamilah, seorang
perempuan merdeka dari Madinah, merupakan ratu para biduanita generasi partama.
Konser-konser dan
pementasan musik glamor yang diadakan di rumah-rumah istri para bangsa
bangsawan telah menarik banyak peminat seni. Pada saat itu, gambus kayu yang
diperkenalkan dari Persia melalui Hirah sebagian telah tergantikan oleh gambus
kulit. Alat petik lain yang paling disenangi adalah mi’zafah dan harpa.
Alat musik tiup terdiri atas seluring, suling rumput, dan terompet besar. Alat
musik pukul terdiri dari tambur segi empat yang disenangi oleh perempuan, serta drum.[22]
c.
Seni kerajinan
Bidang ini yang menonjol
adalah jasa Kholifah Abdul Malik, yaitu pembuatan Tiraz (semacam
kerajinan bordir) terutama cap resmi yang dicetak pada pakaian Khalifah dan
para pembesar kerajaan.[23]
d.
Seni lukis
Bidang ini dikembangkan
pada masa Khalifah Walid 1, yaitu kaligrafi untuk masjid-masjid, serta
lukisan-lukisan berupa gambar-gambar binatang dalam gaya Hellenisme untuk
bangunan-bangunan selain masjid.[24]
KESIMPULAN
Pada masa kekhalifahan
dinasti Umayyah budaya intelektual menjadi semakin berkembang yang berdampak
pada berkembangnya pula ilmu-ilmu dalam masa itu. Beberapa diantaranya adalah pengembangan
bahasa Arab, ilmu qiraat, ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu fiqh, ilmu nahwu, ilmu
geografi dan sejarah, usaha penerjemahan, sisitem irigasi, percetakan uang
logam, sastra, serta seni.
Sementara itu, seni yang
berkembang diantaranya seni rupa, seni musik, seni kerajinan dan seni lukis.
Pemerintah kala itu sangat mendukung berkembangnya ilmu pengetahuan terbukti
dengan dibangunnya Marbad dan Majelis sastra.
DAFTAR
PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i dan tim
TAZKIA.Ensiklopedia Peradaban Islam: Damaskus. Jakarta: Tazkia
Publishing, 2012.
Chair, Abd. dkk.Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam: Khilafah. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Chalil, Munawar.Empat Biografi
Imam Mazhab. Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Darsono dan Ibrahim.Tonggak
Sejarah Kebudayaan Islam.Solo : Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009.
Salabi, Ahmad.Sejarah Pendidikan
Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan
Islam. Jakarta : Kencana, 2009.
Yunus,
Mahmud. Sejarah Pendidikan
Islam. Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1981.
http://isnaizakiya29.wordpress.com/2014/06/09/seni-pada-masa-dinastu-umayyah/diakses
pada Minggu, 8 Juni 2014 pukul 11.00 WIB.
http://www.scribd.com/doc/90939247/Lebih-Jelas-an-Sastra-Dan-Ilmu-Pada-Masa-Bani-Umayyah diakses pada Minggu, 8 Juni
2014 pukul 11.00 WIB.
[1]Abd Chair, dkk,
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002), hal. 63.
[2]Muhammad
Syafi’i Antonio dan tim TAZKIA, Ensiklopedia Peradaban Islam: Damaskus,
(Jakarta: Tazkia Publishing, 2012), hal. 19.
[3] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 57.
[4]Muhammad
Syafi’i Antonio dan tim TAZKIA, Ensiklopedia...,hal. 20.
[5]Darsono dan
Ibrahim, Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2009), hal. 70.
[6]Muhammad
Syafi’i Antonio dan tim TAZKIA, Ensiklopedia..., hal. 20.
[7]Muhammad
Syafi’i Antonio dan tim TAZKIA, Ensiklopedia..., hal. 21.
[8]Muhammad
Syafi’i Antonio dan tim TAZKIA, Ensiklopedia..., hal. 21.
[9]Munawar Chalil,
Empat Biografi Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1989, hal. 23.
[10]Muhammad Syafi’i
Antonio dan tim TAZKIA, Ensiklopedia..., hal. 22.
[12] Munawar
Chalil, Empat..., hal.. 23.
[14]Munawar Chalil,
Empat..., hal. 23.
[15]Muhammad
Syafi’i Antonio dan tim TAZKIA, Ensiklopedia..., hal. 23.
[16]Samsul Nizar, Sejarah...,
hal. 57.
[17]Ahmad Salabi, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972),hal. 19.
[18]Muhammad
Syafi’i Antonio dan tim TAZKIA, Ensiklopedia..., hal. 24.
[19] Ahmad Salabi, Sejarah...
hal. 72.
[20]http://www.scribd.com/doc/90939247/Lebih-Jelas-an-Sastra-Dan-Ilmu-Pada-Masa-Bani-Umayyahdiakses
pada Minggu, 8 Juni 2014 pukul 11.00 WIB.
[21]http://isnaizakiya29.wordpress.com/2014/06/09/seni-pada-masa-dinastu-umayyah/diakses
pada Minggu, 8 Juni 2014 pukul 11.00 WIB.
[22]http://isnaizakiya29.wordpress.com/2014/06/09/seni-pada-masa-dinastu-umayyah/diakses
pada Minggu, 8 Juni 2014 pukul 11.00 WIB.
[23]http://isnaizakiya29.wordpress.com/2014/06/09/seni-pada-masa-dinastu-umayyah/diakses
pada Minggu, 8 Juni 2014 pukul 11.00 WIB.
[24]http://isnaizakiya29.wordpress.com/2014/06/09/seni-pada-masa-dinastu-umayyah/diakses
pada Minggu, 8 Juni 2014 pukul 11.00 WIB.