BAB I
PENDAHULUAN
Alī bin Abī Thālib adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad saw. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur
Rasyidin. Sedangkan Syi'ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah
Muhammad SAW.
Sudah dimaklumi bahwa satu peristiwa pasti berkaitan dengan peristiwa yang
lain, hal itu biasa disebut dengan kausalitas. Begitu juga dengan peristiwa
yang menyangkut dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib, besar hubungannya
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pemerintahan Utsman bin Affan.
Peristiwa terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang menyisakan banyak
teka-teki sejarah yang tak kunjung memuaskan. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya berbagai konflik pada masa kekhalifahan selanjutnya yaitu
kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib.
Di dalam
makalah ini kami akan membahas tentang siapa Ali ibn Abi Thalib, bagaimana
proses pembai’atan Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah, bagaimana politik Ali
dalam pemerintahannya, konflik yang terjadi pada masa kekhalifahan Ali (tentang
peperangan Jamal dan peperangan shiffin) dan bagaimana akhir hayat khalifah Ali
Ibn Abi Thalib.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tentang Ali Ibn Abi Thalib
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian
Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 Masehi (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti
Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan
Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi
bapak dan ibu. Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi
SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi
kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan
menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari
kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.[1]
Ali adalah orang yang pertama
menyatakan imannya dari kalangan anak-anak.[2] Ketika Nabi menerima wahyu yang pertama,
menurut Mahmudun Nasir Ali berusia 9 tahun sedangkan menurut Hassan Ibrahim Ali
berusia 13 tahun.[3] Semenjak kecil Ali dididik
dengan adab dan budi pekerti islam, lidahnya amat fasih berbicara dan memiliki
pengetahuan yang luas tentang islam. Didikan langsung dari Nabi kepada Ali
dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior)atau syariah dan
bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang
sangat cerdas, berani dan bijak. Karena sangat dekatnya dengan rasulullah,
termasuk orang yang paling banyak meriwayatkan hadis Nabi. Ali terkenal dengan
keberaniannya, dia selalu ikut dan berada di barisan muka dalam setiap
peperangan-peperangan yang dipimpin rasulullah. Menurut A. Syalabi keberanian
Ali dan banyaknya darah manusia yang ditumpahkannya dalam membela agama islam
dari orang-orang yang menyerangnya, menyebabkan dirinya banyak memiliki musuh.[4]
B. Pembai’atan Ali ibn Abi Thalib
Beberapa hari setelah
pembunuhan Utsman stabilitas keamanan di Madinah menjadi rawan. Gafiqy ibn Harb
memegang keamanan ibukota islam ibu kota islam itu selama kira-kira lima hari
sampai terpilihnya khalifah yang baru. Kemudian Ali ibn Abi Thalib tampil menggantikan
Usman dengan menerima bai’at dari sejumlah kaum Muslimin. Yang pertama kali
membai’at Ali adalah Thalhah ibn Ubaidillah dan Zubair ibn Awwam.[5] Kemudian diikuti oleh banyak
orang, baik dari kalangan anshar maupun Muhajirin.[6] Menurut Syalabi tidak ada sahabat-sahabat
terkemuka yang dapat menolak untuk membai’at Ali, karena tidak seoarang pun di
antara mereka yang sanggup menghadapi pancaroba.Oleh karena itu mau tak mau
mereka membai’ah Ali.[7]
Menarik untuk dibahas, meskipun pembai’atan Ali
berjalan mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan kaum
muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib. Pertama, kelompok
yang melarikan diri dari Madinah menuju Syam segera setelah terbunuhnya Utsman
dan menghindari ikut campur dalam pembai’atan pengangkatan Khalifah. Mereka adalah anak cucu Bani
Umayyah dan para pendukung setianya. Di antaranya adalah tokoh dari Bani Umayah
adalah Marwan bin al-Hakam dan al-Walid bin Uqbah. Sementara dari tokoh-tokoh
pendukung setianya yang ikut melarikan diri ke Syam adalah Qudamah bin Madh’un,
Abdullah bin Sallam, Mughirah bin Syu’bah dan Nu’man bin Basyir.
Kedua, Kelompok yang menangguhkan
pembai’atan terahadap Ali dan menyatakan menunggu perkembangan situasi.
Diantaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Tsabit, Muhammad bin
Salamah, Usamah bin Zaid, dan Salamah bin Salamah bin Raqis.
Ketiga, kelompok
yang sengaja tidak mau memberikan bai’at kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib
meskipun mereka tetap berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Diantaranya adalah
Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, Zaid bin Tsabit, Rafi’ Khadij, Abu Sa’id
al-Khudry, Muhammad bin Maslamah, dan Maslamah bin Mukhallad. Mereka
disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal terhadap Utsman bin Affan.
Keempat, kelompok
sahabat penduduk Madinah yang menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum
pulang saat terjadi pembai’atan. Setelah terjadi pembai’atan, sebagian kecil mereka tidak pulang ke Madinah
melainkan menunggu perkembangan situasi dari Mekkah. Termasuk di antara mereka
adalah Aisyah r.a.[8]
C. Politik Ali dalam Pemerintahan
Setelah dilantik menjadi
khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya.
Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi politiknya.
Menurut Jeje Zainudin, sedikitnya ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu.
Pertama, sumber hukum dan dasar
keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab suci al-Quran.
Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran hanya
dapat dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali
tentulah orang yang paling memahami persoalan ini. Kedua, mewujudkan
nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam
masyarakat. Ketiga, tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan
integrasi kaum muslimin. Keempat, melindungi kehormatan jiwa dan harta
benda rakyat dari segala gangguan kezaliman lidah dan tangan. Kelima,
membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara
dengan landasan ketaatan kepada Allah swt.[9]
Menurut A. Syalabi, politik
yang dijalankan seseorang merupakan gambaran dari pribadi orang tersebut yang
akan mencerminkan akhlak dan budi pekertinya. Ali adalah orang yang suka
berterus terang, tegas bertindak, tidak suka berminyak air, dan tidak takut celaan
siapapun dalam menjalankan kebenaran. Karena kepribadian yang dimilkinya itu
maka setelah dibai’at Ali mengeluarkan dua buah ketetapan, yaitu:
1. Memecat kepala-kepala daerah angkatan Usman dan
menggantinya dengan yang baru.
2. Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagikan Usman
kepada famil famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah, demikian juga
hibah Usman kepada siapapun yang tanpa alasan.[10]
D. Peperangan Jamal
Disebut perang jamal (perang
onta) karena Aisyah ikut dalam peperangan ini dengan mengendarai onta.[11] Ketika Aisyah telah menunaikan
umrah dan akan kembali ke Madinah, dia menangguhkan kepulangannya setelah
mendengar berita kematian khalifah Utsman. Terlebih Aisyah mendapatkan kabar
bahwa Ali telah dibaiat menjadi khalifah pengganti Utsman. Thalhah bin
Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu berada di Madinah, meminta izin
kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Makkah dalam rangka menunaikan umrah.
Telah disampaikan bahwa Thalha dan Zubair adalah orang yang pertama kali
memba’iat Ali. Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan Aisyah, kedua
sahabat itu akhirnya sepakat untuk sama-sama menuntut Ali agar mengusut dan
menghukum para pembunuh Utsman.
Oposisi terhadap khalifah Ali
secara terang-terangan mulai dilakukan, yaitu oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair.
Mereka sepakat menuntut khalifah segera menghukum para pembunuh Ustman. Merea
berangka menuju Basrah dan mengharapkn dukungan dari penduduk kota itu.
Tuntutan yang sama juga diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa
berdarah itu untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali dengan membangkitkan
amarah rakyat dan menuduh Ali sebagai pembunuh Utsman jika Ali tidak dapat
menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya.[12]
Tuntutan mereka tidak
dikabulkan oleh Ali, sehingga kontak senjata tidak bisa dihindari. Pertempuran
dalam peperangan Jamal ini terjadi amat sengitnya, sehingga Zubair dan Thalhah
melarikan diri, tetapi akhirnya tewas juga. Peperangan ini berhenti ketika Unta
yang ditunggangi Aisyah terbunuh. Kemenangan berada di pihak Ali. Tetapi aisyah
tidak diusik-usik oleh Ali, justru Aisyah dihormati dan dikembalikan ke Makkah
dengan penuh kehormatan dan kemuliaan.[13] Perang Jamal ini telah memakan korban sebanyak 10.000 orang[14], tetapi ada juga yang mengatakan
20.000 orang.[15] Namun apakah alasan Thalhah, Zubair dan
‘Aisyah menentang Ali hanya semata-mata karena menuntut ditangkapnya pembunuh
Utsman? Sebenarnya mereka memiliki alasan yang lebih pokok lagi, yaitu:
Sebagian sejarawan mengemukakan bahwa penentangan
Aisyah terhadap Ali disebabkan oleh sentimen pribadi, misalnya Syalabi yang
menyatakan “Sejak dari dahulu telah ada ketegangan antara Ali dan Aisyah. Asiyah sendiri pernah berkata;
sebenarnya demi Allah antara Ali dan saya tak ubahnya sebagai orang dengan
mertuanya. Mungkin, ketegangan ini disebabkan oleh pendirian Ali memberatkan
Aisyah dalam peristiwa hadits al-Ifki.” Dalam masalah hadits al-Ifki,
ketika dimintai nasihat (pendapat) oleh Rasul tentang kejadian itu, Ali
mengatakan; “Wahai Rasulullah, tidaklah Allah akan menyusahkanmu sedang wanita
selain dia masih banyak. Dan tanyakanlah kepada Barirah mungkin ia dapat
memberi keterangan yang jujur kepadamu”. Jawaban Ali kepada Rasulullah ini
nampaknya melukai perasaan Aisyah. Seakan-akan Ali menyetujui isu yang sedang
beredar ditengah masyarakat bahwa Aisyah telah meyeleweng dari Rasulullah saw.
Atau paling tidak Ali tidak menunjukkan pembelaannya kepada Aisyah disaat mana
posisinya benar-benar tertekan dengan berita fitnah. [16]
Sedangkan menurut pandangan
Ali, alasan Aisyah dendam kepadanya adalah:
1. Rasul lebih memilih dan
mempromosikan Ali daripada ayah Aisyah.
2. Ali sangat disukai dan dipuji
oleh Nabi Saw.
3. Aisyah tidak suka pada Khadijah dan Fatimah.
4. Nabi hanya mengizinkan pintu rumah Ali saja yang boleh
mengarah dan langsung terhubung menuju masjid, sedangkan pintu sahabat lainnya
tidak dibolehkan.
5. Nabi Saw pernah pertama-tama
menugaskan Abu bakar untuk melakukann sesuatu namun gagal, kemudian ali
mengambil alih tugas itu.[17]
Abdullah bin Zubair mempunyai ambisi besar
untuk menduduki kursi khalifah. Tetapi keinginannya itu terhalang oleh Ali.
Maka dihasutnyalah bibinya, Aisyah, untuk menceburkan diri ke dalam peperangan
melawan Ali.[18] Dalam Ensiklopedi islam dikutip sebuah pendapat yang
menyebut bahwa pemberontakan itu dilatarbelakangi oleh keinginan Thalhah dan
Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Kedua sahabat itu, menurut
penulis Ensiklopedi Islam, masing-masing mengharapkan rakyat memilihnya menjadi
khalifah.[19]
E. Peperangan Shiffin
Perang Shiffin yang terjadi pada tahun 37 Hijriah (656
Masehi), antara Ali Ibn abi Thalib dan Gubernur Suriah, Mu’awiah ibn Abi
Sufyan, dilatarbelakangi peristiwa kematian Khalifah Utsman ibn Affan,
begitulah sejarah mencatat, namun belakangan diketahui bahwa penyebab utama
sebenarnya hanyalah karena Mu’awiyah yang telah lama menjadi Gubernur Suriah
yang otonom sejak diangkat Khalifah ‘Umar, tidak mau kehilangan jabatannya itu
dengan membaiat kepada Ali ibn Abi Thalib. Ia hendak mempertahankan keutuhan
wewenang teritorialnya dengan mengeksploitasi pembunuhan Khalifah ‘Utsman. Walaupun Ali menyadari sejak semula bahwa peperangan tidak akan terelakkan,
ia masih terus berusaha menyadarkan Mu’awiyah. Pada bulan syawal 36 H, setelah
kembali ke Kufah dari Perang Jamal, Ali mengutus Jurair ibn AbduIlah al-Bajali
ke Mu’awiah di Damsyik.[20]
Ali mengutus
Jurair ibn AbduIlah al-Bajali dengan membawa sepucuk surat dimana ia mengatakan
bahwa kaum Muhajirin dan Anshar telah membaiatnya dan Mu’awiah pun harus
membaiat kepadanya dahulu baru kemudian mengajukan kasus pembunuhan Utsman
kepadanya supaya khalifah dapat menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunah. Tetapi Mu’awiah menahan Jurair. Atas saran saudaranya Utbah ibn Abi
Sufyan, Mu’awiyah memanggil Amr ibn Ash, seorang politikus yang terkenal licik
dan pintar, untuk merundingkan masalah itu. Dengan bantuan orang-orang penting
di Suriah ia meyakinkan rakyat yang tidak mengetahui persoalan, bahwa tanggung
jawab pembunuhan Utsman terpikul pada Ali, dan bahwa Ali melindungi para
pengepung Utsman. Muawiyah menggantungkan baju Utsman yang berlumur darah serta
potongan jari-jari istrinya, Na’ilah binti al-Farafishah di mimbar masjid Damsyik
di mana sekitar 70.000 orang Suriah berikrar untuk membalaskan dendam atas
darah Utsman. Setelah berhasil membangkitkan emosi rakyat Suriah pasukan Muawiyah siap
untuk berperang. Muawiyah memperlihatkan semua hal itu kepada Jurair lalu
mengirimkan Jurair kembali ke Kufah.[21]
Ketika mendengar tentang hal ini dari Jurair, pada
bulan Zulhijah 36H/ 657 mAli mengerahkan pasukan gabungan menyusuri sungai
euphrate ke arah utara dengan tujuan Syiria utara, dengan kekuatan 95.000 orang
dengan strategi bahwa jika benteng-benteng di wilayah Syiria utara dapat
direbut maka gerakan ke arah selatan akan menjadi lebih mudah. Ternyata Muawiyah dengan
jumlah pasukan sebanyak 85.000 orang telah lebih dahulu mempertahankan wilayah
Syiria utara dan membuat garis pertahanan di dataran Shiffin. Kemudian Ali
mengirim pasukan di bawah pimpinan Asytar al Nakhi dan berhasil merebut arus
sungai Euphrate. Walaupun Sungai euphrate telah dikuasai Ali, Ali tetap
mengizinkan Muawiyah untuk memenuhi kebutuhan air pasukannya.[22]
Upaya untuk menempuh jalan
damai terus dilakukan oleh pihak Ali dengan engadakan perundingan. Hingga
menginjak bulan Muharam 37 H/658 M perundingan itu belum mencapai persetujuan.
Persetujuan satu-satunya untuk sementara adalah masing-masing pihak akan
memberikan jawaban akhir pada akhir bulan Muharam. Pada akhir bulan Muharam tahun 37 H/658 M, jawaban terakhir dari Mu’awiyah
adalah tetap menolak untuk membaiat ali dan sebaliknya, menuntut ali dan para
pengikutnya untuk membaiat dirinya. Maka pecahlah pertempuran di Shiffin bulan
Shafar 37H. Peperangan berlangsung selama beberapa hari dan telah memakan
ribuan korban, dimana jumlah korban dari pasukan Muawiyah lebih besar. Dalam keadaan
yang sangat terdesak itu, Amr ibn Ash yang terkenal cerdik mengusulkan ide dan
disetujui oleh muawiyah agar pasukan yang membawa mushaf mengangkat mushafnya
di ujung tombak sebagai tanda damai dengan cara tahkim. [23]
Akhirnya kedua golongan
bersepakat bahwa masing-masing pihak memilih seorang hakim. Pihak Muawiyah
memilih Amr bin Ash dan pihak Ali memilih Abu Musa al- Asyari. Hasil
perundingan mereka adalah masing-masing pihak menurunkan pemimpin mereka
sebagai khalifah. Abu Musa yang pertama kali menurunkan Ali sebagai
khalifah. Akan tetapi, Amr ibn Ash berlaku sebaliknya, tidak menurunkan
Mu’awiyah tetapi justru mengangkat Muawiyah sebagai khalifah. Peperangan
Shiffin yang diakhiri melalui tahkim ini, ternyata tidak menyelesaikan masalah,
namun justru membuat Gubernur Syiria itu mempunyai kedudukan setingkat khalifah
dan menyebabkan lahirnya golongan khawarij yaitu orang-orang yang keluar dari
barisan pendukung Ali yang berjumlah sekitar 12.000 orang.[24]
Khawarij yang bermarkas di
Nahrawan benar-benar merepotkan khalifah Ali, hingga pecahlah pertempuran
nahrawan antara pasukan Ali dengan orang-orang khawarij. Banyak sekali korban
dari pasukan Ali yang jatuh dalam pertempuran ini. Hal ini membuat tentara Ali
lemah sehingga member kesempatan kepada Muawiyah untuk memperkuat dan
memperluas kekuasaan hingga wilayah Mesir mampu direbut dari tangan Ali, yang
berarti bahwa Muawiyah telah berhasil merampas sumber-sumber kemakmuran dan
suplai ekinomi dari pihak Ali. Karena kekuatannya telah banyak menurun terpaksa
khalifah Ali menyetujui perjanjian damai dengan Muawiyah yang secara politis
berarti Ali mengakui keabsahan kepemilikan Muawiyah atas Syiria dan Mesir.[25]
F. Akhir Riwayat Ali Ibn Abi Thalib
Pada saat Ali akan bersiap-siap mengirim pasukan
sekali lagi untuk memerangi Muawiyah, muncul suatu komplotan yang terdiri dari
tiga orang khawarij. Ketiga orang ini sepakat untuk membunuh Ali bin abi Thalib, Muawiyah, dan
Amr bin ash pada malam yang sama. Mereka adalah Abdullah ibn Muljam yang
berangkat ke Kufah untuk membunuh Ali, Barak Ibn Abdillah at Tamimi berangkat
ke Syam untuk membunuh Muawiyah dan Amr ibn Bakr at Tamimi yang berangkat ke
Mesir untuk membunuh amr ibn Ash. [26] Di antara ketiga orang itu, yang berhasil hanyalah
Abdullah ibn Muljam yaitu berhasil membunuh Ali ketika Ali memanggil orang
untuk sembahyang di masjid. Maka pada tahun 661M berakhirlah kehidupan Ali ibn
abi Thalib di tangan seorang khawarij,Abdullah ibn Muljam.[27]Ali meninggal di usia 63 tahun. Khalifah Ali memerintah selama 4 tahun 9
bulan.[28]
BAB III
KESIMPULAN
Jika dilihat dari pembahasan
di atas, maka pada masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib yang terlihat hanyalah
kekacauan dan peperangan. Penentangan-penentangan telah dihadapi Ali
sejak awal-awal pemerintahannya. Bahkan di masa kekhalifahan Ali inilah mulai
terjadi peperangan sesama kaum muslimin, seperti Perang Jamal dan Perang
Shiffin. Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka
menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat
cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban.
Konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi
kepada siapa pun, dimana pun dan kapan pun. Semua itu, merupakan pelajaran
berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh
al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi kita.
Namun bagaimana pun sebisa mungkin seharusnya kita dapat belajar dari sejarah
dan menyikapinya secara positif agar tidak menimpa kita.
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Fida Ismail bin
Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al Mariifah: 1999), cet
ke-5, Jilid IV, hal. 248. (dikutip dari: http://senaru.wordpress.com/2014/05/28/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin-abi-thalib/)
Amin, Samsul munir. Sejarah Peradaban Islam. Amzah: Jakarta, 2009.
Ensiklopedi Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1993, hal.
113. dikutip dari: http://senaru.wordpress.com/2014/05/28/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin-abi-thalib/
Hodgson,Marshall G. S. The Venture of Islam Iman dan Sejarah dalam
Peradaban Dunia Masa Klasik Islam. Paramadina: Jakarta, 2002.
Hosain, Sayid Safdar. The Early History of Islam. Low Press Publications: New delhi, 1995.
http://ra4103gmail.blogspot.com/2011/11/800x600-normal-0-false-false-false-in-x.html.
Diakses pada tanggal 27 mei 2014 pukul 19.15 wib
Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, hal. 166, sebagaimana dikutip
dari buku “Akar Konflik Umat Islam”, oleh Jeje Zainudin Abu Himam (dikutip
dari: http://senaru.wordpress.com/2014/05/28/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin-abi-thalib/)
Ja’farian,Rasul Sejarah Islam terj,. Lentera Basritama: Jakarta, 2003.
Mufrodi,Ali . Islam
di Kawasan Kebudayaan Arab. Logos Wacana ilmu: Ciputat, 1997.
Nasir,Mahmudun. ISLAM Concepts and History. Kitab bavan: New delhi, 1994.
Sou’yb,Joesoef. Sejarah daulah Khulafaur Rasyidin. Bulan Bintang: Jakarta, 1979.
Syalabi,Ahmad. Sejarah Kebudayaan Islam I. Pustaka alhusna: Jakarta Baru, 2007.
[1] http://ra4103gmail.blogspot.com/2011/11/800x600-normal-0-false-false-false-in-x.html. Diakses pada
tanggal 27 mei 2014 pukul 19.15 wib
[5] Sayid Safdar hosain, The Early History of
Islam. (New delhi: Low Press Publications, 1995), hlm. 361.
[8] Abu al-Fida Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa
al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Mariifah: 1999), cet ke-5, Jilid IV, hal. 248.
(dikutip dari:
http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin-abi-thalib/)
[9] Ibnu Katsir, al-Bidayah
wan-Nihayah, hal. 166, sebagaimana dikutip dari buku “Akar Konflik Umat
Islam”, oleh Jeje Zainudin Abu Himam, hal. 74. (dikutip dari:
http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin-abi-thalib/)
[11] Joesoef Sou’yb, Sejarah daulah Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), hlm. 477-478.
[19] Ensiklopedi Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1993, hal.
113. (dikutip dari: http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin-abi-thalib/)
[27] Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam Iman dan Sejarah dalam
Peradaban Dunia Masa Klasik Islam, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 312.