Thursday, February 11, 2016

PENDIDIKAN ISLAM DAN PEMBERDAYAAN UMAT


Penulis Oleh:
Azmi Wafiqoh Dkk,

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pendidikan Islam merupakan sub sistem Pendidikan NasionalIndonesia. Perjalanan Pendidikan Islam tidak terlepas dari pasangsurutnya sistem Pendidikan Nasional itu sendiri, sebagaimana tidakterlepasnya umat Islam ketika kita membicarakan nasib bangsa ini, danbahkan Pendidikan Islam mempunyai sejarah panjang di Indonesia yangtelah ikut mewarnai kehidupan bangsa ini baik masa sebelum penjajahanbahkan setelah Indonesia merdeka.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang notabene mayoritas masyarakatnya memeluk Agama Islam, seharusnyaPendidikan Islam mendasari pendidikan-pendidikan lainnya, sertamenjadi primadona bagi peserta didik, orang tua, maupun masyarakat.
Demikian juga halnya dalam upaya peningkatan mutu pendidikanseharusnya Pendidikan Islam dijadikan tolok ukur dalam membentukwatak dan pribadi peserta didik, serta membangun moral bangsa (NationCharacter Building). Menurut hemat penulis baik upaya-upaya yangdilakukan pemerintah, maupun para pakar pendidikan untukpeningkatan mutu pendidikan tak terkecuali Pendidikan Islam sudahsejak lama namun hasil yang dicapai belumlah maksimal. Saat ini terdapatketidakseimbangan antara idealita dengan realita yang ada. Upaya upayapeningkatan mutu pendidikan masih bersifat parsial, terkotak-kotak dantidak komprehensif. Sehingga wajar apabila out-put peserta didik yangnotabene Pendidikan Islam kurang memberikan hasil yang maksimalbaik terhadap peserta didik, orang tua, maupun masyarakat. Kitamerasakan dan mengetahui bahwa Pendidikan Islam di Indonesia dewasaini, dinilai hanya mampu memenuhi aspek normatif semata dan “tidakatau belum sanggup” mewujudkan apa yang selama ini diharapkan.Dengan kata lain, pendidikan Islam juga memiliki kelemahan –kelemahanprinsipil untuk bisa berperan secara pasti dalam memberdayakankomunitas muslim di negeri ini.
Untuk saat ini seharusnya lembaga Pendidikan Islam memerlukanadanya perencanaan strategis, dengan menyusun visi, misi, tujuan sasaran, metode, program dan kegiatan. Hal ini dimaksudkan sebagaiperencanaan jangka panjang untuk menjawab tantangan eksternal yangsemakin dinamis dan kompleks.
B.      Batasan Masalah
Untuk membatasi masalah yang akan dibahas, penulis membuat spesifikasi dengan membuat 3 pertanyaan, yaitu :
1.     Apa pengertian pendidikan Islam ?
2.     Apa tujuan pendidikan Islam ?
3.     Bagaimana cara memberdayakan masyarakat ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan Islam ialah pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan atas dasar hasrat, motivasi, niat (rencana yang sugguh-sungguh) dan semangat untuk memanifestasikan atau mengejewanahkan nilai-nilai Islam, yang diwujudkan dlam visi, misi, tujuan maupun program pendidikan dan pelaksanaannya[1]. Dengan demikian pendidikan Islam dapat dipahami sebagai prinsip yang mengarahkan, menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada diri peserta didik yang bercorak Islam dan mampu membentuk sumber daya manusia yang dicita-citakan oleh Islam[2].
Menurut Muhaimin, pola pengembangan Pendidikan Islam sebelum Indonesia merdeka dibagi menjadi tiga pola, yaitu:
1.       Isolatif-tradisional,dalam arti tidak mau menerima apa saja yang berbau Barat (kolonial) dan terhambatnya pengaruh pemikiran-penikiran modern dalam Isam untuk masuk ke dalamnya, sebagaimana tampak jelas pada pendidikan pondok pesantren tradsional yang hanya menonjokan imu-ilmu agama Islam dan pengatahuan umum sama sekali tidak diberikan. Hakikat pendidikan Islam adalah sebagai upaya mestarikan dan mempertahankan khazanah pemikiran ulama tedahulu sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab  mereka. Tujuan utama pendidikannya adalah menyiapkan calon-calon kyai atau ulama yang hanya menguasai masalah agama semata.
2.       Sintesis, yakni mempertemukan antara corak amla (pondok pesantren) dan corak baru ( mode  pendidikan kolonial atau Barat) yang berwujud sekolah atau Madrasah. Dalam realitasnya, corak pemikiran sintesis ini mengandung beberapa varisasi pola pengembangan pendidian Islam, yaitu: (1) pola pegembangan pendidikan madrasah mengikui format pendidikan Barat terutama dalam sistem pengajarannya secara klasikal, tetapi isi pendidikan tetap lebih menonjolkan ilmu-ilmu agama Islam, sebagaimana dikembangkan pada Madrasah Sumatera Thawalib dan Madrasah Tebu Ireng  pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari; (2) pola pengembangan pendidikan madrasah yang mengutamakan mata pelajaran-mata pelajaran agama, tetapi mata pelajaran-mata pelajaran umum secara terbatas juga diberikan, seperti yang dikembangankan oleh Madrasah diniyah Zaenuddin Lebay el-Yunisiy dan Madrasah Salafiyah Tebu Ireng pimpinan KH. Ilyas.
3.       Berbagai model dan pola pengembangan pendidikan Islam tersebut pada dasarnya bermaksud untuk mengembangkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Hanya saja mereka memiliki perspektif yang berbeda-beda dalam memahami dan menjabarkan hakikat pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan. Hal ini berimplikasi pula terhadap rumusan-rumusan tujuan pendidikan, isi/materi pendidikan Islam maupun aspek metodologinya.[3]
Pada masa awal kemerdekaan,pemerintah dan bangsa Indonesia telah mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang dualistik, yaitu: (1) sistem pendidkan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekuler, tak mengenal ajaran agama, yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda; dan (2) sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Islam sendiri, baik yang bercorak isolatife-tradisional maupun yang bercorak sintesis dengan berbagai variasi pola pendidikannya.
Kedua sistem pedidikan tersebut sering dianggap saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang seara terpisah satu sama lain. Sistem pendidikan dan pengajaran yang pertama pada mulanya hanya menjangkau dan dinikmati oleh sebagian kalangan masyarakat, terutama kalangan atas saja. Sedangkan yang kedua (sistem pendidikan dan pengajaran Islam) tumbuh dan berkembang secara mandiri di kalangan rakyat dan berurat berakar dalam masyarakat. Hal ini diakui oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) dalam Rencana Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran Baru, pada tanggal 29 Desember 1945.[4]



B.      Tujuan Pendidikan Islam
Salah satu akar dari beragam persoalan pendidikan dapat kita temukan dalam penelitian Barbara Leigh mengenai sistem pendidikan Indonesia di masa Orde Baru. Menurutnya, ideology pembangunanisme adalah unsur yang sangat kuat tertanam dalam sistem pendidikan kita. Ideologi ini mempersyaratkan kepatuhan mutlak terhadap  kekuasaan dan penerimaan absolut terhadap  bentuk Negara-negara modern yang menjalankan “pembangunan”, dan yang dimaksud pembangunan adalah modernisaasi, yang dalam  praktek sehari-hari berarti konsumerisme yang individualis. Dengan begitu, ideologi ini membentuk rakyat menjadi orang-orang yang pragmatis, mempu secara elastic menempatkan diri menurut ekspektasi Orde Baru sebagaimana disampaikan dalam sistem sekolah[5].Hal ini bertolak betolak belakang dengan prinsip-prinsip yang digunakan dalam pemikiran pendidikan Islam(Ontologis, Epistemologi danAksiologis)[6]. Prinsip-prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.       Prinsip Ontologis
Prinsip ontologis merupakan alah satu diantara lapangan penyelidikan pemikiran filsafat yang paling kuno. Prinsip ini memperbincangkan pokok pikiran tentang apa yang ada dan apa yang tidak ada. Ontologi merupakan etiket pelenkap dari metafisika tentang “ada” atau “keadaan” sesuatu. Ontologi dapat mendekati masalah tentang hakikat melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif, kenyataan itu tunggal atau jamak; dan pendekatan kualitatif, mempertanyakan jenis kenyataan itu. Dalam melakukan pendekatan ontology, diperlukan adanya pemilahan antara yang riil dan tidak riil, arau antara kenyataan dan kenampakan. Sebab, tidak semua yang nyata merupakan objek kajian. Mungkin saja objek kajian yang dimaksud bersifat kenampakan yang tidak riil.
Dalam kaitannya dengan pemikiran pendikan Islam, segala sesuatu yang menjadi objek kajian pemikiran tidak selamanya bersifat realistis, tetapi ada kalanya yang bersifat fenomena dan abstrak. Ketika seorang intelektual Mulim harus melihat kedua pedekatan tersebtu secara seksama. Ia harus memperhatikan kondisi realita yang bersifat kekinian dan eksistensi kemakhlukannya. Ia harus mempertimbangkan tuntutan kebudayaan dan potensi yang dimiliki peserta didik sebagai makhluk yang unik dan dinamis, secara serasi dan seimbang.
2.       Prinsip Epistemologis
Prinsip epistemogis merupakan suatu studi pengetahuan tentang bagaimana proses manusia mengetahui (adanya) benda-benda serta menitikberatkan pada timbulnya berbagai pengertian atau konsep, waktu, ruang, kualitas, kesadaran, dan keabsahan pengetahuan. Paling tidak, ada tiga bentuk pendekatan epistemologis. Pertama, epistemologis idealism, yaitu keberadaan kualitas atau objek pengetahuan yang diserap oleh indera, memiliki ketergantungan pada kesadaran yang utuh sehingga manusia dapat menemukan kebenaran yang hakiki. Kedua, epistemology realisme, yaitu kenyataan itu sesungguhnya ada secara mandiri dan tidak tergantung pada pemikiran, bahkan manusia tidak dapat mengubah saat proses itu berlangsung. Ketiga, epistemology dualisme, yaitu dalam proses mengetahui terdapat dua hal yang terpisah, yakni keteraturan yang terdapat dalam alam semesta dan hasil serapan indra yang terdapat dalam kesadaran.
Dalam kaitannya dengan peran pendidikan Islam, pendekatan tersebut memberi makna tentang bagaimana proses internalisasi yang efektif dalam mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan sebagai sebagai kebenaran yang hakiki. Proses yang dilakukan harus mengandung makna tertinggi, sesuai dengan posisi, fungsi, dan kemampuan peserta didik, baik secara vertical maupun horizontal.
3.       Prinsip Aksiologis
Prinsip aksiologis adalah studi tentang nilai, baik nilai etika (moral) maupun nilai estetika. Pembicaraannya berkisar tentang nilai kebenaran hakiki yang menjadi tujuan hidup manusia. Dalam kaitannya dengan pemikiran pendidikan Islam, pendekatan tersebut memberikan makna bahwa objek kajian dan rangkaian proses yang dilakukan harus memiliki niai dan tidak merusak nilai-nilai yang ada, baik nilai kemanusiaan maupun nilai ketuhanan. Pendekatan ini sesungguhnya merupakan alat kontrol yang efektif dalam melihat kebermaknaan dan ketidakbermaknaan, atau ideal dan tidak idealnya konsep pendidikan yang ditawarkannya bagi umat manusia.
Leigh kemudian menunjukkan bahwa demi menjalankan ideologi ini, dibutuhkan penyederhanaan-penyederhanaan dalam praktek pendidikan. Seluruh upaya dan sumber daya hanya diarahkan untuk berusaha lulus ujian sekolah, yang dibuat secara nasional, dan mendapatkan ijazah. Praktek pemusatan dan penyederhanaan ini tak pelak menimbulkan konsekuensi dalam mengevaluasi ujian yang dikerjakan para peserta didik. Para penyelenggara pendidikan di tingkat nasional harus memeriksa “ratusan ribu (kadang jutaan) lembar ujian se-fair mungkin dengan sebuah unit processing yang terpusat. Sehingga tidak aneh bila mereka menghindari pertanyaan bertipe esai dan lebih pemeriksaan berbasis komputer.
Hasil langsung dari sistem ini adalah cara berpikir yang catat. Dalam sistem ini selalu harus ada jawaban yang terbakukan secara resmi terhadap sebuah pertanyaan. Beberapa tahun setelah Leigh menulis ini ditahun 1999, kasus ijazah palsu terbongkar di Indonesia. Praktek-praktek serupa seperti jasa penulisan skripsi, joki tes masuk universitas, dan masih banyak lagi, juga akrab di telinga kita setiap tahun, dan meluas nyaris di seluruh kelokan negeri ini.
Sistem pendidikan yang diterapkan sejak Orde Baru diatas sudah sepatutnya diadakan pembaharuan melihat sistem pendidikan tersebut membuat pendidikan di Indonesia berhenti di tempat. Ada beberapa alternatif dari sistem pembelajaran diatas yang dapat diterapkan yaitu:


1.   Pembelajaran transformatif
Pembelajaran transformatif adalah sebuah proses dimana seseorang mengalami perubahan kerangka acuan berpikir. Kerangka ini menentukan apa yang diketahui dan bagaimana orang mengetahui. Seseorang yang mengalami perubahan jenis ini berarti memperoleh kemampuan untuk melakukan refleksi kritis terhadap asumsi-asumsi, kepercayaan, nilai-nilai, dan perspektif yang melekat pada diri sendiri maupun pada orang lain. Namun proses ini tidak hanya melibatkan operasi kognitif dan rasional, tetapi juga melibatkan operasi pergerakan emosional. Fenomena ini tidak dapat diajarkan tetapi harus dialami, sehingga peran pendidik terbatas sebagai fasilitator dan pemantik bagi berlangsungnya proses ini. Akhirnya dalam proses ini, individu bertransformasi menjadi pembelajar bisa mengarahkan diri sendiri, kritis dan mampu berpikir secara otonom[7].
2.   Pendidikan Holistik Komperensif
Pendidikan holistik kompherensif adalah pendidikan yang bertolak dari filsafat tentang Tuhan, manusia, masyarakat, alam jagat raya, ilmu pengetahuan dan akhlak mulia yang didasarkan pada nilai-nilai agama.Bertujuan memberikan kebebasan siswa didik untuk mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tetapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia yang berarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa, mewujudkan manusia yang merdeka sebagaimana diungkapkan Ki Hajar Dewantara, yaitu manusia utuh merdeka yang hidup lahir batinnya tidak tergatung orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri[8].
Dengan demikian, tujuan pendidikan islam dalam tercapai. Seperti yang tercantum dalam Al Qur’an menurut Menurut Muhammad Fadlil al-Jamali yaitu sebagai berikut: pertama, mengenalkan manusia akan peranannya di antara sesame titah (makhluk) dan tanggung jawab pribadinya di dalam hidup ini. Kedua, mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat. Ketiga, mengenalkan manusia akan alam ini dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat dari alam tersebut. Keempat, mengenalkan manusia akan pencipta alam ini (Allah Swt) dan memerintahkan beribadah kepada-Nya[9].
Menurut Umar Muhammad al-Toumi al-Syaibani[10], tujuan khas pendidikan Islam meliputi:
1.       Memperkenalkan kepada generasi muda akan akidah-akidah Islam, dasar-dasarnya, asal-usul ibadah, dan cara-cara melakukannya dengan betul dengan membiasakan mereka berhati-hati mematuhi akidah-akidah agama dan menjalankan serta menghormati syiar-syiar agama.
2.       Menumbuhkan kesadaran yang betul pda didri pelajar terhadap agama, termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar akhlak yang mulia. Begitu juga menyadarkannya akan bid’ah-bid’ah, khurafat-hurafat, kepalsuan-kepalsuan dan kebiasaan-kebiasaan usang yang melekat kepada Islam itu tanpa disadari, padahal Islam itu bersih.
3.       Menanamkan keimanan kepada Allah Swt. pencipta alam dan kepada malaikat, Rasul-rasul, kitab-kitab, dan hari akhirat berdasarkan paham kesadaran dan keharusan kesadaran.
4.       Menumbuhkan minat generasi muda untuk menambah pengetahuan dalam adab dan pengetahuan keagamaan, dan untuk mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan kerelaan.
5.       Menanamkan rasa cinta dan penghargaan kepada Al-Qur’an, berhubung dengannya, membacanya dengan baik, memahaminya dan mengamalkan ajaran-ajarannya.
6.       Menumbuhkan rasa bangga terhadap sejarah dan kebudayaan Islam dan pahlawan-pahlawannya, serta mengikuti jejak mereka.
7.       Menumbuhkan rasa rela, optimisme, kepercayaan diri, tanggung jawab, menghargai kewajiban, tolong-menolong atas kebaikan dan takwa, kasih sayang, cinta kebaikan, sabar, perjuangan untuk kebaikan, memegang teguh pada prinsip, berkorban untuk agama dan tanah air serta bersiap membelanya.
8.       Mendidik naluri, motivasi, keinginan generasi muda, membentenginya dengan akhlak dan nilai-nilai, membiasakan mereka menahan motivasi-motivasinya, mengatur emosi dan membimbingnya dengan baik. Begitu juga mengajar mereka berpegang pada adab kesopanan dalam hubungan dan pergaulan mereka, baik di rumah atau di sekolah, di jalan atau di lain bidang dan lingkungan.
9.       Menanamkan iman yang kuat kepada Allah Swt. dalam diri mereka, menguatkan perasaan agama dan dorongan agama serta akhlak dalam diri mereka, menyuburkan hati, dengan kecintaan, zikir, takwa, dan takut kepada Allah Swt.
10.    Membersihkan hati mereka dari dengki, hasad, iri hati, benci, kekasaran, kezaliman, egoism, tipuan, khianat, nifak, raga, perpecahan dan perselisihan.

C.      Arah Pemberdayaan Potensi Masyarakat
Masyarakat pada dasarnya memiliki potensi untuk berkembang apabila kita berdayakan. Seperti dijelaskan oleh Piaget dalam bukunya Sund (1976), kemampuan operasi berpikir manusia ditentukan oleh kemampuan manusia itu untuk mengasimilasi atau mengadaptasikanlingkungan dalam pikirannya. Dalam terminologi lain, kemampuan berpikir manusia ditentukan oleh dua komponen pertama, kemampuannnya menangkap gejala, kedua, kemampuannya untuk mengkonsepsikan gejala itu menjadi suatu pengertian umum[11]. Namunpotensi itu tidak berkembang apabila orang tidak memanfaatkan kesempatan itu. Dalam upaya pemberdayaan potensi masyarakat dapat diklasifikasikan pada tiga arah :
1.    Upaya pemberdayaan potensi masyarakat harus dimulai dari pemberdayaan pendidikan keluarga. Konsep “Brain development” menjelaskan bahwa system penserabutan otak manusia sangat ditentukan oleh kontak manusia pada tiga tahun pertama kehidupannya di bumi. Semakin banyak gejala alam yang dapat ditangkap anak pada tiga tahun pertama usia mereka, maka akan merangsang pertumbuhan sistem serabut-serabut otak, yang berartiakan berdampak tingginya kecerdasan anak di masa mendatang.Oleh karena itu pemberdayaan potensi ummat harus dilakukan sejak awal kelahiran. Selain itu, orang tua harus bertanggungjawab terhadap perilaku gizi yang proposional, dan juga mengkondisikan agar anak mengalami proses perkembangan secara proporsional.
2.    Institusi pendidikan merupakan arah pemberdayaan potensi masyarakat yang selanjutnya setelah keluarga. Menjadi tanggungjawab pihak sekolah dalam hal pertumbuhan anak selanjutnya baik fisik, kecerdasan intelektual, kreativitas dan perkembangan kecerdasan emosional, bahkan tumbuhnya kecerdasan spiritual secara optimal. Padahal pendidikan kita belum mampu melaksanakan tugas ini. Untuk itulah sudah saatnya institusi Pendidikan melakukan berbagai upaya inovasi dengan landasan bahwa pemberdayaan potensi masyarakat perlu memperkecil peran tumbuhnya cara berpikir linier (yang masih menjadi tekanan pendidikan sekarang), mengapa demikian karena sesunguhnya bumi dan seisinya selalu mengalami perubahan-perubahan yang begitu cepat yang selalu tidak linier, begitu juga seharusnya konsep pendidikan Islam. Berarti untuk pemberdayaan potensi masyarakat harus selalu diarahkan kepada berkembangnya kreativitas masyarakat. Agar maksud ini bisa dicapai maka kemampuan ketrampilan dan seni harus menjadi bagian integral dari kurikulumPendidikan[12].Menurut penulis instistusi Pendidikan Islam sudah saatnya melakukan upaya-upaya inovasi dalam bidang pendidikan, bukan secara tambal sulam melainkan secara menyeluruh dan mendasar. Kita membutuhkan satu revolusi di bidang pendidikan, dan menggeser serta mengubah paradigma yang keliru. Paradigma yang keliru dan mendasar sekali adalah selama ini bahwa “belajar untuk sekolah bukan untuk hidup”, harus dirubah dengan “belajar bukan untuk sekolah (nonscholae) tetapi belajar untuk hidup (sed vitae discimus)”.  Kurikulum di sekolah harus mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan di masyarakat dengan demikian peserta didik akan lebih memahami kondisi masyarakat. Sekolah janganlah terisolasi dari masyarakat, apa yang dipelajari hendaknya berguna bagi kehidupan peserta didikdalam masyarakat dan didasarkan atas masalah masayarakat. Dengandemikian peserta didik akan lebih serasi dipersiapkan sebagai warga masyarakat[13].
3.    Arah pemberdayaan selanjutnya adalah di masyarakat dengan cara meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap terwujudnya bangsa yang memiliki peradaban dan moral tinggi[14].Hubungannya dengan proses pendidikan selama ini sikap masyarakat belum atau tidak kritisterhadap kebijakan-kebijakan yang ditentukan oleh pihak sekolah. Masyarakat mengikuti apa saja yang ditentukan sekolah, tanpa mempertanyakan secara kritis apa manfaat dari semuanya itu, ditinjau dari pencapaian tujuan pendidikan. Sekolah menentukan kurikulum dan silabus, sekolah menentukan metode pembelajaran, sekolah menentukan ulangan, ujian, kelulusan sampai dengan pakaian bahkan sepatu seragam sekolah , ini adalah beberapa contoh yang seharusnya masyarakat ikut andil dan bertanggungjawab terhadap keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan. Disinilah sebenarnya letak pemberdayaan masing-masing potensi masyarakat (keluarga, sekolah,dan masyarakat) untuk bersama-sama mengkompromikan bagaimana seharusnya sistem pendidikan yang akan diterapkan.Dalam penanganan proses pemberdayaan potensi masyarakat ini pihak sekolah harus membutuhkan strategi yang tepat, dan memerlukan jaringan yang luas, melibatkan banyak pihak baik kalangan birokrat, kalangan usahawan, kalangan pemuka agama, dan tentunya kalangan pendidikan serta organisasi-organisasi kemasyarakatan.


BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Pendidikan Islam dapat dipahami sebagai prinsip yang mengarahkan, menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada diri peserta didik yang bercorak Islam dan mampu membentuk sumber daya manusia yang dicita-citakan oleh Islam.
Tujuan pendidikan Islam yaitu sebagai berikut: pertama, mengenalkan manusia akan peranannya di antara sesame titah (makhluk) dan tanggung jawab pribadinya di dalam hidup ini. Kedua, mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat. Ketiga, mengenalkan manusia akan alam ini dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat dari alam tersebut. Keempat, mengenalkan manusia akan pencipta alam ini (Allah Swt) dan memerintahkan beribadah kepada-Nya.
Masyarakat pada dasarnya memiliki potensi untuk berkembang apabila kita berdayakan. Seperti dijelaskan oleh Piaget dalam bukunya Sund (1976), kemampuan operasi berpikir manusia ditentukan oleh kemampuan manusia itu untuk mengasimilasi atau mengadaptasikanlingkungan dalam pikirannya. Dalam terminologi lain, kemampuan berpikir manusia ditentukan oleh dua komponen pertama, kemampuannnya menangkap gejala, kedua, kemampuannya untuk mengkonsepsikan gejala itu menjadi suatu pengertian umum.

B.      SARAN
Dalam penyusunan makalah ini, penulis yakin bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis berharap mendapatkan saran dan kritik yang membangun guna membantu penulis untuk menciptakan karya yang lebih baik di masa yang akan datang.



DAFTAR  PUSTAKA
AhwanAhmad, M.Ag.,Dimensi Etika Belajar Mengajar dalam Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama Media, 2010
Djohar, Pendidikan Strategi Alternatif Untuk Masa Depan, Yogyakarta:Lesfi, 2003
Kurniawan Syamsul dan Erwin Mahrus,Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011
Muhaimin, M.A,Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembanan Kurikulum, hingga Redefinisi Islmisasi Pengetahuan. Bandung: Penerbit Nuansa,
Nasution, S, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2004
Nata Abuddin, M.A, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013
Rachman Assegaf, Abd, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011
Sirimorok Nurhadi, Membangun Kesadaran Kritis: Kisah Pembelajaran Parsitipatif Orang Muda,Yogyakarta: INSISTPress, 2010




[1] Dr. H. Muhaimin, M.A. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembanan Kurikulum, hingga Redefinisi Islmisasi Pengetahuan. (Bandung: Penerbit Nuansa). Hlm.13
[2] Ahmad Ahwan, M.Ag. Dimensi Etika Belajar Mengajar dalam Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Gama Media) Hlm. 21
[3] Dr. H. Muhaimin, M.A Ibid. Hlm 2
[4] Dr. H. Muhaimin, M.A Ibid. Hlm.26
[5] Nurhadi Sirimorok, Membangun Kesadaran Kritis: Kisah Pembelajaran Parsitipatif Orang Muda. (Yogyakarta: INSISTPress, 2010). Hlm. 67
[6] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011) Hlm.19
[7] Nurhadi Sirimorok, Op.Cit. Hlm. 47
[8] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2013) Hlm. 270-271
[9] Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2011). Hlm. 70
[10] Ibid. Hlm. 69
[11]Djohar,  Pendidikan Strategi  Alternatif Untuk Masa Depan, (Yogyakarta:Lesfi, 2003), h. 133-134

[12] Ibid, h, 134-135
[13] S. Nasution,  Op.Cith. 154
[14] Djohar Op.Cit, h. 139