Azmi Wafiqoh Dkk,
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan
Islam merupakan sub sistem Pendidikan NasionalIndonesia. Perjalanan Pendidikan
Islam tidak terlepas dari pasangsurutnya sistem Pendidikan Nasional itu
sendiri, sebagaimana tidakterlepasnya umat Islam ketika kita membicarakan nasib
bangsa ini, danbahkan Pendidikan Islam mempunyai sejarah panjang di Indonesia
yangtelah ikut mewarnai kehidupan bangsa ini baik masa sebelum penjajahanbahkan
setelah Indonesia merdeka.
Dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang notabene mayoritas
masyarakatnya memeluk Agama Islam, seharusnyaPendidikan Islam mendasari
pendidikan-pendidikan lainnya, sertamenjadi primadona bagi peserta didik, orang
tua, maupun masyarakat.
Demikian
juga halnya dalam upaya peningkatan mutu pendidikanseharusnya Pendidikan Islam
dijadikan tolok ukur dalam membentukwatak dan pribadi peserta didik, serta
membangun moral bangsa (NationCharacter Building). Menurut hemat
penulis baik upaya-upaya yangdilakukan pemerintah, maupun para pakar pendidikan
untukpeningkatan mutu pendidikan tak terkecuali Pendidikan Islam sudahsejak
lama namun hasil yang dicapai belumlah maksimal. Saat ini
terdapatketidakseimbangan antara idealita dengan realita yang ada. Upaya
upayapeningkatan mutu pendidikan masih bersifat parsial, terkotak-kotak
dantidak komprehensif. Sehingga wajar apabila out-put peserta didik
yangnotabene Pendidikan Islam kurang memberikan hasil yang maksimalbaik
terhadap peserta didik, orang tua, maupun masyarakat. Kitamerasakan dan
mengetahui bahwa Pendidikan Islam di Indonesia dewasaini, dinilai hanya mampu
memenuhi aspek normatif semata dan “tidakatau belum sanggup” mewujudkan apa
yang selama ini diharapkan.Dengan kata lain, pendidikan Islam juga memiliki
kelemahan –kelemahanprinsipil untuk bisa berperan secara pasti dalam
memberdayakankomunitas muslim di negeri ini.
Untuk
saat ini seharusnya lembaga Pendidikan Islam memerlukanadanya perencanaan
strategis, dengan menyusun visi, misi, tujuan sasaran, metode, program dan
kegiatan. Hal ini dimaksudkan sebagaiperencanaan jangka panjang untuk menjawab
tantangan eksternal yangsemakin dinamis dan kompleks.
B.
Batasan
Masalah
Untuk
membatasi masalah yang akan dibahas, penulis membuat spesifikasi dengan membuat
3 pertanyaan, yaitu :
1. Apa
pengertian pendidikan Islam ?
2. Apa
tujuan pendidikan Islam ?
3.
Bagaimana cara
memberdayakan masyarakat ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan
Islam di Indonesia
Pendidikan Islam ialah pendidikan yang
didirikan dan diselenggarakan atas dasar hasrat, motivasi, niat (rencana yang
sugguh-sungguh) dan semangat untuk memanifestasikan atau mengejewanahkan
nilai-nilai Islam, yang diwujudkan dlam visi, misi, tujuan maupun program
pendidikan dan pelaksanaannya[1].
Dengan demikian pendidikan Islam dapat dipahami sebagai prinsip yang
mengarahkan, menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada diri peserta didik yang
bercorak Islam dan mampu membentuk sumber daya manusia yang dicita-citakan oleh
Islam[2].
Menurut Muhaimin, pola pengembangan
Pendidikan Islam sebelum Indonesia merdeka dibagi menjadi tiga pola, yaitu:
1. Isolatif-tradisional,dalam
arti tidak mau menerima apa saja yang berbau Barat (kolonial) dan terhambatnya
pengaruh pemikiran-penikiran modern dalam Isam untuk masuk ke dalamnya,
sebagaimana tampak jelas pada pendidikan pondok pesantren tradsional yang hanya
menonjokan imu-ilmu agama Islam dan pengatahuan umum sama sekali tidak
diberikan. Hakikat pendidikan Islam adalah sebagai upaya mestarikan dan
mempertahankan khazanah pemikiran ulama tedahulu sebagaimana tertuang dalam
kitab-kitab mereka. Tujuan utama
pendidikannya adalah menyiapkan calon-calon kyai atau ulama yang hanya menguasai
masalah agama semata.
2. Sintesis,
yakni mempertemukan antara corak amla (pondok pesantren) dan corak baru (
mode pendidikan kolonial atau Barat)
yang berwujud sekolah atau Madrasah. Dalam realitasnya, corak pemikiran
sintesis ini mengandung beberapa varisasi pola pengembangan pendidian Islam,
yaitu: (1) pola pegembangan pendidikan madrasah mengikui format pendidikan
Barat terutama dalam sistem pengajarannya secara klasikal, tetapi isi
pendidikan tetap lebih menonjolkan ilmu-ilmu agama Islam, sebagaimana
dikembangkan pada Madrasah Sumatera Thawalib dan Madrasah Tebu Ireng pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari; (2) pola
pengembangan pendidikan madrasah yang mengutamakan mata pelajaran-mata
pelajaran agama, tetapi mata pelajaran-mata pelajaran umum secara terbatas juga
diberikan, seperti yang dikembangankan oleh Madrasah diniyah Zaenuddin Lebay
el-Yunisiy dan Madrasah Salafiyah Tebu Ireng pimpinan KH. Ilyas.
3. Berbagai
model dan pola pengembangan pendidikan Islam tersebut pada dasarnya bermaksud
untuk mengembangkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Hanya saja mereka memiliki perspektif yang
berbeda-beda dalam memahami dan menjabarkan hakikat pendidikan Islam dan ilmu
pengetahuan. Hal ini berimplikasi pula terhadap rumusan-rumusan tujuan
pendidikan, isi/materi pendidikan Islam maupun aspek metodologinya.[3]
Pada masa awal kemerdekaan,pemerintah
dan bangsa Indonesia telah mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang
dualistik, yaitu: (1) sistem pendidkan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum
yang sekuler, tak mengenal ajaran agama, yang merupakan warisan dari pemerintah
kolonial Belanda; dan (2) sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh
dan berkembang di kalangan masyarakat Islam sendiri, baik yang bercorak isolatife-tradisional maupun yang
bercorak sintesis dengan berbagai
variasi pola pendidikannya.
Kedua sistem pedidikan tersebut sering
dianggap saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang seara terpisah satu
sama lain. Sistem pendidikan dan pengajaran yang pertama pada mulanya hanya
menjangkau dan dinikmati oleh sebagian kalangan masyarakat, terutama kalangan
atas saja. Sedangkan yang kedua (sistem pendidikan dan pengajaran Islam) tumbuh
dan berkembang secara mandiri di kalangan rakyat dan berurat berakar dalam
masyarakat. Hal ini diakui oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
(BP-KNIP) dalam Rencana Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran Baru, pada
tanggal 29 Desember 1945.[4]
B.
Tujuan
Pendidikan Islam
Salah satu akar dari beragam persoalan
pendidikan dapat kita temukan dalam penelitian Barbara Leigh mengenai sistem
pendidikan Indonesia di masa Orde Baru. Menurutnya, ideology pembangunanisme
adalah unsur yang sangat kuat tertanam dalam sistem pendidikan kita. Ideologi
ini mempersyaratkan kepatuhan mutlak terhadap
kekuasaan dan penerimaan absolut terhadap bentuk Negara-negara modern yang menjalankan
“pembangunan”, dan yang dimaksud pembangunan adalah modernisaasi, yang
dalam praktek sehari-hari berarti
konsumerisme yang individualis. Dengan begitu, ideologi ini membentuk rakyat
menjadi orang-orang yang pragmatis, mempu secara elastic menempatkan diri
menurut ekspektasi Orde Baru sebagaimana disampaikan dalam sistem sekolah[5].Hal
ini bertolak betolak belakang dengan prinsip-prinsip yang digunakan dalam
pemikiran pendidikan Islam(Ontologis, Epistemologi danAksiologis)[6].
Prinsip-prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Prinsip
Ontologis
Prinsip ontologis
merupakan alah satu diantara lapangan penyelidikan pemikiran filsafat yang
paling kuno. Prinsip ini memperbincangkan pokok pikiran tentang apa yang ada
dan apa yang tidak ada. Ontologi merupakan etiket pelenkap dari metafisika
tentang “ada” atau “keadaan” sesuatu. Ontologi dapat mendekati masalah tentang
hakikat melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif, kenyataan itu
tunggal atau jamak; dan pendekatan kualitatif, mempertanyakan jenis kenyataan
itu. Dalam melakukan pendekatan ontology, diperlukan adanya pemilahan antara
yang riil dan tidak riil, arau antara kenyataan dan kenampakan. Sebab, tidak semua
yang nyata merupakan objek kajian. Mungkin saja objek kajian yang dimaksud
bersifat kenampakan yang tidak riil.
Dalam kaitannya dengan
pemikiran pendikan Islam, segala sesuatu yang menjadi objek kajian pemikiran
tidak selamanya bersifat realistis, tetapi ada kalanya yang bersifat fenomena
dan abstrak. Ketika seorang intelektual Mulim harus melihat kedua pedekatan
tersebtu secara seksama. Ia harus memperhatikan kondisi realita yang bersifat
kekinian dan eksistensi kemakhlukannya. Ia harus mempertimbangkan tuntutan
kebudayaan dan potensi yang dimiliki peserta didik sebagai makhluk yang unik
dan dinamis, secara serasi dan seimbang.
2. Prinsip
Epistemologis
Prinsip epistemogis
merupakan suatu studi pengetahuan tentang bagaimana proses manusia mengetahui
(adanya) benda-benda serta menitikberatkan pada timbulnya berbagai pengertian
atau konsep, waktu, ruang, kualitas, kesadaran, dan keabsahan pengetahuan.
Paling tidak, ada tiga bentuk pendekatan epistemologis. Pertama, epistemologis
idealism, yaitu keberadaan kualitas atau objek pengetahuan yang diserap oleh
indera, memiliki ketergantungan pada kesadaran yang utuh sehingga manusia dapat
menemukan kebenaran yang hakiki. Kedua, epistemology realisme, yaitu kenyataan
itu sesungguhnya ada secara mandiri dan tidak tergantung pada pemikiran, bahkan
manusia tidak dapat mengubah saat proses itu berlangsung. Ketiga, epistemology
dualisme, yaitu dalam proses mengetahui terdapat dua hal yang terpisah, yakni
keteraturan yang terdapat dalam alam semesta dan hasil serapan indra yang
terdapat dalam kesadaran.
Dalam kaitannya dengan
peran pendidikan Islam, pendekatan tersebut memberi makna tentang bagaimana
proses internalisasi yang efektif dalam mencapai tujuan pendidikan yang
diinginkan sebagai sebagai kebenaran yang hakiki. Proses yang dilakukan harus
mengandung makna tertinggi, sesuai dengan posisi, fungsi, dan kemampuan peserta
didik, baik secara vertical maupun horizontal.
3. Prinsip
Aksiologis
Prinsip aksiologis
adalah studi tentang nilai, baik nilai etika (moral) maupun nilai estetika.
Pembicaraannya berkisar tentang nilai kebenaran hakiki yang menjadi tujuan
hidup manusia. Dalam kaitannya dengan pemikiran pendidikan Islam, pendekatan
tersebut memberikan makna bahwa objek kajian dan rangkaian proses yang
dilakukan harus memiliki niai dan tidak merusak nilai-nilai yang ada, baik
nilai kemanusiaan maupun nilai ketuhanan. Pendekatan ini sesungguhnya merupakan
alat kontrol yang efektif dalam melihat kebermaknaan dan ketidakbermaknaan,
atau ideal dan tidak idealnya konsep pendidikan yang ditawarkannya bagi umat
manusia.
Leigh kemudian menunjukkan bahwa demi
menjalankan ideologi ini, dibutuhkan penyederhanaan-penyederhanaan dalam
praktek pendidikan. Seluruh upaya dan sumber daya hanya diarahkan untuk
berusaha lulus ujian sekolah, yang dibuat secara nasional, dan mendapatkan
ijazah. Praktek pemusatan dan penyederhanaan ini tak pelak menimbulkan
konsekuensi dalam mengevaluasi ujian yang dikerjakan para peserta didik. Para
penyelenggara pendidikan di tingkat nasional harus memeriksa “ratusan ribu
(kadang jutaan) lembar ujian se-fair mungkin dengan sebuah unit processing yang terpusat. Sehingga tidak
aneh bila mereka menghindari pertanyaan bertipe esai dan lebih pemeriksaan
berbasis komputer.
Hasil langsung dari sistem ini adalah
cara berpikir yang catat. Dalam sistem ini selalu harus ada jawaban yang
terbakukan secara resmi terhadap sebuah pertanyaan. Beberapa tahun setelah
Leigh menulis ini ditahun 1999, kasus ijazah palsu terbongkar di Indonesia.
Praktek-praktek serupa seperti jasa penulisan skripsi, joki tes masuk
universitas, dan masih banyak lagi, juga akrab di telinga kita setiap tahun,
dan meluas nyaris di seluruh kelokan negeri ini.
Sistem pendidikan yang diterapkan sejak
Orde Baru diatas sudah sepatutnya diadakan pembaharuan melihat sistem
pendidikan tersebut membuat pendidikan di Indonesia berhenti di tempat. Ada
beberapa alternatif dari sistem pembelajaran diatas yang dapat diterapkan yaitu:
1. Pembelajaran
transformatif
Pembelajaran transformatif adalah sebuah
proses dimana seseorang mengalami perubahan kerangka acuan berpikir. Kerangka
ini menentukan apa yang diketahui dan bagaimana orang mengetahui. Seseorang
yang mengalami perubahan jenis ini berarti memperoleh kemampuan untuk melakukan
refleksi kritis terhadap asumsi-asumsi, kepercayaan, nilai-nilai, dan
perspektif yang melekat pada diri sendiri maupun pada orang lain. Namun proses
ini tidak hanya melibatkan operasi kognitif dan rasional, tetapi juga
melibatkan operasi pergerakan emosional. Fenomena ini tidak dapat diajarkan
tetapi harus dialami, sehingga peran pendidik terbatas sebagai fasilitator dan
pemantik bagi berlangsungnya proses ini. Akhirnya dalam proses ini, individu
bertransformasi menjadi pembelajar bisa mengarahkan diri sendiri, kritis dan
mampu berpikir secara otonom[7].
2. Pendidikan
Holistik Komperensif
Pendidikan holistik kompherensif adalah
pendidikan yang bertolak dari filsafat tentang Tuhan, manusia, masyarakat, alam
jagat raya, ilmu pengetahuan dan akhlak mulia yang didasarkan pada nilai-nilai
agama.Bertujuan memberikan kebebasan siswa didik untuk mengembangkan diri tidak
saja secara intelektual, tetapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga
secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia yang berarakter kuat
yang mampu mengangkat harkat bangsa, mewujudkan manusia yang merdeka
sebagaimana diungkapkan Ki Hajar Dewantara, yaitu manusia utuh merdeka yang
hidup lahir batinnya tidak tergatung orang lain, akan tetapi bersandar atas
kekuatan sendiri[8].
Dengan demikian, tujuan pendidikan islam
dalam tercapai. Seperti yang tercantum dalam Al Qur’an menurut Menurut Muhammad
Fadlil al-Jamali yaitu sebagai berikut: pertama,
mengenalkan manusia akan peranannya di antara sesame titah (makhluk) dan
tanggung jawab pribadinya di dalam hidup ini. Kedua, mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung
jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat. Ketiga,
mengenalkan manusia akan alam ini dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah
diciptakannya serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat
dari alam tersebut. Keempat,
mengenalkan manusia akan pencipta alam ini (Allah Swt) dan memerintahkan
beribadah kepada-Nya[9].
Menurut Umar Muhammad al-Toumi
al-Syaibani[10],
tujuan khas pendidikan Islam meliputi:
1. Memperkenalkan
kepada generasi muda akan akidah-akidah Islam, dasar-dasarnya, asal-usul
ibadah, dan cara-cara melakukannya dengan betul dengan membiasakan mereka
berhati-hati mematuhi akidah-akidah agama dan menjalankan serta menghormati
syiar-syiar agama.
2. Menumbuhkan
kesadaran yang betul pda didri pelajar terhadap agama, termasuk prinsip-prinsip
dan dasar-dasar akhlak yang mulia. Begitu juga menyadarkannya akan
bid’ah-bid’ah, khurafat-hurafat, kepalsuan-kepalsuan dan kebiasaan-kebiasaan
usang yang melekat kepada Islam itu tanpa disadari, padahal Islam itu bersih.
3. Menanamkan
keimanan kepada Allah Swt. pencipta alam dan kepada malaikat, Rasul-rasul,
kitab-kitab, dan hari akhirat berdasarkan paham kesadaran dan keharusan
kesadaran.
4. Menumbuhkan
minat generasi muda untuk menambah pengetahuan dalam adab dan pengetahuan
keagamaan, dan untuk mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan kerelaan.
5. Menanamkan
rasa cinta dan penghargaan kepada Al-Qur’an, berhubung dengannya, membacanya
dengan baik, memahaminya dan mengamalkan ajaran-ajarannya.
6. Menumbuhkan
rasa bangga terhadap sejarah dan kebudayaan Islam dan pahlawan-pahlawannya,
serta mengikuti jejak mereka.
7. Menumbuhkan
rasa rela, optimisme, kepercayaan diri, tanggung jawab, menghargai kewajiban,
tolong-menolong atas kebaikan dan takwa, kasih sayang, cinta kebaikan, sabar,
perjuangan untuk kebaikan, memegang teguh pada prinsip, berkorban untuk agama
dan tanah air serta bersiap membelanya.
8. Mendidik
naluri, motivasi, keinginan generasi muda, membentenginya dengan akhlak dan
nilai-nilai, membiasakan mereka menahan motivasi-motivasinya, mengatur emosi
dan membimbingnya dengan baik. Begitu juga mengajar mereka berpegang pada adab
kesopanan dalam hubungan dan pergaulan mereka, baik di rumah atau di sekolah,
di jalan atau di lain bidang dan lingkungan.
9. Menanamkan
iman yang kuat kepada Allah Swt. dalam diri mereka, menguatkan perasaan agama
dan dorongan agama serta akhlak dalam diri mereka, menyuburkan hati, dengan
kecintaan, zikir, takwa, dan takut kepada Allah Swt.
10. Membersihkan
hati mereka dari dengki, hasad, iri hati, benci, kekasaran, kezaliman, egoism,
tipuan, khianat, nifak, raga, perpecahan dan perselisihan.
C. Arah
Pemberdayaan Potensi Masyarakat
Masyarakat pada dasarnya memiliki
potensi untuk berkembang apabila kita berdayakan. Seperti dijelaskan oleh
Piaget dalam bukunya Sund (1976), kemampuan operasi berpikir manusia ditentukan
oleh kemampuan manusia itu untuk mengasimilasi atau mengadaptasikanlingkungan
dalam pikirannya. Dalam terminologi lain, kemampuan berpikir manusia ditentukan
oleh dua komponen pertama, kemampuannnya menangkap gejala, kedua, kemampuannya
untuk mengkonsepsikan gejala itu menjadi suatu pengertian umum[11].
Namunpotensi itu tidak berkembang apabila orang tidak memanfaatkan kesempatan
itu. Dalam upaya pemberdayaan potensi masyarakat dapat diklasifikasikan pada
tiga arah :
1.
Upaya pemberdayaan potensi
masyarakat harus dimulai dari pemberdayaan pendidikan keluarga. Konsep “Brain
development” menjelaskan bahwa system penserabutan otak manusia sangat
ditentukan oleh kontak manusia pada tiga tahun pertama kehidupannya di bumi.
Semakin banyak gejala alam yang dapat ditangkap anak pada tiga tahun pertama
usia mereka, maka akan merangsang pertumbuhan sistem serabut-serabut otak, yang
berartiakan berdampak tingginya kecerdasan anak di masa mendatang.Oleh karena
itu pemberdayaan potensi ummat harus dilakukan sejak awal kelahiran. Selain
itu, orang tua harus bertanggungjawab terhadap perilaku gizi yang proposional,
dan juga mengkondisikan agar anak mengalami proses perkembangan secara
proporsional.
2. Institusi
pendidikan merupakan arah pemberdayaan potensi masyarakat yang selanjutnya
setelah keluarga. Menjadi tanggungjawab pihak sekolah dalam hal pertumbuhan
anak selanjutnya baik fisik, kecerdasan intelektual, kreativitas dan
perkembangan kecerdasan emosional, bahkan tumbuhnya kecerdasan spiritual secara
optimal. Padahal pendidikan kita belum mampu melaksanakan tugas ini. Untuk
itulah sudah saatnya institusi Pendidikan melakukan berbagai upaya inovasi
dengan landasan bahwa pemberdayaan potensi masyarakat perlu memperkecil peran
tumbuhnya cara berpikir linier (yang masih menjadi tekanan pendidikan
sekarang), mengapa demikian karena sesunguhnya bumi dan seisinya selalu
mengalami perubahan-perubahan yang begitu cepat yang selalu tidak linier,
begitu juga seharusnya konsep pendidikan Islam. Berarti untuk pemberdayaan
potensi masyarakat harus selalu diarahkan kepada berkembangnya kreativitas
masyarakat. Agar maksud ini bisa dicapai maka kemampuan ketrampilan dan seni
harus menjadi bagian integral dari kurikulumPendidikan[12].Menurut
penulis instistusi Pendidikan Islam sudah saatnya melakukan upaya-upaya inovasi
dalam bidang pendidikan, bukan secara tambal sulam melainkan secara menyeluruh
dan mendasar. Kita membutuhkan satu revolusi di bidang pendidikan, dan menggeser
serta mengubah paradigma yang keliru. Paradigma yang keliru dan mendasar sekali
adalah selama ini bahwa “belajar untuk sekolah bukan untuk hidup”, harus
dirubah dengan “belajar bukan untuk sekolah (nonscholae) tetapi belajar untuk
hidup (sed vitae discimus)”. Kurikulum
di sekolah harus mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan di masyarakat
dengan demikian peserta didik akan lebih memahami kondisi masyarakat. Sekolah
janganlah terisolasi dari masyarakat, apa yang dipelajari hendaknya berguna
bagi kehidupan peserta didikdalam masyarakat dan didasarkan atas masalah
masayarakat. Dengandemikian peserta didik akan lebih serasi dipersiapkan
sebagai warga masyarakat[13].
3. Arah
pemberdayaan selanjutnya adalah di masyarakat dengan cara meningkatkan rasa tanggung
jawab terhadap terwujudnya bangsa yang memiliki peradaban dan moral tinggi[14].Hubungannya
dengan proses pendidikan selama ini sikap masyarakat belum atau tidak
kritisterhadap kebijakan-kebijakan yang ditentukan oleh pihak sekolah.
Masyarakat mengikuti apa saja yang ditentukan sekolah, tanpa mempertanyakan
secara kritis apa manfaat dari semuanya itu, ditinjau dari pencapaian tujuan
pendidikan. Sekolah menentukan kurikulum dan silabus, sekolah menentukan metode
pembelajaran, sekolah menentukan ulangan, ujian, kelulusan sampai dengan
pakaian bahkan sepatu seragam sekolah , ini adalah beberapa contoh yang
seharusnya masyarakat ikut andil dan bertanggungjawab terhadap keberhasilan
pencapaian tujuan pendidikan. Disinilah sebenarnya letak pemberdayaan masing-masing
potensi masyarakat (keluarga, sekolah,dan masyarakat) untuk bersama-sama
mengkompromikan bagaimana seharusnya sistem pendidikan yang akan diterapkan.Dalam
penanganan proses pemberdayaan potensi masyarakat ini pihak sekolah harus
membutuhkan strategi yang tepat, dan memerlukan jaringan yang luas, melibatkan
banyak pihak baik kalangan birokrat, kalangan usahawan, kalangan pemuka agama,
dan tentunya kalangan pendidikan serta organisasi-organisasi kemasyarakatan.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pendidikan
Islam dapat dipahami sebagai prinsip yang mengarahkan, menanamkan nilai-nilai
kebaikan kepada diri peserta didik yang bercorak Islam dan mampu membentuk
sumber daya manusia yang dicita-citakan oleh Islam.
Tujuan
pendidikan Islam yaitu sebagai berikut: pertama,
mengenalkan manusia akan peranannya di antara sesame titah (makhluk) dan
tanggung jawab pribadinya di dalam hidup ini. Kedua, mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung
jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat. Ketiga,
mengenalkan manusia akan alam ini dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah
diciptakannya serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil
manfaat dari alam tersebut. Keempat,
mengenalkan manusia akan pencipta alam ini (Allah Swt) dan memerintahkan
beribadah kepada-Nya.
Masyarakat
pada dasarnya memiliki potensi untuk berkembang apabila kita berdayakan.
Seperti dijelaskan oleh Piaget dalam bukunya Sund (1976), kemampuan operasi
berpikir manusia ditentukan oleh kemampuan manusia itu untuk mengasimilasi atau
mengadaptasikanlingkungan dalam pikirannya. Dalam terminologi lain, kemampuan
berpikir manusia ditentukan oleh dua komponen pertama, kemampuannnya menangkap
gejala, kedua, kemampuannya untuk mengkonsepsikan gejala itu menjadi suatu
pengertian umum.
B.
SARAN
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis yakin bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu penulis berharap mendapatkan saran dan kritik yang
membangun guna membantu penulis untuk menciptakan karya yang lebih baik di masa
yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
AhwanAhmad, M.Ag.,Dimensi Etika Belajar Mengajar dalam Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Gama Media, 2010
Djohar,
Pendidikan Strategi Alternatif Untuk Masa
Depan, Yogyakarta:Lesfi, 2003
Kurniawan
Syamsul dan Erwin Mahrus,Jejak Pemikiran
Tokoh Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011
Muhaimin,
M.A,Arah Baru Pengembangan Pendidikan
Islam: Pemberdayaan, Pengembanan Kurikulum, hingga Redefinisi Islmisasi
Pengetahuan. Bandung: Penerbit Nuansa,
Nasution,
S, Sosiologi Pendidikan, Jakarta:
Bumi Aksara, 2004
Nata
Abuddin, M.A, Kapita Selekta Pendidikan
Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013
Rachman Assegaf, Abd, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011
Sirimorok
Nurhadi, Membangun Kesadaran Kritis: Kisah
Pembelajaran Parsitipatif Orang Muda,Yogyakarta: INSISTPress, 2010
[1] Dr. H. Muhaimin, M.A. Arah
Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembanan Kurikulum, hingga
Redefinisi Islmisasi Pengetahuan. (Bandung: Penerbit Nuansa). Hlm.13
[2] Ahmad Ahwan, M.Ag. Dimensi
Etika Belajar Mengajar dalam Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Gama Media)
Hlm. 21
[3] Dr. H. Muhaimin, M.A Ibid.
Hlm 2
[4] Dr. H. Muhaimin, M.A Ibid.
Hlm.26
[5] Nurhadi Sirimorok, Membangun
Kesadaran Kritis: Kisah Pembelajaran Parsitipatif Orang Muda. (Yogyakarta:
INSISTPress, 2010). Hlm. 67
[6] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2011) Hlm.19
[7] Nurhadi Sirimorok, Op.Cit. Hlm. 47
[8] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Kapita Selekta Pendidikan Islam.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada 2013) Hlm. 270-271
[9] Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada,2011). Hlm. 70
[10] Ibid. Hlm. 69
[11]Djohar, Pendidikan
Strategi Alternatif Untuk Masa Depan,
(Yogyakarta:Lesfi, 2003), h. 133-134
[12]
Ibid, h, 134-135
[13] S.
Nasution, Op.Cith. 154
[14]
Djohar Op.Cit, h. 139