Friday, March 10, 2017

Aliran-aliran Teori Behavioristik

Aliran-aliran Teori Behavioristik

Aliran-aliran Teori Behavioristik - Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa belajar menurut psikologi behavioristik adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung kepada faktor-faktor kondisional yang diberikan oleh lingkungan. Beberapa teori yang termasuk kategori aliran behavioristik adalah koneksionisme, pembiasaan klasik (classical conditioning), pengkondisian kontiguitas (contigous conditioning), pembiasaan perilaku respons (operant conditioning).

1. Koneksionisme

Tokoh paling terkenal dari teori koneksionisme adalah Edward Lee Thorndike (1874-1949). Koneksionisme merupakan teori paling awal dari rumpun behaviorisme. Oleh karena itu, pendidikan dan pengajaran di Amerika serikat pada mulanya banyak di dominasi oleh pengaruh Thondike. Teori belajar Thondike disebut “connectionism”, karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons.

Thorndike mulai mempelajari pembelajaran dengan serangkaian eksperimen yang dilakukannya terhadap hewan. Hewan-hewan yang berada pada situasi yang bemasalah mencoba untuk mencapai tujuannya (misalnya: mendapatkan makanan, mencapai tempat yang dituju). Dari banyaknya respon yang mereka lakukan mereka memilih satu, menjalankannya dan menerima akibatnya. Makin sering mereka membuat respons terhadap suatu stimulus, makin kuat repons tersebut, menjadi terkoneksi dengan stimulus tersebut (Schunk, 2012). Koneksi-koneksi terbentuk secara mekanis melalui perulangan, persepsi dari pikiran sadar tidak diperlukan. Thorndike menyadari bahwa pembelajaran manusia lebih kompleks karena manusia terlibat dalam tipe-tipe pembelajaran lainnya yang memerlukan pengkoneksian ide-ide, analisis dan penalaran (Schunk, 2012).

Secara garis besar, teori koneksionisme Thorndike dapat dijelaskan dengan satu kesimpulan bahwa “belajar” dapat terjadi dengan dibentuknya hubungan, atau ikatan, atau asosiasi, atau koneksi netral yang kuat antara stimulus dan respons. Untuk dapat mencapai hubungan antara stimulus dan respons ini, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat, serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (errors) terlebih dahulu. Berdasarkan hal ini, Thorndike mengutarakan bila bentuk paling dasar dari belajar adalah trial and error learning atau selecting-connecting learning dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu (Roziqin, 2007).

Berkaitan dengan prinsip atau hukum dalam belajar, Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum. Pertama, law of readness, belajar akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut. Kedua, law of exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan, ulangan. Ketiga, law of effect, belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang lebih baik (Sukmadinata, 2007).

2. Teori Pembiasaan Klasik (Classical Conditioning)

Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936). Seperti halnya dengan Thorndike, Pavlov dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. 

Belajar atau pembentukan perilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu (Sanjaya, 2006). Teori Pavlov berkembang dari percobaan laboratoris terhadap anjing. Dalam percobaan ini, anjing diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing. Anjing tersebut diberi makanan dan diberi lampu. Pada saat diberi makanan dan lampu keluarkan respon anjing tersebut berupa keluamya air liur.Demikian juga jika dalam pemberikan makanan tersebut disertai dengan bel, air liur tersebut juga keluar. Pada saat bel atau lampu diberikan mendahului makanan, anjing tersebut juga mengeluarkan air liur. Makanan yang diberikan tersebut oleh Pavlov disebut sebagai perangsangan yang bersyarat, sementara bel atau lampu yang menyertai disebut sebagai perangsang bersyarat.

Terhadap perangsang tak bersyarat yang disertai dengan perangsang bersyarat tersebut, anjing memberikan respons berupa keluamya air liur. Selanjutnya, ketika perangsang bersyarat (bel, lampu) diberikan tanpa perangsang tak bersyarat anjing tersebut tetap memberikan respon dalam bentuk keluamya air liur. Oleh karena perangsang bersyarat (sebagai pengganti perangsang tak bersyarat : makanan) ini ternyata dapat menimbulakn respons, maka dapat berfungsi sebagai conditioned. Karena itu, teori Pavlov ini dikenal teori classical conditioning. Menurut Pavlov pengkondisian yang dilakukan pada anjing demikian ini, dapat juga berlaku pada manusia.

Pengkondisian klasik menurut Pavlov merupakan sebuah prosedur multilangkah yang pada mulanya membutuhkan sebuah stimulus yang tidak terkondisikan (UCS=Unconditioned Stimulus) yang menghasilkan sebuah respon yang tak terkondisikan (UCR= Unconditioned Respons). Pada penelitiannya, Pavlov sering menggunakan metronom yang berdetak sebagai stimulus netral. Metronom menjadi sebuah stimulus yang terkondisikan (CS) yang menghasilkan respon yang terkondisikan (CR) serupa dengan UCR aslinya. Pemberian CS (dalam hal ini tampa UCS) yang dilakukan berulangkali tampa ada penguatan membuat CR menurun intensitasnya dan kemudian hilang; sebuah fenomena yang dikenal dengan kepunahan (Schunk, 2012).

Pemulihan spontan (SR) terjadi setelah selang waktu dimana CS tidak diberikan dan CR dianggap menghilang. Jika kemudian CS diberikan dan Crnya kembali lagi, bisa kita katakan bahwa CR tersebut secara spontan dipulihkan dari kepunahan. Kenyataan bahwa pasangan CS-CR dapat diperbaiki tampa banyak kesulitan menunjukan bahwa kepunahan bukan merupakan pembatalan pembelajaran atas asosiasi-asosiasi tersebut (Radish dkk dalam Schunk, 2012). Pavlov yakin bahwa stimulus apa pun yang dirasakan dapat dikondisikan untuk respons apapun dapat dibuat. Namun dalam penelitian berikutnya menunjukan bahwa generalisasi untuk pengkondisian itu terbatas. Pengkondisian tergantung pada kesesuaian stimulus dan respons dengan reaksi-reaksi yang spesifik untuk tiap-tiap species (Hollis dalam Schunk, 2012).

3. Teori Pengkondisian Kontiguitas (Contigous Conditioning)

Tokoh lain yang mengemukakan sebuah perspektif behavioral untuk pembelajaran adalah Edwin R Guthrie. Guthrie memperluas penemuan Watson tentang belajar. Guthrie menyatakan bahwa prinsip-prinsip pembelajaran berdasarkan pada asosiasi-asosiasi dimana prilaku-prilaku pokok dalam pembelajaran adalah tindakan dan gerakan. Prinsip dasar Guthrie menyajikan gagasan kontiguitas stimulasi dan respons. Kombinasi dari stimulus-stimulus yang telah mencapai suatu gerakan, jika berulang akan cenderung diikuti oleh gerakan tersebut. Dengan kata lain, pola-pola stimulus yang aktif pada saat sebuah respons terjadi akan cenderung menghasilkan respons tersebut jika dimunculkan berulang-ulang (Schunk, 2012).

Teori Guthrie menyebutkan bahwa pembelajaran terjadi melalui pemasangan stimulus dan repons serta kekuatan asosiatif. Meskipun Guthrie tidak menyatakan bahwa orang mempelajari prilaku kompleks dengan melakukannya satu kali saja, namun satu atau lebih gerakan menjadi terasosiasikan. Perulangan dari sebuah situasi akan menambah gerakan, mengkombinasikan gerakan-gerakan menjadi tindakan dan membentuk tindakan dalam kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Lebih lanjut, menurut Guthrie, belajar memerlukan reward dan kedekatan antara stimulus dan respon. Guthrie yakin bahwa respons-respons tidak perlu di beri imbalan untuk dapat dipelajari. Mekanisme pokoknya adalah kontiguitas atau pemasangan yang tepat pada waktunya antara stimulus dan respons. Gutrie berpendapat, bahwa hukuman itu tidak baik dan tidak pula buruk. Efektif tidaknya hukuman tergantung pada apakah hukuman itu menyebabkan murid belajar ataukah tidak. Gutrie berpendapat bahwa tingkah laku manusia dapat diubah tingkah laku jelek dapat diubah menjadi baik. Teori Gutrie berdasarkan atas model penggantian stimulus saut ke stimulus yang lain. Responsi atas suatu situasi cenderung di ulang manakala individu menghadapi situasi yang sama. Inilah yang disebut dengan asosiasi. Menurut Gutrie, setiap situasi belajar merupakan gabungan berbagai stimulus (dapat intemal dan dapat ekstemal) dan respon. Dalam situasi tertentu, banyak stimulus yang berasosiasi dengan banyak respon. Asosiasi tersebut, dapat benar dan dapat juga salah.Ada tiga metode pengubahan tingkah laku menurut teori ini, yaitu :

a) Metode respon bertentangan. Misalnya saja, jika anak jijik terhadap sesuatu, sebutlah misalkan saja boneka, maka permainan anak yang disukai tersebut diletakkan di dekat boneka. Dengan meletakkan permainan di dekat boneka, dan ternyata boneka tersebut sebenamya tidak menjijikkan, lambat laun anak tersebut tidak jijik lagi kepada boneka. Peletakan permainan yang paling disukai tersebut dapat dilakukan secara berulang-ulang.

b) Metode membosankan. Misalnya saja anak kecil suka mengisap rokok. Ia disuruh merokok terus sampai bosan ; dan setelah bosan, ia akan berhenti merokok dengan sendirinya.

c) Metode mengubah lingkungan. Jika anak bosan belajar, maka lingkungan belajarnya dapat diubah-ubah sehingga ada suasana lain dan memungkinkan ia betah belajar.

4. Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning)

Teori Behavioral lain yang terkenal adalah teori pengkondisian operan yang dirumuskan oleh B.F Skinner pada awal 1930-an. Skinner mengemukakan ada 2 jenis pembelajaran, yakni pertama bahwa prilaku reponden dihasilkan oleh stimuli spesifik dan yang kedua bahwa tidak ada stimulus tertentu yang bisa dipastikan secara konsisten akan menghasilkan respons operan (Hill, 2012).

Seperti halnya Thondike, Skinner menganggap “reward” atau “reinforcement” sebagai faktor terpenting dalam proses belajar. Skinner berpendapat, bahwa tujuan psikologi adalah meramal dan mengontrol tingkah laku. Skinner membagi dua jenis respon dalam proses belajar, yakni: Respondens (respon yang terjadi karena stimulus khusus misalnya Pavlov) dan Operants (respon yang terjadi karena situasi random).

Skinner membuat eksperimen sebagai berikut: dalam laboratorium, Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut “Skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan, yaitu tombol, alat memberi makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik. Karena dorongan lapar (hunger drive), tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak kesana-kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shaping. Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati, Skinner menyatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulu-respon akan semakin kuat bila diberi penguatan.