Wednesday, February 10, 2016

PERAN DAN TANTANGAN GURU DALAM MASYARAKAT MODERN

Disusun oleh:
Muhammad Abdul Aziz

http://aufklarungarea.blogspot.co.id/

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah Swt. Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini. Tujuan penciptaan manusia tidak lain adalah menyembah kepada penciptanya, yaitu Allah Swt. Penyembahan disini dalam arti luas tidak hanya berpijak pada aspek ritual (mu’amalah ma’a Allah), melainkan manusia berfungsi sebagai objek sekaligus subjek dalam pendidikan baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan maupun manusia dengan manusia. Sehingga, dalam ruang lingkup eksistensi manusia dapat memberikan suatu kontribusi sesama yang merealisasikan transformasi keilmuan demi tercapainya integritas dalam fitrahnya.
Dalam hal ini, guru/pendidik merupakan sebuah implikasi dari eksistensi manusia di dunia. Dalam arti, manusia sebagai makhluk berakal yang wajib mengemban amanah sebagai subjek sekaligus objek dalam pendidikan yang sangat berat. Dikatakan berat karena guru harus bisa membimbing dan mengarahkan peserta didiknya kea rah yang positif dan lebih baik, dari semua aspek yang ada pada peserta didik baik dari segi kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Seorang guru harus bisa membimbing serta mengarahkan peserta didik pada suatu nilai-nilai atau norma-norma yang mengimplikasikan pada kemaslahatan bersama. Seorang guru bisa mengemban amanah sebagai pendidik dengan baik apabila ia mengerti akan berbagai teori yang menyangkut dirinya yang bertugas sebagai guru.
B.     Rumusan Masalah
Dari pendahuluan di atas, dapat diambil beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1.      Bagaimana peran dan tanggung jawab seorang guru dalam proses pembelajaran?
2.      Apa saja yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam proses pembelajaran?
3.      Apa hubungan seorang guru dengan proses pendidikan Islam?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Guru
Kosa kata ‘guru’ berasal dari kosa kata yang sama dalam bahasa India yang artinya “orang yang mengajarkan tentang kelepasan dari sengsara”. Dalam tradisi agama Hindu, guru dikenal sebagai ‘maha resi guru’, yakni para pengajar yang bertugas untuk menggembleng para calon bhiksu di Bhinaya Panti (tempat pendidikan bagi para bhiksu). Rabindranath Tagore (1861-1941), menggunakan Shanti Niketan atau Rumah Damai untuk tempat para guru mengamalkan tugas mulianya membangun spiritualitas anak-anak bangsa di India (Spiritual Intleligence).
Sementara, guru dalam bahasa Jawa adalah menunjuk pada seorang yang harus digugu dan ditiru oleh semua murid dan bahkan masyarakatnya. Harus digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan olehnya senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh semua murid. Seorang guru harus ditiru, artinya seorang guru menjadi suri teladan (panutan) bagi para muridnya.
Akulturasi budaya local dengan Islam menghasilkan istilah baru untuk guru, ada sebutan Kyai di Jawa, Ajengan di Sunda, Tuan Guru di Lombok (Nusa Tenggara), dan Buya di Sumatera. Daerah lain di Indonesia yang terpengaruh oleh budaya Jawa lebih popular sebutan Kyai, seperti daerah Lampung dan Madura. Sebutan kyai dan lainnya ini untuk menggantu kata lain dalam bahasa Arab yang dalam pendengaran masyarakat local lebih mudah diterima. Sebutan yang umum dipakai adalah ‘ulama jamak dari kata alim, yang berarti orang yang pandai.[1]
Dalam konteks pendidikan Islam, guru adalah semua pihak yang berusaha memperbaiki orang lain secara islami. Mereka ini bisa orang tua (ayah dan ibu), paman, kakak, tetangga, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan masyarakat luas. Khusus orang tua, Islam memberikan perhatian penting terhadapnya (ayah dan ibu) sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, serta sebagai peletak pondasi yang kokoh bagi pendidikan anak-anaknya di masa depan.
Dalam Islam, sosok guru (agama) sangat strategis, di samping mengemban misi keilmuan agar peserta didik menguasai ilmu-ilmu agama, guru juga mengemban tugas suci misi kenabian, yakni membimbing dan mengarahkan peserta didik menuju jalan Allah Swt. Dengan peran strategis tersebut, tentu tidak mudah menjadi guru agama. Di samping itu, dalam melaksanakan tugasnya guru agama akan dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan, baik tantangan internal (terkait dengan materi agama dan pribadi guru) maupun tantangan eksternal (terkait dengan perhatian orang tua, lingkungan yang tidak kondusif, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan efek negative, di samping dampak positif).[2]
B.     Peran Guru
Kehadiran guru dalam prooses belajar mengajar atau pengajaran masih tetap memegang peran penting. Peranan guru dalam proses pengajaran belum dapat digantikan oleh mesin, radio, tape recorder, atau pun oleh computer yang paling modern sekalipun. Masih terlalu banyak unsur-unsur manusiawi seperti sikap, system nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan, dan lain-lain yang diharapkan merupakan hasil dari proses pengajaran, tidak dapat dicapai melalui alat-alat tersebut. Disinilah kelebihan manusia dalam hal ini adalah guru dari alat-alat atau teknologi ytang diciptakan manusia untuk membantu dan mempermudah kehidupannya.
Banyak peranan yang diperlukan dari guru sebagai pendidik, atau siapa saja yang menerjunkan diri menjadi guru. Peranan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Korektor
2.      Inspirator
3.      Informatory
4.      Organisator
5.      Motivator
6.      Inisiator
7.      Fasilitator
8.      Pembimbing
9.      Demonstrator
10.  Pengelola Kelas
11.  Mediator
12.  Supervisor
13.  Evaluator[3]
Efektivitas dan efisiensi belajar dan pembelajaran siswa di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Dalam hal ini, terdapat sejumlah peran yang diemban oleh guru. Abin Syamsuddin (2003) menemukan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai:
a.       Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan.
b.      Innovator (pengembang) system nilai ilmu pengetahuan.
c.       Transmitor (penerus) system-sistem nilai tersebut kepada peserta didik.
d.      Transformator (penerjemah) system-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya dalam proses interaksi dengan peserta didik.
e.       Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).[4]
C.    Tantangan Guru dalam Masyarakat Modern
Lajunya perkembangan di bidang informasi dan komunikasi sebagai salah satuproduk dari kemajuan iptek menghantarkan masyarakat menjadi terus semakin maju, dan tidak berlebihan bila diidentifikasi sebagai masyarakat modern. Kehidupan masyarakat modern saat ini semakin dipacu oleh terus ditemukannya produk teknologi. Dan karena salah satu sifat teknologi adalah selslu berusaha menghasilkan yang baru, masyarakat pun terus digiring oleh arus itu sehingga menjadi konsumtif terhadap teknologi. Di sisi lain globalisasi di berbagai sisi kehidupan semakin mendorong kea rah penerapan hal-hal baru yang mungkin sekali sebagian kita belum siap menerimanya termasuk para guru.
Sikap perilaku sehari-hari juga dipengaruhi oleh arus globalisasi tersebut termasuk para guru. Globalisasi tersebut termasuk tata nilai yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu akan terus bersilangan dengan nilai yang dianut oleh masyarakat lainnya. Kondisi seperti ini sangat mungkin merubah sikap mental masyarakat termasuk generasi mudanya yang barangkali tidak selaras dengan nilai-nilai yang ingin dikembangkan oleh para pendidik.
Berbagai hal dalam dunia pendidikan seperti diterapkannya media elektronika dalam pendidikan, dimungkinkannya system belajar jarak jauh, system sekolah terbuka, ditemukannya modul sebagai sarana belajar mandiri, membentuk persepsi baru terhadap guru yang berbeda dengan persepsi lama. Guru kadang hanya dipersepsi sebagai fasilitator. Begitu pula peran sentral guru dalam hal ilmu pengetahuan telah banyak diambil alih oleh media lainnya seperti tersebarnyasiaran televise, buku, majalah maupun Koran bila disbanding dengan beberapa tahun sebelumnya. Semua itu mengurangi makna guru dalam arti konvensional.
Berubahnya persepsi masyarakat terhadap guru sangat mungkin merubah penghargaan masyarakat terhadapnya. Lebih lagi bila saat ini seorang guru tidak mungkin lagi sebagai seorang yang serba tahu, bahkan menguasai satu cabang ilmu pengetahuan pun sudah cukup sukar disebabkan banyaknya informasi yang harus dikuasai dan terus berkembang.
Semua hal di atas merupakan tantangan bagi guru dalam menegakkan wibawa pada satu sisi, dan pada sisi lain tuntutan kualitas terus selalu dihadapkan kepada lembaga pendidikan, dalam nama guru sebagai pilar utamanya. Kedua hal tersebut terkait dengan kualitas para guru sendiri.[5]
Di Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jerman, yang menjadikan sekolah sebagai lembaga untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal dan mengarahkannnya sesuai dengan kemampuan dasar, bakat dan minatnya tela lama menjadikan jabatan guru sebagai jabatan professional lainnya, yaitu dokter dan pengacara.
Mengapa pendidikan yang menjadi missal “Education for All” di abad ke-21 satu Negara dengan Negara lainnya berbeda dalam penetapan lamanya wajib belajar. Ada Negara yang menerapkan wajib belajar 12 tahun seperti Amerika Serikat, ada Negara yang menerapkan wajib belajar 10 tahun seperti Inggris dan Jerman, dan ada pula Negara yang menerapkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun seperti Indonesia, disamping masih ada Negara-negara di Afrika dan Asia Selatan yang menerapkan wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun.
Penerapan wajib belajar ini yang berarti bahwa semua anak dengan perbedaan latar belakang baik kemampuan dasar kognitif, latar belakang social ekonomi dan minat serta bakat harus memperoleh pendidikan yang bermutu dan dilayani serta dapat berkembang sesuai dengan kemampuan, minat dan bakatnya.
Dalam pada itu era globalisasi ini, ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan sumber bahan untuk dipelajari berkembang demikian cepat. Dalam kondisi yang demikian tuntutan terhadap kualitas manusia terdidik baik kemampuan intelektual, maupun vokasional dan rasa tanggungjawab kemasyarakatan, kemanusiaan dan kebangsaan juga meningkat sesuai dengan perkembangan masyarakat yang terus berubah dan meningkat tuntutannya kepada para warganya.
Heterogenitas peserta didik dalam berbagai dimensi (intelektual, cultural, dan ekonomi), terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sumber objek belajar, terus berubahnya masyarakat dengan tuntutannya merupakan factor yang menjadikan guru harus professional. Karena peranan guru tidak lagi hanya memberikan pelajaran dengan ceramah dan mendikte tanpa memperhatikan perbedaan kemampuan, bakat dan minat peserta didik. Guru juga tidak dapat lagi menggunakan bahan pelajaran yang sudah ketinggalan jaman. Guru juga tidak dapat lagi hanya membantu peserta didik untuk menjawab pertanyaan yang sifatnya hafalan. Guru dalam era globalisasi perlu mampu merancang, memilih bahan pelajaran dan strategi pembelajaran (dalam bahasa KBK Sylabus) yang sesuai dengan anak dengan latar belakang yang berbeda, serta mengelola proses pembelajaran secara taktis dan menyenangkan, mampu memilih media belajar dan merancang program evaluasi yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang berorientasi kepada penguasaan kompetensi.[6]
D.    Kepribadian Guru
Guru adalah sosok yang memiliki rasa tanggung jawab sebagai seorang pendidik dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai seorang guru secara professional yang pantas menjadi figure atau teladan bagi peserta didiknya. Karena guru merupakan salah satu factor penting dalam pembinaan dan kualitas pendidikan dalam suatu proses yang ikut menentukan keberhasilan peserta didik. Seorang guru tentunya tidak hanya professional dalam mengajar saja, akan tetapi juga harus memiliki kepribadian baik dalam segala tingkah lakunya maupun dalam kehidupan sehari-harinya.[7]
Untuk menyempurnakan kepribadian guru diperlukan kebiasaan sikap kelapangan hati dalam menerima segala masukan sehingga lambat laun kepribadian guru menjadi lebih dewasa dan matang. Ini merupakan kebiasaan dan kelaziman yang terjadi kalau ingin maju dan berkembang. Kepribadian guru bukanlah hal yang statis, tetapi dinamis. Sentuhan dan polesan untuk menghiasi kepribadian guru merupakan suatu yang niscaya harus ada dan kapan pun juga. Kepribadian guru yang mantap dikarenakan proses terus-menerus antar sang guru itu dengan lingkungan material, social, dan spiritualnya.
Membentuk kepribadian ideal adalah tujuan mempelajari kepribadian guru karena upaya dalam proses mencapai tujuan harus ada dasar atau landasan yang kuat agar jalannya proses tersebut tidak mudah goyah atau terombang-ambing oleh suasana dan pergolakan. Tujuan adalah merupakan salah satu factor yang harus ada dalam setiap aktivitas pendidikan termasuk tujuan dalam mempelajari kepribadian guru. Dalam hal ini tujuan dari mempelajari kepribadian guru salah satunya yang ingin memiliki pemahaman tentang profesi guru, figure guru, profil guru ideal, kualifikasi dan kompetensi jabatan guru seperti apa yang patut atau pantas digugu dan ditiru khususnya yang berkaitan dengan motivasi kerja guru, sikap guru maupun sifat-sifat guru tersebut agar mampu mengaplikasikan sebagai guru professional yang berkepribadian/
Kepribadian guru ini dipahami dengan baik oleh berbagai pihak dalam rangka untuk mendapatkan pemahaman dan potret yang jelasn tentang sosok guru yang di idealkan dan di idamkan oleh semua komponen. Bagi guru kejelasan tentang sosok guru ini akan mempermudah dirinya untuk mengembangkan potensi kepribadian positifnya lewat berbagai strategi dan pendekatan, bagi pimpinan lembaga pendidikan potret guru ideal ini bisa bermanfaat untuk membuat kebijakan lembaga dan penyusunan program kerja diantaranya program untuk pengembangan kepribadian guru.[8]
E.     Kompetensi Guru
Untuk dapat melaksanakan perannya, guru harus mempunyai kompetensi sebagai modal dasar dalam mengemban tugas dan kewajibannya. Kompetensi yang dimaksud adalah:
a.       Kompetensi personal, artinya seorang guru harus memiliki kepribadian yang mantap yang patut uintuk diteladani.
b.      Kompetensi professional, artinya seorang guru harus memiliki pengetahuan yang luas, mendalam daroi bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar dalam proses belajar-mengajar yang diselenggarakannya.
c.       Kompetensi social, artinya seorang guru harus mampu berkomunikasi baik dengan siswa, sesame guru maupun masyarakat luas.
Menurut UU Guru dan Dosen No. 14 Th 2005, kompetensi guru terdiri atas: (1) Kompetensi Pedagogis, (2) Kompetensi Kepribadian, (3) Kemampuan Sosial, dan (4) Kompetensi Profesional, yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Sedangkan menurut Cooper, menyatakan bahwa kompetensi guru dibagi menjadi empat, yaitu: (1) mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, (2) mempunyai pengetahuan dan mengetahui bidang studi yang dibinanya, (3) mempunyai sikap tetap tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat dan bidang studi yang dibinanya, dan (4) mempunyai keterampilan teknok mengajar.
Guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif, menyenangkan dan akan mampu mengelola kelasnya, sehingga belajar para siswa berada pada tingkat optimal. Profesionalisme guru dibangun dengan melalui berbagai penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata diperlukan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dalam hal ini yaitu guru. Adanya standar untuk menentukan guru sebagai profesi, memungkinkan tidak semua orang bisa menjadi guru.[9]
BAB III
KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
Guru adalah sebutan bagi orang yang berani berjuang demi terciptanya manusia yang berkeadaban, masa depan yang gemilang, serta bangsa yang semakin maju melalui pendidikan yang katanya menjadi tonggak peradaban manusia dari masa ke masa. Guru merupakan panutan atau suri teladan bagi peserta didik serta masyarakat dimana guru tersebut berada. Oleh karena itu, seorang guru seharusnya memiliki karakter yang baik serta beretika, artinya mempunyai sikap dan sifat yang patut untuk digugu dan ditiru, tidak jatuh pada pengertian wagu dan saru seperti yang terjadi pada sebagian pendidik pada saat ini. Hal tersebut akan sangat mencoreng nama baik para guru. Pada intinya tugas seorang pendidik adalah membimbing peserta didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai tujuan pendidikan yang sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, yaitu menjadi insan kamil.
Reference:
Roqib, Moh dan Nurfuadi.2009. Kepribadian Guru. Purwokerto: STAIN Press.
Buseri, Kamrani.2003. Antologi Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta: UII Press.



[1] Moh. Roqib dan Nurfuadi, Kepribadian Guru, (Purwokerto: STAIN Press, 2009) hlm. 20-21.
[2] www.google.com/=pengertian+guru+dalam+dunia+pendidikan+islam. Di download pada tanggal 2 Januari 2015.
[3] Moh. Roqib dan Nurfuadi, Ibid, hlm. 107-111.
[4] www.islampos.com/peran-seorang-guru-dalam-dunia-pendidikan. Di download pada tanggal 2 Januari 2015.
[5] Kamrani Buseri, Antologi Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: UII Press, 2003) hlm. 47-49.
[7] Moh. Roqib dan Nurfuadi, Ibid, hlm. 23.
[8] Ibid, hlm. 24-25.
[9] Ibid, hlm. 118.