Disusun
oleh:
Muhammad
Abdul Aziz
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah
diciptakan oleh Allah Swt. Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu
konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka bumi ini. Tujuan
penciptaan manusia tidak lain adalah menyembah kepada penciptanya, yaitu Allah Swt.
Penyembahan disini dalam arti luas tidak hanya berpijak pada aspek ritual (mu’amalah ma’a Allah), melainkan manusia
berfungsi sebagai objek sekaligus subjek dalam pendidikan baik yang menyangkut
hubungan manusia dengan Tuhan maupun manusia dengan manusia. Sehingga, dalam
ruang lingkup eksistensi manusia dapat memberikan suatu kontribusi sesama yang merealisasikan
transformasi keilmuan demi tercapainya integritas dalam fitrahnya.
Dalam hal ini, guru/pendidik merupakan sebuah
implikasi dari eksistensi manusia di dunia. Dalam arti, manusia sebagai makhluk
berakal yang wajib mengemban amanah sebagai subjek sekaligus objek dalam
pendidikan yang sangat berat. Dikatakan berat karena guru harus bisa membimbing
dan mengarahkan peserta didiknya kea rah yang positif dan lebih baik, dari
semua aspek yang ada pada peserta didik baik dari segi kognitif, afektif, maupun
psikomotorik.
Seorang guru harus bisa membimbing serta mengarahkan
peserta didik pada suatu nilai-nilai atau norma-norma yang mengimplikasikan
pada kemaslahatan bersama. Seorang guru bisa mengemban amanah sebagai pendidik
dengan baik apabila ia mengerti akan berbagai teori yang menyangkut dirinya
yang bertugas sebagai guru.
B.
Rumusan
Masalah
Dari pendahuluan di atas, dapat diambil beberapa
rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana
peran dan tanggung jawab seorang guru dalam proses pembelajaran?
2. Apa
saja yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam proses pembelajaran?
3. Apa
hubungan seorang guru dengan proses pendidikan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Guru
Kosa kata ‘guru’ berasal dari kosa kata yang sama
dalam bahasa India yang artinya “orang yang mengajarkan tentang kelepasan dari
sengsara”. Dalam tradisi agama Hindu, guru dikenal sebagai ‘maha resi guru’,
yakni para pengajar yang bertugas untuk menggembleng para calon bhiksu di
Bhinaya Panti (tempat pendidikan bagi para bhiksu). Rabindranath Tagore
(1861-1941), menggunakan Shanti Niketan atau Rumah Damai untuk tempat para guru
mengamalkan tugas mulianya membangun spiritualitas anak-anak bangsa di India (Spiritual Intleligence).
Sementara, guru dalam bahasa Jawa adalah menunjuk
pada seorang yang harus digugu dan ditiru oleh semua murid dan bahkan
masyarakatnya. Harus digugu artinya
segala sesuatu yang disampaikan olehnya senantiasa dipercaya dan diyakini
sebagai kebenaran oleh semua murid. Seorang guru harus ditiru, artinya seorang guru menjadi suri teladan (panutan) bagi
para muridnya.
Akulturasi budaya local dengan Islam menghasilkan
istilah baru untuk guru, ada sebutan Kyai di Jawa, Ajengan di Sunda, Tuan Guru
di Lombok (Nusa Tenggara), dan Buya di Sumatera. Daerah lain di Indonesia yang
terpengaruh oleh budaya Jawa lebih popular sebutan Kyai, seperti daerah Lampung
dan Madura. Sebutan kyai dan lainnya ini untuk menggantu kata lain dalam bahasa
Arab yang dalam pendengaran masyarakat local lebih mudah diterima. Sebutan yang
umum dipakai adalah ‘ulama jamak dari
kata alim, yang berarti orang yang
pandai.[1]
Dalam konteks pendidikan Islam, guru adalah semua
pihak yang berusaha memperbaiki orang lain secara islami. Mereka ini bisa orang
tua (ayah dan ibu), paman, kakak, tetangga, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan
masyarakat luas. Khusus orang tua, Islam memberikan perhatian penting
terhadapnya (ayah dan ibu) sebagai pendidik pertama dan utama bagi
anak-anaknya, serta sebagai peletak pondasi yang kokoh bagi pendidikan
anak-anaknya di masa depan.
Dalam Islam, sosok guru (agama) sangat strategis, di
samping mengemban misi keilmuan agar peserta didik menguasai ilmu-ilmu agama,
guru juga mengemban tugas suci misi kenabian, yakni membimbing dan mengarahkan
peserta didik menuju jalan Allah Swt. Dengan peran strategis tersebut, tentu
tidak mudah menjadi guru agama. Di samping itu, dalam melaksanakan tugasnya
guru agama akan dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan, baik tantangan
internal (terkait dengan materi agama dan pribadi guru) maupun tantangan
eksternal (terkait dengan perhatian orang tua, lingkungan yang tidak kondusif,
serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan efek
negative, di samping dampak positif).[2]
B.
Peran
Guru
Kehadiran guru dalam prooses belajar mengajar atau
pengajaran masih tetap memegang peran penting. Peranan guru dalam proses
pengajaran belum dapat digantikan oleh mesin, radio, tape recorder, atau pun
oleh computer yang paling modern sekalipun. Masih terlalu banyak unsur-unsur
manusiawi seperti sikap, system nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan, dan lain-lain
yang diharapkan merupakan hasil dari proses pengajaran, tidak dapat dicapai
melalui alat-alat tersebut. Disinilah kelebihan manusia dalam hal ini adalah
guru dari alat-alat atau teknologi ytang diciptakan manusia untuk membantu dan
mempermudah kehidupannya.
Banyak peranan yang diperlukan dari guru sebagai
pendidik, atau siapa saja yang menerjunkan diri menjadi guru. Peranan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Korektor
2. Inspirator
3. Informatory
4. Organisator
5. Motivator
6. Inisiator
7. Fasilitator
8. Pembimbing
9. Demonstrator
10. Pengelola
Kelas
11. Mediator
12. Supervisor
13. Evaluator[3]
Efektivitas dan efisiensi belajar dan pembelajaran
siswa di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Dalam hal ini, terdapat
sejumlah peran yang diemban oleh guru. Abin Syamsuddin (2003) menemukan bahwa
dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya
dapat berperan sebagai:
a. Konservator
(pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan.
b. Innovator
(pengembang) system nilai ilmu pengetahuan.
c. Transmitor
(penerus) system-sistem nilai tersebut kepada peserta didik.
d. Transformator
(penerjemah) system-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya
dan perilakunya dalam proses interaksi dengan peserta didik.
e. Organisator
(penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan,
baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun
secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).[4]
C.
Tantangan
Guru dalam Masyarakat Modern
Lajunya perkembangan di bidang informasi dan
komunikasi sebagai salah satuproduk dari kemajuan iptek menghantarkan
masyarakat menjadi terus semakin maju, dan tidak berlebihan bila diidentifikasi
sebagai masyarakat modern. Kehidupan masyarakat modern saat ini semakin dipacu
oleh terus ditemukannya produk teknologi. Dan karena salah satu sifat teknologi
adalah selslu berusaha menghasilkan yang baru, masyarakat pun terus digiring
oleh arus itu sehingga menjadi konsumtif terhadap teknologi. Di sisi lain
globalisasi di berbagai sisi kehidupan semakin mendorong kea rah penerapan
hal-hal baru yang mungkin sekali sebagian kita belum siap menerimanya termasuk
para guru.
Sikap perilaku sehari-hari juga dipengaruhi oleh
arus globalisasi tersebut termasuk para guru. Globalisasi tersebut termasuk
tata nilai yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu akan terus bersilangan
dengan nilai yang dianut oleh masyarakat lainnya. Kondisi seperti ini sangat
mungkin merubah sikap mental masyarakat termasuk generasi mudanya yang barangkali
tidak selaras dengan nilai-nilai yang ingin dikembangkan oleh para pendidik.
Berbagai hal dalam dunia pendidikan seperti
diterapkannya media elektronika dalam pendidikan, dimungkinkannya system
belajar jarak jauh, system sekolah terbuka, ditemukannya modul sebagai sarana
belajar mandiri, membentuk persepsi baru terhadap guru yang berbeda dengan
persepsi lama. Guru kadang hanya dipersepsi sebagai fasilitator. Begitu pula
peran sentral guru dalam hal ilmu pengetahuan telah banyak diambil alih oleh media
lainnya seperti tersebarnyasiaran televise, buku, majalah maupun Koran bila
disbanding dengan beberapa tahun sebelumnya. Semua itu mengurangi makna guru
dalam arti konvensional.
Berubahnya persepsi masyarakat terhadap guru sangat
mungkin merubah penghargaan masyarakat terhadapnya. Lebih lagi bila saat ini
seorang guru tidak mungkin lagi sebagai seorang yang serba tahu, bahkan
menguasai satu cabang ilmu pengetahuan pun sudah cukup sukar disebabkan
banyaknya informasi yang harus dikuasai dan terus berkembang.
Semua hal di atas merupakan tantangan bagi guru
dalam menegakkan wibawa pada satu sisi, dan pada sisi lain tuntutan kualitas
terus selalu dihadapkan kepada lembaga pendidikan, dalam nama guru sebagai
pilar utamanya. Kedua hal tersebut terkait dengan kualitas para guru sendiri.[5]
Di Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan
Jerman, yang menjadikan sekolah sebagai lembaga untuk mengembangkan potensi
peserta didik secara optimal dan mengarahkannnya sesuai dengan kemampuan dasar,
bakat dan minatnya tela lama menjadikan jabatan guru sebagai jabatan
professional lainnya, yaitu dokter dan pengacara.
Mengapa pendidikan yang menjadi missal “Education for All” di abad ke-21 satu
Negara dengan Negara lainnya berbeda dalam penetapan lamanya wajib belajar. Ada
Negara yang menerapkan wajib belajar 12 tahun seperti Amerika Serikat, ada
Negara yang menerapkan wajib belajar 10 tahun seperti Inggris dan Jerman, dan
ada pula Negara yang menerapkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun seperti
Indonesia, disamping masih ada Negara-negara di Afrika dan Asia Selatan yang
menerapkan wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun.
Penerapan wajib belajar ini yang berarti bahwa semua
anak dengan perbedaan latar belakang baik kemampuan dasar kognitif, latar
belakang social ekonomi dan minat serta bakat harus memperoleh pendidikan yang
bermutu dan dilayani serta dapat berkembang sesuai dengan kemampuan, minat dan
bakatnya.
Dalam pada itu era globalisasi ini, ilmu pengetahuan
dan teknologi yang merupakan sumber bahan untuk dipelajari berkembang demikian
cepat. Dalam kondisi yang demikian tuntutan terhadap kualitas manusia terdidik
baik kemampuan intelektual, maupun vokasional dan rasa tanggungjawab
kemasyarakatan, kemanusiaan dan kebangsaan juga meningkat sesuai dengan
perkembangan masyarakat yang terus berubah dan meningkat tuntutannya kepada
para warganya.
Heterogenitas peserta didik dalam berbagai dimensi
(intelektual, cultural, dan ekonomi), terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagai sumber objek belajar, terus berubahnya masyarakat dengan
tuntutannya merupakan factor yang menjadikan guru harus professional. Karena
peranan guru tidak lagi hanya memberikan pelajaran dengan ceramah dan mendikte
tanpa memperhatikan perbedaan kemampuan, bakat dan minat peserta didik. Guru
juga tidak dapat lagi menggunakan bahan pelajaran yang sudah ketinggalan jaman.
Guru juga tidak dapat lagi hanya membantu peserta didik untuk menjawab
pertanyaan yang sifatnya hafalan. Guru dalam era globalisasi perlu mampu
merancang, memilih bahan pelajaran dan strategi pembelajaran (dalam bahasa KBK
Sylabus) yang sesuai dengan anak dengan latar belakang yang berbeda, serta
mengelola proses pembelajaran secara taktis dan menyenangkan, mampu memilih
media belajar dan merancang program evaluasi yang sesuai dengan tujuan
pendidikan yang berorientasi kepada penguasaan kompetensi.[6]
D.
Kepribadian
Guru
Guru adalah sosok yang memiliki rasa tanggung jawab
sebagai seorang pendidik dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai seorang
guru secara professional yang pantas menjadi figure atau teladan bagi peserta
didiknya. Karena guru merupakan salah satu factor penting dalam pembinaan dan
kualitas pendidikan dalam suatu proses yang ikut menentukan keberhasilan
peserta didik. Seorang guru tentunya tidak hanya professional dalam mengajar
saja, akan tetapi juga harus memiliki kepribadian baik dalam segala tingkah lakunya
maupun dalam kehidupan sehari-harinya.[7]
Untuk menyempurnakan kepribadian guru diperlukan
kebiasaan sikap kelapangan hati dalam menerima segala masukan sehingga lambat
laun kepribadian guru menjadi lebih dewasa dan matang. Ini merupakan kebiasaan
dan kelaziman yang terjadi kalau ingin maju dan berkembang. Kepribadian guru
bukanlah hal yang statis, tetapi dinamis. Sentuhan dan polesan untuk menghiasi
kepribadian guru merupakan suatu yang niscaya harus ada dan kapan pun juga.
Kepribadian guru yang mantap dikarenakan proses terus-menerus antar sang guru
itu dengan lingkungan material, social, dan spiritualnya.
Membentuk kepribadian ideal adalah tujuan mempelajari
kepribadian guru karena upaya dalam proses mencapai tujuan harus ada dasar atau
landasan yang kuat agar jalannya proses tersebut tidak mudah goyah atau
terombang-ambing oleh suasana dan pergolakan. Tujuan adalah merupakan salah
satu factor yang harus ada dalam setiap aktivitas pendidikan termasuk tujuan
dalam mempelajari kepribadian guru. Dalam hal ini tujuan dari mempelajari
kepribadian guru salah satunya yang ingin memiliki pemahaman tentang profesi
guru, figure guru, profil guru ideal, kualifikasi dan kompetensi jabatan guru
seperti apa yang patut atau pantas digugu
dan ditiru khususnya yang
berkaitan dengan motivasi kerja guru, sikap guru maupun sifat-sifat guru
tersebut agar mampu mengaplikasikan sebagai guru professional yang
berkepribadian/
Kepribadian guru ini dipahami dengan baik oleh
berbagai pihak dalam rangka untuk mendapatkan pemahaman dan potret yang jelasn
tentang sosok guru yang di idealkan dan di idamkan oleh semua komponen. Bagi
guru kejelasan tentang sosok guru ini akan mempermudah dirinya untuk
mengembangkan potensi kepribadian positifnya lewat berbagai strategi dan
pendekatan, bagi pimpinan lembaga pendidikan potret guru ideal ini bisa
bermanfaat untuk membuat kebijakan lembaga dan penyusunan program kerja
diantaranya program untuk pengembangan kepribadian guru.[8]
E.
Kompetensi
Guru
Untuk dapat melaksanakan perannya, guru harus
mempunyai kompetensi sebagai modal dasar dalam mengemban tugas dan
kewajibannya. Kompetensi yang dimaksud adalah:
a. Kompetensi
personal, artinya seorang guru harus memiliki kepribadian yang mantap yang
patut uintuk diteladani.
b. Kompetensi
professional, artinya seorang guru harus memiliki pengetahuan yang luas,
mendalam daroi bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai
metode mengajar dalam proses belajar-mengajar yang diselenggarakannya.
c. Kompetensi
social, artinya seorang guru harus mampu berkomunikasi baik dengan siswa,
sesame guru maupun masyarakat luas.
Menurut UU Guru dan Dosen No. 14 Th 2005, kompetensi
guru terdiri atas: (1) Kompetensi Pedagogis, (2) Kompetensi Kepribadian, (3)
Kemampuan Sosial, dan (4) Kompetensi Profesional, yang diperoleh melalui
pendidikan profesi. Sedangkan menurut Cooper, menyatakan bahwa kompetensi guru
dibagi menjadi empat, yaitu: (1) mempunyai pengetahuan tentang belajar dan
tingkah laku manusia, (2) mempunyai pengetahuan dan mengetahui bidang studi
yang dibinanya, (3) mempunyai sikap tetap tentang diri sendiri, sekolah, teman
sejawat dan bidang studi yang dibinanya, dan (4) mempunyai keterampilan teknok
mengajar.
Guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan
lingkungan belajar yang efektif, menyenangkan dan akan mampu mengelola
kelasnya, sehingga belajar para siswa berada pada tingkat optimal. Profesionalisme
guru dibangun dengan melalui berbagai penguasaan kompetensi-kompetensi yang
secara nyata diperlukan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dalam hal ini yaitu
guru. Adanya standar untuk menentukan guru sebagai profesi, memungkinkan tidak
semua orang bisa menjadi guru.[9]
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Guru adalah sebutan bagi orang yang berani berjuang
demi terciptanya manusia yang berkeadaban, masa depan yang gemilang, serta
bangsa yang semakin maju melalui pendidikan yang katanya menjadi tonggak
peradaban manusia dari masa ke masa. Guru merupakan panutan atau suri teladan
bagi peserta didik serta masyarakat dimana guru tersebut berada. Oleh karena
itu, seorang guru seharusnya memiliki karakter yang baik serta beretika,
artinya mempunyai sikap dan sifat yang patut untuk digugu dan ditiru, tidak
jatuh pada pengertian wagu dan saru seperti yang terjadi pada sebagian
pendidik pada saat ini. Hal tersebut akan sangat mencoreng nama baik para guru.
Pada intinya tugas seorang pendidik adalah membimbing peserta didik dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai tujuan pendidikan yang sesuai
dengan kodratnya sebagai manusia, yaitu menjadi insan kamil.
Reference:
Roqib, Moh dan
Nurfuadi.2009. Kepribadian Guru.
Purwokerto: STAIN Press.
Buseri,
Kamrani.2003. Antologi Pendidikan Islam
dan Dakwah. Yogyakarta: UII Press.
[1]
Moh. Roqib dan Nurfuadi, Kepribadian Guru,
(Purwokerto: STAIN Press, 2009) hlm. 20-21.
[2] www.google.com/=pengertian+guru+dalam+dunia+pendidikan+islam. Di download pada
tanggal 2 Januari 2015.
[3]
Moh. Roqib dan Nurfuadi, Ibid, hlm. 107-111.
[4] www.islampos.com/peran-seorang-guru-dalam-dunia-pendidikan. Di download pada tanggal
2 Januari 2015.
[5]
Kamrani Buseri, Antologi Pendidikan Islam
dan Dakwah, (Yogyakarta: UII Press, 2003) hlm. 47-49.
[6] www.ispi.or.id/2013/11/21/profesionalisme-guru-pendidik-dalam-era-globalisasi-implikasi-peluang-dan-tantangannya/
Di download pada tanggal 2 Januari 2015.
[7]
Moh. Roqib dan Nurfuadi, Ibid, hlm. 23.
[8] Ibid, hlm. 24-25.
[9] Ibid,
hlm. 118.